Di balik gegap gempita penganugerahan Lembaga Pelatihan Berprestasi oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) setiap tahunnya, ada denyut kerja senyap yang jarang muncul di atas podium. Mereka adalah para penyelenggara pelatihan. Mereka berada di “dapur” lembaga, memastikan setiap sesi berjalan, setiap peserta terlayani, dan setiap pembelajaran bermakna.
Namun, penghargaan terhadap kinerjanya sering kali belum sebanding dengan kontribusinya. Padahal pelatihan bukan sekedar kegiatan belajar, melainkan sistem pembelajaran yang kompleks, di mana keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kebijakan dan peserta, tetapi oleh orkestrasi para aktor di balik layar yang memadukan kompetensi, fasilitasi, manajemen, dan teknologi. Pertanyaannya, siapa mereka?
Tak Kenal Maka Tak Sayang
Perancang program pelatihan adalah otak dari proses pembelajaran ASN. Mereka merumuskan kebutuhan pelatihan, menetapkan capaian pembelajaran, menyusun kurikulum, serta memastikan materi dan metode sesuai kompetensi yang hendak dibangun. Kuncinya pada kemampuan membaca makna kebijakan (sense making), menjabarkan arah kebijakan ke dalam desain pembelajaran. Mereka bukan sekadar “pembuat program”, tetapi jembatan antara tujuan RB dan realitas lapangan. Dalam konteks ASN, pengembang program dituntut memahami kerangka regulasi dalam Perlan Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengembangan Kompetensi PNS.
Widyaiswara (WI) atau fasilitator sering kali dianggap sebagai “pengajar”, padahal perannya jauh lebih strategis. Mereka adalah penerjemah nilai-nilai, profesionalisme, etika, dan pelayanan publik ke dalam pengalaman belajar yang hidup. Selain penguasaan substansi dan metodologi, WI harus mampu menstimulasi kesadaran berpikir peserta, mengaitkan pengetahuan dengan konteks pekerjaan, serta menumbuhkan semangat belajar sepanjang hayat. Di tengah pelatihan yang kerap berorientasi administratif, WI visioner berjuang menjaga idealismenya. Eksistensi mereka menjadi cermin bahwa pelatihan ASN bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan transformasi pengetahuan menjadi sikap dan nilai.
Jika perancang adalah otak pelatihan, maka WI adalah jantungnya, dan tim teknis penyelenggara menjadi nadinya. Tim teknis bertanggung jawab terhadap seluruh aspek operasional, mulai dari administrasi, logistik, koordinasi narasumber, hingga dokumentasi hasil pelatihan. Meski sering dipandang administratif, tugas ini menuntut ketelitian, komunikasi organisasi, pelayanan publik, serta kemampuan manajerial yang baik. Dalam dinamika yang cepat, dimana jadwal berubah, peserta terlambat, sistem digital error, atau narasumber mendadak berhalangan, mereka lah yang terus menjaga ritme pelaksanaan agar tetap on the track.
Di era digital, dapur pelatihan tidak lagi hanya ruang kelas dan papan tulis. Tim teknologi pembelajaran kini menjadi penggerak utama dalam memastikan pembelajaran daring dan hybrid berjalan efektif. Mengelola Learning Management System (LMS), mengembangkan konten multimedia, dan mengintegrasikan data pembelajaran ke dalam platform nasional. Peran strategis ini akan menentukan bagaimana teknologi memperluas akses, menjaga kualitas, dan mempersonalisasi pengalaman belajar.
Mereka penjaga modernisasi di lembaga pelatihan, di mana pembelajaran tidak berhenti di kelas, melainkan terus berlanjut secara digital: merekam, menilai, dan memotivasi. Namun, pembelajaran tidak akan bermakna tanpa suasana yang nyaman. Di sinilah peran penjaga kenyamanan.
Petugas kebersihan, satpam, petugas catering, hingga penjaga taman. Mereka memastikan ruang bersih, aman, rapi, dan menyenangkan. Kehadiran mereka menciptakan keseimbangan psikologis yang mendukung proses belajar.
Di tengah jadwal padat dan anggaran terbatas, justru merekalah yang paling sigap dan tulus. Hadir sebelum semua datang, pulang setelah semua selesai, menjaga agar reputasi lembaga pelatihan tetap harum. Kinerja mereka memang tidak tertulis dalam SKKNI, tetapi substansinya nyata sebagai bagian dari pelayanan publik.
