Jalan Asia-Afrika, Kota Bandung. (Sumber: Pexels/Raka Miftah)

Ayo Netizen

Bandung Menawan, Bandung Siaga: Belajar Hidup Selaras dengan Alam

Kamis 23 Okt 2025, 13:10 WIB

Bandung bukan hanya menawan karena pesona alam dan kreativitas warganya. Di balik gemerlap kafe dan teknologi, kota ini terus belajar menghadapi tantangan bencana, perubahan iklim, dan tekanan urbanisasi, dengan tekad untuk hidup selaras dengan alam.

Beberapa pekan terakhir, curah hujan ekstrem hampir setiap sore menjadi pengingat potensi rapuhnya keseimbangan lingkungan perkotaan lintas wilayah. Jalan-jalan yang tiba-tiba tergenang, aliran sungai meluap, dan warga di beberapa titik seperti Gedebage, Bojongsoang, Astana Anyar, serta Pasteur harus waspada terhadap genangan cepat. Fenomena ini bukan sekadar masalah drainase, tetapi cerminan tantangan perubahan iklim dan tata ruang yang saling menguatkan.

Kondisi ini mengingatkan bahwa daya tahan kota tidak hanya ditentukan oleh infrastruktur, tetapi oleh kolaborasi berbagai pihak yang saling menguatkan. Bandung membutuhkan lebih dari sekadar sistem tanggap darurat, kota ini membutuhkan ekosistem kesiapsiagaan yang berakar pada kolaborasi, ilmu pengetahuan, dan kesadaran sosial.

Di sinilah semangat Penta Helix menemukan relevansinya, sebuah panggilan untuk bersinergi lintas sektor, bahkan lintas wilayah agar Bandung bukan hanya menawan, tetapi juga siaga menghadapi alam dengan segala dinamikanya.

Penta Helix: Lima Kekuatan untuk Kota Tangguh

Daya tarik Bandung sebagai kota pendidikan sekaligus ekosistem pendidikan, terletak pada reputasi perguruan tinggi ternama seperti: ITB, Unpad, UPI, Telkom University, Universitas Pasundan, Maranatha hingga puluhan kampus lainnya. (Sumber: Pexels/setengah lima sore)

Pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media, adalah lima unsu dalam model Penta Helix yang bersinergi menciptakan ekosistem kota yang siaga sekaligus berkelanjutan. Pemerintah Kota Bandung dapat memperkuat sistem peringatan dini dan tata ruang berbasis mitigasi risiko. Akademisi hadir dengan riset tentang adaptasi perubahan iklim, sementara dunia usaha menerapkan inovasi hijau dan tanggung jawab sosial yang nyata.

Komunitas dan media memainkan peran strategis dalam menyebarkan kesadaran, membangun literasi isu lingkungan, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab kebencanaan. Karena pada akhirnya, siaga bencana bukan hanya urusan alat dan data, tapi juga tentang kesadaran sosial dan budaya, bagaimana manusia menempatkan dirinya sebagai bagian dari ekosistem yang lebih luas.

Kolaborasi lintas unsur itu tampak dalam berbagai inisiatif nyata di Bandung. Misalnya, Program Kampung Siaga Bencana (KSB) di Ujungberung, yang melibatkan BPBD, Dinsos Kota Bandung (pemerintah), UPI Bandung dan ITB (akademisi), PT PLN dan Telkom (dunia usaha), komunitas lokal seperti Bandung Clean Action dan Relawan Tangguh, serta dukungan media lokal. Dalam program ini, warga dilatih membuat peta risiko mandiri, sistem komunikasi darurat, hingga kebun vertikal untuk memperkuat ketahanan lingkungan.

Sinergi tersebut menunjukkan bahwa Penta Helix mempertemukan data ilmiah, dukungan sumber daya, pengetahuan lokal, dan narasi publik. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan green governance (tata kelola hijau), suatu konsep tata kelola yang berlandaskan prinsip keberlanjutan dan harmoni lingkungan. Makna terdalam dari green governance adalah pemerintahan yang tak hanya mengatur, tetapi juga merawat

Menata ruang terbuka hijau, memperkuat sistem drainase alami, dan mendorong digitalisasi layanan publik yang ramah lingkungan, merupakan bukti nyata kota yang tidak hanya menunggu bantuan saat bencana datang, tetapi aktif menyiapkan diri dengan cara yang kreatif dan berbasis komunitas.

Langkah Bandung Menuju Kota Siaga dan Hijau

Sejumlah langkah konkret dilakukan melalui kinerja BPBD, DLH, dan berbagai kolaborator lokal, dengan mengembangkan pendekatan preventif terhadap bencana melalui perencanaan tata ruang, edukasi publik, dan inovasi lingkungan.

Salah satu wujud nyata adalah pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) yang kini telah mencapai lebih dari 12% luas wilayah kota, dengan target jangka menengah mencapai 20%. Ruang hijau ini bukan sekadar elemen estetika, melainkan juga fungsi ekologis penting yang mampu menyerap air hujan, menurunkan suhu mikro, dan menjadi area resapan yang mengurangi risiko banjir.

Sebagai kota urban dengan keterbatasan lahan, Bandung menempuh beragam inovasi dalam memperluas ruang terbuka hijau. Salah satu kebijakan penting adalah Program Bandung Hijau, yang mendorong revitalisasi taman kota dan optimalisasi lahan tidur menjadi ruang publik ramah lingkungan. Dari Taman Lansia, Taman Film, hingga Taman Sejarah, berbagai taman tematik ini memperindah kota, juga berfungsi sebagai paru-paru kota dan ruang edukasi ekologis bagi masyarakat.

Selain itu, Bandung mengembangkan Urban Farming dan Rooftop Garden di kawasan padat penduduk seperti Cicadas, Sukajadi, dan Antapani. Melalui kerja sama antara pemerintah kota, komunitas, dan dunia usaha, area pertanian vertikal di atap gedung dan pekarangan sempit kini berperan sebagai mini RTH yang menyerap karbon dan meningkatkan ketahanan pangan lokal.

Langkah lainnya, Gerakan Menanam 500.000 Pohon, yang melibatkan sekolah, komunitas, dan pelaku usaha dalam upaya reforestasi mikro di wilayah perkotaan. Setiap pohon yang ditanam bukan hanya simbol kepedulian lingkungan, tetapi bagian dari sistem mitigasi bencana, karena vegetasi yang kuat membantu menahan erosi dan menstabilkan aliran air di daerah rawan banjir dan rawan longsor.

Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa pembangunan RTH di Bandung tidak hanya bergantung pada proyek besar pemerintah, tetapi juga pada partisipasi warga yang menanam, merawat, dan menjaga ruang hidupnya sendiri. Di sinilah semangat green governance menemukan makna dengan kolaborasi antara kebijakan dan kepedulian.

Langkah-langkah tersebut sejalan dengan indikator UI GreenCityMetric, khususnya pada aspek Energy and Climate Change serta Water Management, yang menilai kemampuan kota dalam mengelola energi, air, dan iklim secara berkelanjutan. Komitmen Bandung terhadap kedua aspek ini ditunjukan melalui upaya memperluas RTH, menerapkan sistem drainase berkelanjutan, dan mengembangkan sistem peringatan dini kebencanaan.

Lebih dari sekadar sistem peringatan, inovasi digital SIAGA Bandung menjadi contoh konkret bagaimana tata pamong modern memadukan transparansi data, partisipasi warga, dan koordinasi lintas sektor dalam menghadapi ancaman bencana. Aplikasi ini bukan hanya alat komunikasi darurat, tetapi juga instrumen pembelajaran sosial yang mendorong warga untuk memahami risiko di lingkungannya, serta memberi ruang bagi mereka untuk melapor dan berkontribusi secara langsung.

Kearifan Lokal, Jiwa yang Tak Lekang oleh Waktu

Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. (Sumber: Pexels/Matafanaku)

Bandung sebagai bagian dari tatar Sunda memiliki akar kearifan lokal yang dalam. Dalam filosofi masyarakat Sunda, hidup adalah soal menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Bak pepatah “Ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salogak.” Makna ini begitu dalam, dimana setiap aliran sungai dan langkah kaki di tanah, tersimpan ajakan untuk hidup selaras, beradaptasi, dan menjaga keberlangsungan kehidupan.

Kesiapsiagaan bencana bukanlah proyek semusim, melainkan perjalanan panjang. Kolaborasi penta helix dan semangat green governance memberi arah yang jelas untuk membangun kota yang tangguh, manusiawi, dan lestari. Karena Bandung bukan hanya menawan dari rupa dan budaya, tetapi juga dari kesadarannya untuk hidup dalam harmoni.

Kini tinggal bagaimana setiap warga, komunitas, dan pemangku kebijakan menjaga momentum ini agar tidak berhenti pada proyek, melainkan tumbuh menjadi laku budaya dalam memandang kota dan alamnya. (*)

Tags:
kepedulian lingkunganKabupaten BandungKota Bandung Bandung Raya

Bayu Hikmat Purwana

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor