Dapur Makmur Jaya yang jadi tempat memasak menu MBG penyebab keracunan massal. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)

Ayo Netizen

Beberapa Kejanggalan dalam Keracunan Program MBG di Cipongkor

Kamis 02 Okt 2025, 10:22 WIB

Program MBG yang digadang-gadang menjadi proyek prestisius tapi faktanya di lapangan menunjukkan bahwa program ini menuai polemik di masyarakat. Mulai dari makanan yang belum terdistribusi secara merata serta makanan basi yang menimbulkan keracunan pada sejumlah siswa.

Menurut saya program ini cenderung impulsif dan terkesan terburu-buru untuk direalisasikan di masyarakat tanpa memenuhi standar yang sesuai.

Mulai dari pembuatan SOP yang tidak dijalankan dengan baik, sistem birokrasi yang belum jelas dan minimnya pengawasan ke sejumlah dapur dan pendistribusian makanan kepada para siswa serta kurang dilibatkannya tenaga ahli gizi dalam program ini.

Relevansi Program MBG dengan Stunting

Program memberi makan bergizi gratis kepada kelompok rentan seperti anak usia dini hingga SMA, ibu hami dan menyusui ditujukkan untuk mengurangi angka stunting di Indonesia.

Dilansir dari laman Kemenkes--berdasarkan survey nasional yang menjadi rujukan utama dalam upaya percepatan penurunan stunting ini mencatat penurunan prevalensi stunting nasional, dari 21.5% pada 2023 menjadi 19.8% pada 2024. Sementara Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin punya komitmen untuk menurunkan angka stunting menjadi 14.2% pada tahun 2029 mendatang.

Sebelum jauh kita membahas perihal polemik yang saat ini terjadi di masyarakat, perlu kita pahami bersama apa itu isu stunting. Menurut Perpes No.72 Tahun 2021, Stunting sendiri merupakan kondisi adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronik dan infeksi berulang yang ditandai dengan tinggi dan berat badan yang tidak proporsional.

Masih menurut Kemenkes kalangan prioritas yang wajib mendapat gizi yang baik adalah calon pengantin/pasangan usia subur 3 bulan pra nikah, ibu hamil dan pasca lahir, anak dengan usia 0-23 bulan, anak dengan usia 23-59 bulan dan yang paling krusial adalah 1000 kehidupan anak.

Bisa kita lihat dari definisi ini saja kriteria MBG yang ditargetkan sudah tidak sesuai. Dengan artian anak usia SD-SMA menjadi kalangan yang tidak efektif mendapat program ini. Namun di lapangan justru menunjukkan kelompok SD-SMA lah yang disoroti dari program ini hingga kasus keracunan terjadi.

Selanjutnya mari kita lihat anggaran untuk program MBG ini dinyatakan awalnya Rp.15.000 namun dipangkas menjadi Rp.10.000 dengan alasan minimnya anggaran. Menurut saya untuk menyajikan makanan bergizi dengan anggaran Rp.10.000/porsi tidak masuk akal. Melihat anggaran yang pernah diajukan oleh mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk konsumsi uang rapat anggota dewan adalah Rp.118.000 dan kudapan Rp.53.000. Nah, ini menurut saya masuk akal untuk menyajikan makanan penuh gizi yang sehat dan seimbang.

Meskipun sebetulnya di lingkungan saya masih ada warung nasi padang yang menjual porsi Rp.10.000 dengan isian daging ayam bagian sayap atau punggung yang dagingnya cenderung tipis, karbohidrat dan sayur. Tapi jika anak-anak harus mengkonsumsi nasi padang setiap hari tentu tidak akan baik untuk kesehatan karena tinggi gula dan lemak.

Menurut saya makanan bergizi bukan soal isiannya saja tapi edukasi yang ada dalam benak masyarakat. Makanan bergizi bukan hanya sajian yang lengkap karena terpenuhi karbohidrat, protein dan sayuran saja tapi soal takaran yang sesuai dengan kriteria yang seimbang. Selain itu juga makanan bergizi meliputi aspek higienis, kualitas bahan yang segar dan pengelohan yang tepat. Tentu yang lebih mengetahui soal ini adalah mereka yang berprofesi sebagai ahli gizi.

Bahkan setelah berbincang dengan seorang teman yang sempat berkualiah di jurusan Kesehatan Masyarakat melalui pesan WhatsApp tentang temuan saya perihal profesi yang tidak sesuai dalam jajaran program MBG. Menurut pandangannya sebetulnya banyak ahli gizi yang dilibatkan tapi dana yang diolah sangat minim sehingga sulit untuk direalisasikan menjadi menu bergizi dan seimbang.

