Ada sayup-sayup kabar angin, konon bicara agama-agama itu hanya milik orang-orang yang perutnya sudah kenyang. Di antara sinis dan nyinyir, tapi sepertinya kita mesti akui bersama bahwa komentar itu memang ada benarnya. Apalagi kalau selintingan tersebut datang dari mereka yang berada di tepian, rasa-rasanya harus diterima sebagai kritik yang tajam.
Satu dua warga menaruh curiga. Dari seberang jalan, mata mereka celik memandangi kita, “Mengapa ada orang yang masih punya waktu dan tenaga untuk bicara soal agama?”. Bagi mereka percakapan seperti itu bukan hanya terlalu langitan, tapi tampak menari-menari enteng-entengan penuh kelakar tawa.
Kita mungkin malah bangga, menganggap diri open minded. Tapi pernahkah kita merenung kalau gaya ini justru bisa membangun tembok kelas? Idealisme kita justru berpotensi memantik kecemburuan sosial.
Gelagat kita, style kota, imaji well-educated. Gelang-gelang, kain adat, dan gantungan kunci, entah dieksotiskan atau kasih kesan kalau kita cukup dekat dengan tradisi. Bahasa nginggris berbelit-belit penuh kode yang menyekat. Gelas kopi kekinian, earphone, dan gawai ongkang-ongkang. Bagi mereka ini bukan diskursus tapi tontonan yang asing.
Di mata petani yang tanahnya terancam proyek tambang, buruh pabrik tekstil yang digaji rendah, atau orang muda pengangguran di kampung pinggiran kota, punya mimpi yang sama sekali berbeda. Menyangkut soal perut, harga diri, dan ruang hidup. Bukan sebatas hidup rukun di tengah perbedaan.
Di sinilah pentingnya membawa lensa kemiskinan ke dalam percakapan lintas iman. Elitisme tidak hanya soal siapa yang punya rumah megah dan rekening gendut. Elitisme juga bisa muncul dari isu yang dipilih, cara isu itu dibawa, dan bagaimana ia didaratkan dalam kehidupan warga. Dialog bisa tampak indah di atas panggung, tapi barangkali kosong di lapangan jika tidak menyentuh keresahan riil warga.
Contoh yang sering luput, kelompok yang dulu kadung distempel “intoleran”. Mudah bagi kita menganggap mereka hanya haus kuasa atau sempit pandangan. Tetapi jika dilihat lebih dekat, banyak di antara mereka justru rentan secara ekonomi. Mereka mungkin dominan secara religius, jumlahnya besar, dan simbolnya kuat. Tapi marginal dalam akses pendidikan, lapangan kerja, atau kesejahteraan yang layak.
Ketika kecemburuan ekonomi berkelindan dengan identitas agama, api konflik bisa cepat menyala. Maka, menyederhanakan masalah mereka sebagai soal kebencian atas nama agama semata adalah bentuk buta kelas yang sangat jelas.

Sebab agama, di akar rumput, bukan sekadar sistem doktrin atau institusi resmi. Ia menubuh dalam praktik hidup sehari-hari. Agamanya nelayan yang menjaring ikan dengan jampi, agamanya buruh pabrik yang bekerja tanpa dapat THR, agamanya driver ojol yang mengutuk nasibnya, dan agamanya orang miskin kota yang mencari nasi kotak di kenduri tetangganya.
Narasi lintas iman yang selama ini dominan sering terjebak pada kategori-kategori modern yang kaku. Ada agama sebagai identitas, ada pemuka yang representatif, ada organisasi yang bisa deklarasi, dan ada kitab yang bisa jadi quotes. Padahal agama juga bisa hadir sebagai ritual kecil, tradisi keluarga, atau praktik sosial yang tak selalu tercatat di buku-buku kita.
Kalau kita memaksa hanya agama formal yang berhak masuk dialog, maka yang terpinggirkan adalah mayoritas warga. Sebab merekalah yang beragama dalam bentuk hidup, tidak ikut bendera tertentu, tidak mudah dikategorikan dalam kolom-kolom yang baku.
Warga bukan sekadar objek “pemberdayaan” atau “pembinaan”, melainkan sumber pengetahuan dan pembebasan itu sendiri. Mereka punya cara, bahasa, dan gaya hidup yang kaya makna. Dialog lintas iman di akar rumput harus berangkat dari sana. Dari bahasa warga, dari cerita sehari-hari, dari luka yang mereka alami, juga dari mimpi yang mereka kehendaki.
Maka dari itu mari kita bayangkan ulang. Dialog lintas iman bukan ruang steril yang hanya mengundang para tokoh agama resmi. Ia bisa hadir di warung kopi, di ladang, di pabrik, atau bahkan di titik kumpul ojek online. Topiknya bukan hanya tentang toleransi abstrak, tetapi juga tentang petani dan harga tengkulak, tentang RT yang warganya beda afiliasi ormas, tentang orang muda di pos ronda yang gelisah mencari nafkah.
Di titik inilah, lintas iman bekerja sebagai proyek keadilan. Ia berhubungan dengan masalah perut, dengan bumi, dengan musik jedag-jedug. Ia berpihak pada mereka yang selama ini dipinggirkan oleh negara dan institusi agama formal, pada mereka yang beragama tanpa nama. Ia tidak menunggu warga untuk “diberadabkan” lebih dulu, tetapi justru mengakui bahwa dalam keseharian mereka sudah ada praktik agama, budaya, dan kemanusiaan yang layak diakui.
Dialog lintas iman yang go lokal tidak mencari definisi besar, melainkan menyelami detail kecil. Soal kuota internet untuk anak-anak sekolah daring, soal solidaritas kelompok nelayan saling bantu saat badai, soal nenek dan cucuk yang beda menghidupi adat.
Jika kita jujur, mungkin justru wargalah yang sudah lebih dulu menjalankan dialog lintas iman dengan cara mereka sendiri. Yang perlu kita lakukan adalah mendengar, belajar, lalu mendukung agar ruang-ruang itu tumbuh. Dengan begitu, dialog lintas iman tidak lagi jadi urusan dan mandat intelektual-praktisi, melainkan urusan kita semua. (*)