Penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai perdebatan yang menarik. Di satu sisi, keputusan itu tampak seperti langkah afirmatif untuk menegaskan kembali pentingnya kebudayaan sebagai landasan kehidupan berbangsa. Namun di sisi lain, publik tak bisa menahan tawa getir. Tanggal itu kebetulan sama dengan hari lahir Prabowo Subianto, sang presiden.
Sulit rasanya tidak curiga. Apa ini sekadar sama, atau justru simbol bagaimana kekuasaan di negeri ini kerap menjadikan kebudayaan sebagai panggung legitimasi?
Fadli Zon sendiri menegaskan bahwa penetapan tanggal 17 Oktober merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang lambang negara. Hari itu dianggap bersejarah karena Soekarno meresmikan Garuda Pancasila sebagai lambang negara, sekaligus memperkenalkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika selaku identitas pemersatu bangsa yang majemuk.
Alasan itu tampak mulia dan logis, mengaitkan hari kebudayaan dengan simbol nasional yang menggambarkan falsafah hidup bangsa, kekayaan budaya, toleransi, dan persatuan. Tapi bukankah narasi seperti itu sudah terlalu sering menjadi klise? Formal, penuh basa-basi, dan berputar-putar di sana.
Simbol dan Semboyan Negara
Sebab kalau benar menjadikan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional, maka kita perlu keberanian untuk menyingkap kebudayaan dari lapisan yang lebih dalam. Kita perlu menantang pemaknaannya, menggali sisi yang selama ini disembunyikan. Bahwa kebudayaan Indonesia tidak lahir dari kemurnian, melainkan dari percampuran, sinkretisme, dan perjumpaan lintas tradisi yang panjang dan rumit.
Garuda Pancasila, misalnya, berakar pada sosok yang sejak abad ke-6 muncul di relief Candi Dieng, Prambanan, dan Penataran sebagai kendaraan Dewa Wisnu, lambang kekuatan dan kesetiaan. Pada 1949, Sultan Hamid II merancangnya dalam bentuk antropomorfis, setengah manusia setengah burung. Namun Soekarno dan Natsir menolaknya karena dipandang terlalu mitologis, lalu mengubahnya menjadi rajawali yang lebih rasional.
Tapi bagaimanapun juga, Garuda tetaplah makhluk mitologis. Ia berasal dari tradisi Hindu, yang jejaknya mengakar di India dan menyeberang ke Nusantara. Dengan kata lain, bahkan simbol negara kita pun berdiri di atas fondasi sinkretik.
Demikian pula dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Frasa itu diambil dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular, dan lengkapnya berbunyi “Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” Artinya, “Berbeda-beda namun satu juga, tiada kebenaran yang mendua.” Jujur saja, kalimat itu bukan semboyan politik, melainkan ajaran religius yang ingin menyatukan dua tradisi besar di Nusantara. Agama Siwa dan Buddha. Ia adalah seruan bagi umat yang berbeda jalan untuk tetap menuju satu kebenaran.
Ironisnya, aspek religius dan sinkretik inilah yang sering dihapus dari wacana resmi kebangsaan. Kita hanya mengutip permukaannya, tetapi mengabaikan sukmanya. Kita seakan takut mengakui bahwa dasar identitas kita sendiri bersumber dari percampuran yang cair dan penuh paradoks. Garuda yang mitologis. Semboyan yang lahir dari teks keagamaan sinkretik.
Negeri Campur Baur

Indonesia, negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia, menempatkan Islam pada posisi istimewa dalam birokrasi dan kehidupan publik. Negara mengatur madrasah, pesantren, peradilan agama, haji, penentuan hilal, hingga sertifikasi halal. Dari bank syariah sampai Kantor Urusan Agama, seluruh sistem pelayanan umat tersedia, menunjukkan wajah modernitas Indonesia yang dibentuk dalam napas religiusitas Islam.
Namun di balik identitas religius itu, tersimpan lapisan makna yang lebih tua dan beragam. Sang Saka Merah Putih, misalnya, dalam kosmologi lokal bukan sekadar lambang keberanian dan kesucian, melainkan simbol asal-usul kehidupan. Darah ibu dan sperma bapak, perpaduan unsur yang melahirkan dunia. Bahkan tanah air yang kita panggil Ibu Pertiwi adalah personifikasi seorang Dewi, sosok ilahi feminin yang menjiwai bumi Nusantara.