Mengenali Kompetensi di Balik Dapur Pelatihan
Di balik layar, para perancang, widyaiswara, teknolog pembelajaran, hingga penjaga kenyamanan. Masing-masing memiliki peran, tanggung jawab, dan kompetensi unik untuk saling melengkapi membentuk ekosistem pelatihan ASN yang hidup.
Bagi perancang program pelatihan, keahlian utamanya terletak pada kemampuan membaca arah kebijakan dan menerjemahkannya menjadi learning topic dan strategi belajar yang relevan. Mereka dituntut mampu melakukan TNA, merancang kurikulum berbasis kompetensi, menyusun indikator kinerja pembelajaran, serta menguasai metodologi andragogi, dan evaluasi pembelajaran dan pelatihan. Mereka piawai menghubungkan visi organisasi dengan strategi belajar yang aplikatif, agar hasil pelatihan menumbuhkan perubahan kinerja individu, jabatan, dan organisasi.
Sementara itu, WI memegang peran strategis sebagai penterjemah nilai dan pengetahuan ke dalam pengalaman belajar. Selain menguasai substansi ajar, WI dituntut memiliki kompetensi teknis sebagaimana di atur dalam Peraturan Menpan-RB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Widyaiswara.
Di samping itu, penguatan kemampuan didaktik-metodik, komunikasi interpersonal, serta kemampuan coaching-mentoring perlu diperhatikan, memastikan WI bukan sekadar penyampai materi, tetapi fasilitator yang mampu menstimulasi adanya perubahan pola pikir dan perilaku ASN.
Sedangkan tim teknis penyelenggara pelatihan berperan sebagai pengatur ritme pelatihan. Kompetensinya mencakup pengelolaan administrasi pelatihan, pelayanan peserta (customer orientation), serta penguasaan sistem informasi pelatihan. Keterampilan koordinasi, ketelitian, dan komunikasi menjadi bagian penting dari profesionalitas mereka.

Memasuki era digital, tim teknologi pembelajaran menjadi penggerak transformasi pelatihan modern. Kompetensinya mencakup penguasaan teknologi pembelajaran, desain konten digital, manajemen data, keamanan siber, dan learning analytics. Melalui keahlian ini, mereka menjembatani inovasi teknologi dengan kebutuhan personal belajar ASN
Dititik yang paling sunyi hadir “penjaga kenyamanan”. Ponggawa yang memastikan ruang bersih, aman, dan ramah. Kompetensinya mencakup layanan pendukung pelatihan yang berbasis sikap, keterampilan, dan pengetahuan praktis, seperti etika kerja publik, pengelolaan fasilitas, prosedur keselamatan dan keamanan lingkungan, dan pelayanan berbasis empati. Mereka memastikan suasana yang mendukung konsentrasi belajar, menghadirkan kenyaman dan kehangatan, unjuk kerja paling dasar yang sangat berharga.
Menegakkan Martabat Dapur Pelatihan
Kelima peran tersebut membentuk satu ekosistem pelatihan yang kuat. Saat ini, diperlukan reorientasi sistem penghargaan lembaga pelatihan dari “hasil pelatihan”, diperkuat dengan penilaian profesionalisasi para aktor di balik layar. Mungkinkah mutu pelatihan ASN terjaga bila dapur pembelajaran tidak diberi ruang?Ruang untuk tumbuh dengan kompetensi yang jelas, peta karier yang adil, dan dukungan sistem yang memadai.
Ironisnya, di tengah padatnya kalender pelatihan dan terbatasnya alokasi anggaran, para penggerak dapur ini sering kali harus mengembangkan diri dengan cara-cara mandiri dan kreatif. Mereka belajar sambil bekerja, mengikuti webinar daring di sela kegiatan, membaca regulasi baru di tengah rapat, atau berdiskusi lintas unit, serta obrolan ringan ditemani kopi hangat untuk mencari solusi teknis, .
Di balik semangat itu, tersembunyi realitas yang tidak selalu adil. Ketimpangan beban kerja dan penghargaan menjadi sisi gelap di dalam dapur. Dengan dalih keterbatasan jumlah SDM atau fleksibilitas kerja lintas fungsi (squad team), sejumlah orang akhirnya memikul tanggung jawab ganda, seperti widyaiswara yang juga tim penyelenggara, merancang, melatih, sekaligus mengelola logistik.
Sementara pihak lainnya hanya terlibat minimal karena peran struktural atau kultural, kapasitas terbatas, atau karena beda gedung. Akibatnya, semangat kolaborasi yang seharusnya menjadi roh tim, justru berubah menjadi pembenaran atas distribusi kerja yang timpang.
Solusinya, perlu reposisi makna dari kolaborasi dan pengelolaan beban kerja yang berbasis kompetensi, bukan hanya kedekatan atau ketersediaan waktu semata. Unit pengelola pelatihan dapat mengadopsi model role mapping, di mana setiap individu memiliki deskripsi peran dan indikator kinerja spesifik, termasuk kapasitas maksimum penugasan. Sistem rotasi berbasis proyek bisa diterapkan agar tidak selalu individu yang sama terjebak dalam lingkaran beban berlebih.
Kebijakan pengembangan SDM perlu menegaskan prinsip equity in workload, bahwa produktivitas tidak boleh dibangun di atas kelelahan sebagian orang. Anggaran pelatihan internal bisa diarahkan untuk memperkuat kapasitas melalui pendekatan on-the-job learning, coaching oleh senior, peer learning, coaching clinic, atau team retreat, dan pelatihan singkat untuk menumbuhkan kebanggaan profesi.
Sudah saatnya lembaga pelatihan pemerintah menegakkan martabat dapurnya. Bukan hanya dengan ucapan terima kasih dalam sambutan penutupan, tetapi dengan kebijakan yang mengakui kemampuan mereka.
Menginstitusionalisasi Kompetensi Penyelenggara Pelatihan
Di balik dinamika pelatihan ASN, kebutuhan mendesak yang sering luput diperhatikan adalah standarisasi kompetensi dapur pelatihan. Tanpa standar yang jelas, pekerjaan akan terus dinilai secara subjektif, bergantung pada persepsi pimpinan, pengalaman pribadi, atau hasil evaluasi pelatihan yang tampak di permukaan. Standar kompetensi diperlukan sebagai alat ukur professional yang memberi pijakan objektif, memastikan bahwa setiap individu di “dapur pelatihan” memiliki kemampuan dasar untuk menjamin mutu dan keberlanjutan pelatihan.
Pentingnya standarisasi ini semakin terasa karena mobilitas pegawai (mutasi, rotasi, promosi) sebagai hal yang pasti Ketika pegawai berpindah, lembaga pelatihan tidak boleh kehilangan memori dan kapasitas institusionalnya. Di sinilah skema sertifikasi kompetensi penyelenggara pelatihan berperan penting. Skema harus dirancang lintas jabatan dan lintas lembaga yang dipandu oleh LAN, agar pengetahuan dan keahlian tetap melekat,.
Sertifikasi ini kemudian menjadi jembatan mobilitas karier yang sehat. Dengan sertifikat kompetensi yang diakui lintas instansi, pegawai tetap membawa identitas profesionalnya sebagai penyelenggara pelatihan, di mana pun bertugas. Pengakuan ini menumbuhkan rasa bangga dan membangun identitas profesi.
Sistem sertifikasi tidak harus kaku seperti uji kompetensi teknis, tetapi bisa mengambil bentuk portofolio dari pengalaman belajar dan capaian kinerja. Misalnya pengakuan sebagai “Desainer Program Pelatihan ASN”, “Basic Manager Penyelenggara Pelatihan”, atau “Spesialis Teknologi Pembelajaran”. Skema ini dapat merujuk pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) atau dikembangkan bersama antara LAN, BKN, dan lembaga pelatihan pemerintah lainnya. Sertifikasi nonformal pun bisa menjadi bentuk pengakuan simbolik internal.
Dengan begitu, lembaga pelatihan bukan hanya membangun sistem unggul, tetapi juga budaya kerja yang manusiawi. Tempat di mana setiap peran, tanpa memandang jabatan atau status, diakui sebagai bagian penting dari keberhasilan bersama.
Pendekatan ini bukan hanya efisien, tetapi juga strategis, menempatkan lembaga pelatihan sebagai institusi pembelajaran yang memiliki arah, sistem, dan jenjang yang jelas, mulai dari tahap orientasi hingga pengakuan kompetensi. Proses belajar tidak berhenti pada peningkatan keterampilan, tetapi bermuara pada legitimasi profesional yang diakui negara. Inilah semangat sejati Corporate University ASN, membangun sistem pembelajaran berkelanjutan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga memuliakan profesi dapur pelatihan.
Karena itu, tugas kebijakan selain mengatur, juga mengafirmasi kemampuan setara dengan panggungnya. Jika ruang senyap ini diabaikan, aroma profesionalisme yang dibanggakan dalam setiap ajang penghargaan lembaga pelatihan berprestasi tidak akan pernah benar-benar matang. (*)