Minggu pagi, 21 September 2025, Taman Cikapayang Bandung menjadi saksi sebuah peristiwa sederhana namun penuh makna: puluhan gitar akustik dimainkan serentak dalam sebuah rampak bertajuk The Revolution Is.
Dari kejauhan, dentingan senar-senar itu mungkin terdengar seperti kebisingan riang sebuah festival kecil. Namun bila dicermati, pertunjukan kolosal ini adalah bentuk penghormatan kepada para petani, tepat menjelang Hari Tani Nasional yang jatuh setiap 24 September.
Flash mob gitar akustik ini bukan sekadar perayaan musik, melainkan sebuah pengingat. Ia mengingatkan kita pada sosok Mukti-Mukti—musisi sekaligus aktivis yang menjadikan musiknya sebagai buku harian perlawanan. Salah satu karyanya, The Revolution Is/Menitip Mati, kembali dinyanyikan dalam acara tersebut.
Lagu ini ditulis pada akhir 1990-an, di tengah gelombang konflik agraria yang melanda Jawa Barat, ketika keluarga-keluarga petani diusir dari tanahnya dan suara mereka ditekan oleh kekuatan modal serta aparat negara.
Mukti-Mukti: Menyimpan Ingatan dalam Lagu
Bagi Mukti-Mukti, musik adalah cara merawat ingatan. Ia merekam setiap peristiwa, luka, dan harapan dalam syair-syair yang lahir dari pengalaman langsung. Dari situ, lagu-lagunya bukan hanya karya estetika, melainkan arsip emosional dan politis dari zamannya.
Mukti menulis lagu itu sebagai respons atas tragedi-tragedi agraria di Jawa Barat: penggusuran di Majalengka, konflik tanah di Garut, hingga kriminalisasi petani di Ciamis.
Kisah-kisah itu kemudian ia kristalkan dalam nada-nada yang sederhana namun menggugah, seolah hendak berkata bahwa musik bisa menjadi ruang perlawanan yang merangkul sekaligus menenangkan. Kini, meskipun Mukti-Mukti telah tiada, lagunya kembali menggema, dinyanyikan bersama oleh sahabat-sahabatnya di Bandung.
Musik sebagai Ingatan Kolektif

Di tangan Mukti-Mukti, musik bukan sekadar hiburan. Ia menjelma menjadi medium penyimpanan memori kolektif. Lagu-lagu tentang cinta dan kesederhanaan berdampingan dengan nyanyian protes sosial.
Semuanya adalah bentuk dokumentasi artistik terhadap peristiwa-peristiwa yang sering dilupakan sejarah resmi.
Inilah yang menjadikan rampak gitar di Taman Cikapayang begitu penting. Puluhan orang yang memainkan gitar serentak menjadi simbol dari bagaimana ingatan harus dijaga secara bersama-sama. Tidak cukup hanya oleh individu, tapi mesti dipelihara oleh komunitas, oleh banyak tangan, banyak suara.
Persoalan Agraria di Bandung dan Jawa Barat
Pertanyaannya: masih relevankah nyanyian itu hari ini?
Jawabannya, justru semakin relevan. Jawa Barat, termasuk Kota Bandung, masih dipenuhi dengan persoalan agraria yang pelik. Petani masih berhadapan dengan kriminalisasi ketika mempertahankan tanahnya.
Proyek infrastruktur dan properti kerap menjadi dalih untuk menggusur warga dari lahan yang telah mereka kelola turun-temurun. Mafia tanah, kolaborasi modal dengan aparat, serta ormas-ormas bayaran masih menjadi wajah sehari-hari dari konflik agraria.
Banyak di antara mereka terpaksa kehilangan lahan subur demi kepentingan investasi yang tidak pernah benar-benar berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Kasus-kasus di Rancaekek, misalnya, memperlihatkan bagaimana tanah pertanian subur beralih fungsi akibat industrialisasi tanpa kendali. Limbah pabrik mencemari sawah, dan petani kehilangan ruang hidupnya.
Begitu pula di kawasan Lembang, lahan-lahan produktif terus digerus menjadi villa atau kawasan wisata, sementara kesejahteraan petani sayuran tidak kunjung membaik.
Semua ini menunjukkan bahwa seruan Mukti-Mukti dua dekade lalu masih jauh dari selesai. “Kembalikan hak atas tanah kami! Bebaskan petani yang masih dipenjara!” bukan sekadar slogan nostalgia, melainkan tuntutan yang masih bergema di tengah realitas agraria Jawa Barat hari ini. (*)