Di sinilah paradoks Indonesia menemukan bentuknya. Sebuah bangsa modern yang melantangkan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,” namun fondasi imajinatifnya tetap berdenyut dari akar spiritualitas leluhur.
Asas negara memang berpijak pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa,” tetapi penyebutan Sang Ilahi dengan istilah “Tuhan” justru lahir dari jejak sejarah lintas budaya dan kolonial. Kata “Tuhan” berasal dari Melayu tuan, sebutan bagi orang berpangkat atau majikan, yang diangkat oleh penerjemah Alkitab Belanda abad ke-17 sebagai padanan Lord atau Kyrios. Dari sanalah istilah ini menyebar dan menjadi bahasa bersama lintas agama di Indonesia, menandai konsep ketuhanan kita pun lahir dari perjumpaan seperti ini.
Seolah-olah Aib
Namun dalam praktik bernegara hari ini, kecenderungannya justru berlawanan. Sinkretisme yang sesungguhnya menjadi nadi kebudayaan Nusantara sering dianggap najis, tak murni, atau menodai iman. Kita dididik untuk memalsukan ucapannya dengan istilah yang terdengar lebih halus seperti “akulturasi” atau “asimilasi”, seolah-olah perpaduan agama dan tradisi hanya bisa diterima bila dibersihkan dari kesan religius. Padahal justru dari ketegangan dan percampuran itulah lahir keindonesiaan kita yang paling hakiki.
Di samping itu, tradisi spiritual lokal disederhanakan menjadi “kebudayaan” semata, dipisahkan dari ranah agama, dari “kepercayaan” yang dianggap tak resmi. Negara modern kita berusaha memurnikan warganya dalam kategori tungga, satu agama, satu kepercayaan, satu cara beriman. Padahal kenyataannya, kehidupan sehari-hari kita masih dijalani secara multiple religious belonging. Kita muslim tapi tetap percaya pada kesaktian dan jimat, kita kristiani tapi sembahyang di altar leluhur.
Di titik ini, perayaan Hari Kebudayaan Nasional seharusnya menjadi ruang untuk bercermin. Di balik slogan toleransi dan keberagaman, terdapat kenyataan religius yang kompleks tentang siapa kita sebenarnya. Lalu beranikah negara dan kita mengakui kenyataan itu sebagai bagian yang sah dari kebudayaan nasional?
Inilah ujian sesungguhnya bagi peringatan Hari Kebudayaan Nasional, apakah ia sekadar seremoni kosong atau momentum untuk jujur terhadap identitas bangsa yang lahir dari racikan, adaptasi, bahkan penaklukan, yang memuat lapisan-lapisan lokal, Hindu-Buddha, Tiongkok, Islam, Kristen, kolonialisme Barat, modernitas, Jawa-sentrisme, mayoritarisme? Semua itu sudah saling menembus, membentuk identitas kita yang ambigu sekaligus kaya.
Marilah kita bertaubat, marilah kita waspada pada retorika tentang “kebudayaan yang asli” atau “jati diri bangsa yang murni”. Narasi semacam itu sering menjadi alat kuasa, membungkam yang berbeda, menolak perubahan, atau menutupi sejarah percampuran yang sebenarnya menjadi sumber kekuatan kita.
Negara berisiko menstandarkan sesuatu yang boleh disebut budaya dan menyingkirkan yang dianggap benalu. Padahal kebudayaan kita adalah hasil silang perjumpaan yang hidup, identitas yang terus bergerak, bernegosiasi, menyerap tanpa batas.
Tanggal 17 Oktober sudah ditetapkan. Maka kini tinggallah pertanyaan, apakah kita cukup berani menjadikan kebudayaan sebagai cermin untuk mengakui bahwa kita lahir dari dunia yang sinkretik, religius, dan paradoksal? Baru ketika keberanian itu muncul, Hari Kebudayaan Nasional pantas dirayakan sebagai cara menjadi manusia Indonesia. Manusia Nusantara yang jujur pada kerumitan asal-usulnya, bukan sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai pengakuan atas kekayaan identitas yang sebenarnya. (*)