Kesulitan Mengatur Anggaran

Dilansir dari laman Tempo.com, Badan Gizi Nasional menyatakan bahwa program MBG berpeluang memberikan lapangan pekerjaan hingga 90.000 karyawan yang terdiri dari ahli gizi, akuntan dan sarjana yang ditempatkan sebagai kelapa unit SPPG.

Dari temuan berita yang beredar bahwa Cipongkor menjadi salah satu penyumbang terjadinya keracunan pada program MBG. Dilansir dari ayobandung.com bahwa jumlah korban mencapai 1.315 orang yang mendadak mendapat julukan "kawasan rawan konsumsi".

Data tersebut mengusik saya untuk mencari informasi lebih jauh "Kenapa bisa terjadi keracunan ?, siapa ahli gizi yang terlibat di dalamnya?".

Dilansir dari laman adainfo.id bahwa pengelolaan makanan bergizi gratis di bawah Yayasan Rajib Putra Barokah tersebut melibatkan sejumlah pengurus, yakni Ikbal Maulana Ramadan S.Sos sebagai Kepala Dapur/SPPI, Naida Sintia sebagai Ahli Gizi, Irfan Syamsul Muarif, S.Ak sebagai akuntan dan Saepul Wahid sebagai Asisten Lapangan.

Saya turut senang dengan laman PDDIKTI yang kembali bisa diakses secara umum dan transparan meski memang hanya mencantumkan nama mahasiswa, asal kampus juga tahun masuk dan lulus tapi ini sangat membantu saya dalam mengonfirmasi kebenaran sebuah berita.

Mari kita telusuri bersama perihal latar belakang pendidikan untuk menguak salah satu penyebab terjadinya kasus keracunan dalam program MBG. Dari hasil temuan saya di laman PDDIKTI ditemukan bahwa kepala dapur bernama Ikbal Maulana Ramadan adalah mahasiswa yang masuk tahun 2020 dan sudah dinyatakan lulus dengan jurusan Manajemen Dakwah UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada 2025.

Sementara sumber lain dari laman satumedia.id mengatakan bahwa ikbal masih berstatus mahasiswa yang baru saja menempuh sidang akhir. Meski demikian untuk sumber kedua saya ragu kebenarannya karena laman tersebut menulis nama yang berbeda yaitu Iqbal Maulana Akbar meski dengan foto orang yang sama.

Potret sejumlah siswa yang terkapar lemasakibat keracunan massal MBG di Bandung Barat. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)

Kita asumsikan saja sesuai dengan temuan di laman PDDIKTI, meski Ikbal sudah lulus tapi memang kualifikasinya sebagai sarjana Manajemen Dakwah tentu tidak relevan saat menangani gizi pada program MBG. Tidak bermaksud mendeskritkan kemampuan seseorang di luar jurusannya.

Saya pribadi pun pernah berkuliah di jurusan yang masih satu rumpun yaitu Komunikasi Penyiaran Islam yang berkaitan dengan dunia dakwah dan pelajaran gizi tentu tidak ada dalam materi kuliah kami. Terlepas mungkin saja sebelum menjabat Ikbal sudah melakukan pelatihan dalam bidang gizi tapi menurut saya tetap belum bisa dinyatakan relevan terlebih Ikbal baru lulus di tahun pengajaran 2024/2025.

Selanjutnya temuan ahli gizi bernama Naida Sintia, awalnya saya sedikit terusik karena di media sosial sedang ramai perbicangan "Lulusan Farmasi jadi Ahli Gizi ? Sekali lagi. Lulusan Farmasi jadi Ahli Gizi?".

Perbincangan di atas turut serta memperkeruh antara profesi farmasi dengan ahli gizi. Beberapa konten kreator saling balas-membalas argumen melalui fitur stitch tiktok. Saya sebagai lulusan Sarjana Farmasi juga merasa tidak nyaman dan mencoba mencari tahu lebih dalam tentang seorang mahasiswa farmasi yang menjadi ahli gizi dan dinyatakan belum lulus dari sebuah universitas di Bandung.

Berdasarkan informasi yang saya temukan dalam laman PDDIKTI Naida Sintiani merupakan mahasiswa farmasi dari Universitas Muhammadiyah Bandung yang masuk pada tahun 2020. Berbeda dengan Ikbal yang status di PDDIKTI dinyatakan lulus sementara nama Naida masih tertulis dalam status terakhir mahasiswa sebagai "Aktif-2024/2025 Genap".

Sebagai Sarjana Farmasi saya mengakui bahwa jurusan saya tidak memiliki kapasitas untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan gizi. Saya akui pada semester lima di kampus saya pernah ada mata kuliah Nutrateusikal Dan Terapi Nutrisi, dalam perkuliahan sempat disinggung bagaimana cara membuat gizi yang sesuai berdasarkan umur, jenis kelamin dan berat badan agar terbuat tabel yang seimbang tentang gizi.

Namun menurut saya materi tersebut tidak serta-merta membuat saya sebagai mahasiswa farmasi jadi ahli dalam bidang gizi. Terlebih jam terbang saya di dunia karir farmasi juga tidak pernah terlibat dalam dunia gizi karena mayoritas sarjana farmasi berkarir dalam bidang yang ada kaitannya dengan obat dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat berupa apotek, puskemas dan rumah sakit.

Akhirnya saya memahami kenapa mereka yang lulus dari Sarjana Ahli Gizi merasa marah dan tidak terima dengan kasus yang dialami oleh Naida Sintiani. Yang kemudian menyulut emosi dan mengakibatkan perselisihan di antara kedua profesi dalam dunia kesehatan tersebut.

Melalui temuan ini bisa disimpulkan bahwa salah satu penyebab keracunan masal yang terjadi di Cipongkor penyebabnya adalah tidak adanya kualifikasi yang sesuai antara lulusan, jabatan yang dibutuhkan dan keahlian yang dimiliki pengurusnya. Hal ini juga menjadi pertanyaan apakah pejabat setempat merekrut secara asal-asalan atau ada peran orang dalam yang membuat seseorang bisa menduduki jabatan yang tidak sesuai dengan kualifikasi.

Saya sebagai lulusan farmasi juga komunikasi penyiaran islam memang tidak punya kapasitas yang tepat untuk mengomentari kebijakan MBG. Hanya saja saya ingin memberikan sudut pandang lain melalui tulisan ini yang berharap bisa menjadi pertimbangan perihal program tersebut.

Menurut saya program MBG tidak worth it untuk dilanjutkan jika tidak ada pembenahan dan evaluasi dari sistem yang sudah berjalan. Dibandingkan dengan menghabiskan uang negara untuk program yang memiliki peluang lahan basah bagi oknum yang berkepentingan--lebih baik dialokasikan untuk menangani permasalahan lain di Indonesia. Terlebih dana yang digadangkan untuk program MBG pada tahun 2026 bernilai sangat fantastis yaitu 335 Triliun.

Dilansir dari detikedu bahwa dalam APBN Tahun 2026 alokasi anggaran untuk pendidikan dipangkas demi berjalannya program MBG. Alokasi pendidikan yang sebelumnya 769,1 triliun akan disedot sebanyak 233 triliun oleh program MBG. Menjadi ironi ketika ingin memperbaiki kualitas SDM dengan gizi seimbang tapi pondasi dari SDM yang berkualitas yaitu pendidikan justru di-dzolimi terus-menerus.

Sementara jika program ini bersikeras untuk tetap dilanjutkan saya berharap pemerintahan bisa mengubah polanya untuk memprioritaskan kebutuhan gizi stunting sesuai dengan kriteria seharusnya yaitu balita 1000 hari pertama kehidupannya, calon pengantin/pasangan subur 3 bulan pra nikah, ibu hamil dan pasca melahirkan serta anak rentang usia 0-23 bulan dan 23-59 bulan.

Selain pemenuhan gizi bisa lebih berkualitas dan berimbang--cara ini juga bisa memaksimalkan dana yang dianggarkan tidak terbuang secara cuma-cuma dan menjadi penyumbang limbah sampah makanan di Indonesia dan potensi terbesar di dunia.

Sementara jika masih ada uang yang tersisa bisa dialokasikan untuk mengembangkan sistem literasi di Indonesia. Karena bagi saya kualitas SDM tidak hanya didasarkan pada kondisi masyarakat yang bertubuh sehat dan kuat tapi punya pola pikir dan daya nalar yang berimbang.

Baca Juga: Melacak Api Zoroaster di Kehidupan Sunda Kontemporer

Selain pendidikan--salah satunya yang bisa mengasah kualitas masyarakat adalah dengan kegiatan membaca--secara tidak langsung membaca erat kaitannya dengan buku-- sementara buku di Indonesia adalah kekayaan intelektual yang punya tarif pajak cukup besar, sementara hak penulisnya banyak yang terabaikan.

Harga buku yang diperoleh masyarakat jadi mahal, sehingga tidak salah jika banyak masyarakat yang masih mengabaikan pentingnya peran literasi dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi kolaborasi yang maksimal jika pemenuhan kualitas masyarakat Indonesia tidak hanya berdasarkan pemenuhan nutrisi pada tubuh tapi juga pemenuhan nutrisi pada otak. (*)

Tags:
CipongkorKabupaten Bandung BaratProgram MBG

Dias Ashari

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor