Bandung selalu punya cara memandang masa depan. Di tengah hiruk pikuk pembangunan, kota ini seolah mengingatkan bahwa kemajuan bukan sekadar deru mesin dan deretan gedung menjulang, melainkan tentang bagaimana manusia tumbuh di dalamnya.
Ketika bangsa menatap Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai simbol masa depan Indonesia, Bandung menatapnya dengan kebijaksanaan, dari ruang belajar, kearifan lokal, dan laboratorium inovasi, serta kemanusiaan. Kota ini seolah berkata: “Bangunlah manusia sebelum kau membangun kotanya.”. Pada konteks ini, LAN RI harus hadir segala perangkatnya untuk merumuskan strategic management tata kelola pembangunan manusia.
Bandung pernah menjadi titik nyala sejarah. Di Jalan Asia-Afrika, se-antero dunia menyaksikan bagaimana kota kembang memantik semangat kemerdekaan bangsa-bangsa yang tertindas. Kini, tujuh puluh tahun lebih setelah Konferensi Asia-Afrika, Indonesia kembali menatap masa depan lewat pembangunan IKN di Kalimantan Timur.
Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025 disebutkan bahwa "perencanaan dan pembangunan kawasan, serta pemindahan ke Ibu Kota Nusantara dilaksanakan sebagai upaya mendukung terwujudnya Ibu Kota Nusantara menjadi ibu kota politik pada 2028". Namun bagi Bandung, semua itu bukan sekadar kisah pemindahan pusat pemerintahan, melainkan cermin perjalanan bangsa tentang bagaimana kita memahami makna kearifan di balik kemajuan menuju keseimbangan.
Pelajaran dari Bandung
Tanpa kearifan, kemajuan mudah berubah menjadi kerusakan. Bandung tahu rasanya pernah jadi kota sampah. Juga sungai Citarum, yang dulu menjadi nadi kehidupan, pernah tercatat sebagai salah satu sungai terkotor di dunia. Ruang hijaunya pun masih di bawah standar minimal, dan dalam penilaian UI GreenCityMetric, Bandung bahkan belum masuk daftar nominasi kota hijau di Indonesia.
Namun dari sana pula kota ini belajar. Dari gerakan Citarum Harum, taman-taman tematik, hingga kolaborasi warga menjaga lingkungan, kota ini tidak menyerah pada kesalahan. Kota ini belajar memperbaiki diri. Maka ketika Nusantara dijanjikan sebagai kota hijau, Bandung punya pesan lirih: “Jangan kejar skor hijau di atas kertas, kejarlah keseimbangan hidup antara manusia dan alamnya.”
Bandung menatap IKN dengan penuh harap dan tanya. Harap bahwa pembangunan itu akan membawa keseimbangan bagi negeri yang lama bertumpu di Pulau Jawa. Tapi juga Tanya, di tengah gegap gempita beton dan teknologi, adakah ruang bagi wajah-wajah manusia yang seharusnya menjadi pusat pembangunan? Sebab kota yang hebat bukan diukur dari tingginya menara, tetapi dari hangatnya relasi antar warganya.
Bandung tumbuh dari nilai sederhana: someah ka semah, dan silih asih, silih asah, silih asuh. Nilai-nilai ini mungkin terdengar klasik, tetapi justru itulah fondasi kota yang beradab. Di tengah keberagaman etnis dan budaya, nilai-nilai kebhinekaan harus menjelma menjadi cara hidup yang ramah, inklusif, dan penuh empati. IKN kelak akan membutuhkan jiwa serupa dengan local wisdom yang ada, apalagi ketika sudah terjadi mobilisasi masal ribuan pegawai, jutaan manusia dari berbagai suku, profesi, dengan semua latarbelakangnya. Mereka datang untuk hidup bersama, membangun rumah baru bagi Indonesia.
Kota Modern yang Tetap Manusiawi

Membangun kota sejatinya adalah membangun manusianya. Bandung tumbuh bukan karena gedung tinggi atau jalan lebar, melainkan karena warganya yang penuh daya cipta dan daya rasa. Di balik mural di dinding, komunitas kreatif, hingga taman-taman publik yang hidup, ada semangat warga yang percaya bahwa perubahan dimulai dari diri sendiri.
Bandung juga menjadi laboratorium kemanusiaan, tempat anak muda belajar berbagi gagasan, tempat warga menjaga lingkungan dengan gotong royong, dan tempat pendidikan membentuk watak, bukan sekadar mencetak gelar. Di Bandung, teknologi hanyalah alat, sementara manusia tetap pusatnya. Sebab inovasi sejati lahir dari empati, dari keinginan untuk memperbaiki, bukan sekadar memperlihatkan kemajuan.
IKN tentu akan menjadi kota modern dan berteknologi tinggi. Namun agar kota itu hidup, butuh ekosistem manusia yang berpikir, berempati, dan berkolaborasi. Bandung sudah mencontohkan hal itu. Dari kampus di Dago hingga ruang kreatif di Braga, dari Bandung Command Center hingga komunitas data warga, semua tumbuh dari kolaborasi antara pemerintah, akademisi, pelaku industri, dan komunitas.
Dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat, Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) memiliki peluang besar menjadi IKN teladan pembangunan kota hijau di Indonesia. Ke depan, keberhasilan IKN tidak hanya diukur dari indeks hijau seperti UI GreenCityMetric, tetapi dari sejauh mana warganya hidup selaras dengan alam.
Kota modern sering kali terjebak pada citra efisiensi dan teknologi, tetapi miskin kehangatan sosial. Kota memang tampak indah, tapi terasa kaku. Tampak maju, tapi membuat manusia saling menjauh. Dengan demikian, OIKN perlu merancang pembangunan fisik yang juga membuka tangan lebar bagi siapa pun dan latar belakang apa pun. Kota yang baik bukan hanya ramah bagi lingkungan, tapi juga ramah bagi perbedaan. Inilah harapan besar untuk IKN menunjukkan bahwa kota modern tidak harus individualistis, tetapi bisa menjadi rumah bersama yang hidup, hangat, dan manusiawi.
IKN adalah kota bentukan yang akan berhadapan dengan kota yang tumbuh secara alamiah. Sinergi kebijakan antara pengembang IKN dan pemerintah daerah di sekitarnya menjadi kunci membentuk kota satelit yang berdaya saing dan saling menguatkan.
Isu daerah penyangga memang menarik sekaligus sensitif, terutama dalam konteks kebijakan otonomi daerah. Namun sejatinya kota tak pernah hidup sendiri, dia tumbuh bersama lingkungannya. Karena itu, keberhasilan IKN akan sangat ditentukan oleh bagaimana IKN menumbuhkan kesejahteraan bagi wilayah-wilayah sekitarnya.
Pembangunan IKN seharusnya menjadi penggerak bagi wilayah sekitar, bukan sekadar pusat penyerap sumber daya. Infrastruktur, inovasi, dan pendidikan di IKN mesti terkoneksi dengan ekosistem daerah penyangga agar kemajuan tidak hanya berhenti di batas administratif, tetapi menjalar menjadi kesejahteraan kolektif.
Bandung pernah mengalami hal serupa, sebagai kota besar yang dikelilingi kota-kabupaten yang menopang kehidupan warganya. Tantangannya, bagaimana menjaga keseimbangan antara kemajuan dan keberlanjutan. Dari pengalaman itulah, Bandung memberi pelajaran bahwa kota besar tak boleh tumbuh dengan menutup mata terhadap daerah sekitarnya.
Bandung bukan kota sempurna, tapi kota yang berani belajar. Dan justru dari proses belajar itulah, kota ini bisa memberi inspirasi bagi Nusantara. Bahwa membangun kota tidak cukup dengan menara dan sistem pintar, tetapi dengan ekosistem yang melahirkan manusia pembelajar, pemimpin berintegritas, dan inovator berjiwa sosial, serta komunikasi publik yang mumpuni.
IKN memiliki kesempatan untuk menjadi perwujudan baru dari cita-cita itu. Kota yang tak hanya menampung pemerintahan, tetapi juga menumbuhkan peradaban. Kota yang ramah pada lingkungan, juga ramah pada manusia.
Bandung yang pernah menyalakan dunia lewat Konferensi Asia-Afrika kini bisa menyalakan kembali semangat kemanusiaan bagi masa depan Nusantara. Karena pada akhirnya, masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh siapa yang paling cepat membangun, tetapi oleh siapa yang paling bijak menumbuhkan manusianya. (*)