Bandros atau Bandung Tour on Bus adalah bus wisata ikonik Kota Bandung. (Sumber: Pexels/arwin waworuntu)

Ayo Netizen

Bandung Raya dan Mimpi Kota Berkelanjutan yang Masih Setengah Jalan

Senin 27 Okt 2025, 12:46 WIB

Penghargaan UI Green City Metric Award 2025 menjadi salah satu tolok ukur penting bagi kota-kota di Indonesia dalam menilai sejauh mana pembangunan daerah berjalan selaras dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.

Melalui berbagai indikator seperti pengelolaan energi, mobilitas hijau, kualitas udara, ruang terbuka, dan partisipasi masyarakat, penghargaan ini mendorong pemerintah daerah untuk tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keseimbangan ekologis dan sosial.

Dalam konteks urbanisasi yang kian pesat, ajang ini berfungsi sebagai cermin yang memperlihatkan komitmen nyata setiap kota terhadap masa depan yang hijau dan berketahanan. Oleh karena itu, hasil penghargaan tahun ini memunculkan sejumlah refleksi penting, terutama ketika beberapa wilayah yang selama ini dikenal memiliki potensi besar justru belum mampu menembus daftar penerima penghargaan tersebut.

Salah satu kawasan yang menjadi sorotan adalah Bandung Raya, yang terdiri dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi. Wilayah ini dikenal luas sebagai pusat pendidikan, kebudayaan, dan kreativitas di Jawa Barat, namun tahun ini tidak ada satu pun perwakilannya yang berhasil meraih penghargaan tersebut.

Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa kawasan yang memiliki potensi begitu kuat dalam inovasi dan sumber daya manusia justru tertinggal dalam aspek keberlanjutan lingkungan? Jawaban dari pertanyaan ini tidak bisa disederhanakan pada satu faktor tunggal, melainkan merupakan hasil dari rangkaian tantangan struktural, sosial, dan kebijakan yang saling berkaitan.

Tidak tercapainya penghargaan tersebut bukan semata-mata karena kurangnya inisiatif, melainkan karena masih lemahnya integrasi dan konsistensi dalam mengelola pembangunan berkelanjutan di wilayah Bandung Raya secara menyeluruh.

Salah satu alasan utama mengapa Bandung Raya gagal masuk ke dalam daftar penerima penghargaan adalah masalah tata kelola lingkungan yang belum konsisten dan terintegrasi antarwilayah. UI Green City Metric menilai kota berdasarkan sejumlah indikator seperti kebijakan energi terbarukan, pengelolaan sampah, kualitas udara, ruang terbuka hijau, mobilitas berkelanjutan, dan partisipasi masyarakat.

Di banyak aspek ini, wilayah Bandung Raya masih menghadapi ketimpangan dan fragmentasi kebijakan. Kota Bandung misalnya, memiliki sejumlah program inovatif seperti pemanfaatan energi surya di fasilitas publik dan gerakan pengurangan sampah plastik. Namun, upaya tersebut sering berjalan parsial, tidak diikuti oleh wilayah sekitarnya dengan intensitas yang sama.

Kabupaten Bandung masih bergulat dengan persoalan limbah industri tekstil yang mencemari Sungai Citarum, sementara Kabupaten Bandung Barat menghadapi tekanan besar akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan permukiman dan wisata komersial. Kota Cimahi sendiri menghadapi keterbatasan anggaran dan ruang dalam mengembangkan sistem transportasi hijau maupun ruang terbuka publik yang memadai.

Ketidakterpaduan kebijakan inilah yang membuat Bandung Raya secara keseluruhan tidak menonjol dalam indikator keberlanjutan regional yang menjadi basis penilaian UI Green City Metric.

Masalah lain yang cukup mendasar adalah tingginya tingkat urbanisasi yang tidak seimbang dengan kapasitas infrastruktur hijau yang tersedia. Bandung Raya terus menjadi magnet bagi pendatang dari berbagai daerah karena daya tarik ekonomi, pendidikan, dan budaya. Pertumbuhan penduduk yang pesat membawa implikasi serius terhadap kebutuhan energi, air, dan lahan.

Permintaan perumahan meningkat, sehingga lahan-lahan hijau di pinggiran kota banyak yang dikonversi menjadi permukiman. Kondisi ini mengurangi tutupan vegetasi dan memperburuk daya serap air, yang pada gilirannya memicu banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah. Di saat yang sama, kemacetan lalu lintas menjadi persoalan kronis yang belum tertangani dengan solusi transportasi berkelanjutan.

Meskipun terdapat wacana pengembangan sistem angkutan massal seperti LRT dan BRT, implementasinya berjalan lambat dan belum berdampak signifikan terhadap pengurangan emisi karbon dari sektor transportasi. Bagi penilaian seperti UI Green City Metric yang menekankan efisiensi energi dan mobilitas hijau, situasi ini jelas menjadi kelemahan yang mencolok.

Kondisi sosial masyarakat juga turut memengaruhi hasil penilaian. Sebagian masyarakat Bandung Raya memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi, terlihat dari munculnya berbagai komunitas hijau, gerakan bank sampah, hingga inovasi warga dalam pengelolaan limbah rumah tangga.

Tingkat partisipasi masih sangat timpang antarwilayah. Di banyak kawasan padat, terutama di permukiman informal dan daerah industri, perilaku buang sampah sembarangan, penggunaan air secara berlebihan, dan minimnya pengelolaan limbah rumah tangga masih menjadi persoalan sehari-hari.

Pemerintah daerah sering kali tidak memiliki mekanisme yang cukup kuat untuk menggerakkan partisipasi masyarakat secara luas dan berkelanjutan. Tanpa dukungan perilaku ekologis yang masif di tingkat warga, kebijakan hijau di tingkat pemerintah tidak akan mampu menghasilkan perubahan sistemik yang berarti.

Dari sisi birokrasi, masalah klasik seperti koordinasi antarlembaga dan keterbatasan anggaran juga menjadi hambatan besar. Program-program berorientasi lingkungan sering kali menjadi korban pemotongan anggaran atau tidak mendapat prioritas dibanding proyek-proyek infrastruktur yang dianggap lebih “berdampak cepat” secara ekonomi dan politis. Padahal, pembangunan berkelanjutan memerlukan investasi jangka panjang yang hasilnya mungkin tidak langsung terlihat, tetapi sangat penting untuk kesejahteraan jangka panjang.

Dalam beberapa tahun terakhir, alokasi dana untuk penghijauan kota, transportasi ramah lingkungan, dan sistem pengelolaan limbah terpadu tidak mengalami peningkatan signifikan di sebagian besar wilayah Bandung Raya. Kondisi ini membuat upaya menuju kota hijau menjadi terhambat secara struktural, meski niat baik dan gagasan inovatif sebenarnya banyak bermunculan.

Selain faktor internal, tekanan eksternal berupa perubahan iklim dan degradasi lingkungan regional juga berperan. Bandung Raya yang berada di cekungan geografis dikelilingi pegunungan menghadapi tantangan serius terkait kualitas udara. Polusi udara tidak hanya berasal dari transportasi dan industri lokal, tetapi juga dari aktivitas pembakaran lahan di wilayah sekitar.

Fenomena inversi suhu yang sering terjadi membuat polutan udara terperangkap di lapisan bawah atmosfer, memperburuk kualitas udara pada musim kemarau. Indikator kualitas udara yang rendah secara otomatis menurunkan skor penilaian dalam UI Green City Metric.

Begitu pula dengan manajemen air: meskipun terdapat proyek Citarum Harum yang digagas pemerintah pusat, implementasinya di tingkat lokal masih belum optimal. Banyak pabrik di sepanjang sungai masih belum sepenuhnya mematuhi regulasi pembuangan limbah cair, sementara kesadaran warga untuk tidak membuang sampah ke sungai masih perlu ditingkatkan.

Sungai Citarum lautan sampah. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan al Faritsi)

Sementara itu, sektor energi dan transportasi hijau yang menjadi kunci penilaian kota berkelanjutan juga belum menunjukkan kemajuan signifikan. Proporsi penggunaan energi terbarukan di wilayah Bandung Raya masih sangat kecil dibandingkan kebutuhan total. Upaya seperti pemasangan panel surya di gedung-gedung publik atau sistem penerangan jalan berbasis tenaga surya baru mencakup sebagian kecil dari potensi yang ada.

Di sisi lain, kendaraan pribadi terus mendominasi mobilitas harian karena keterbatasan transportasi umum yang nyaman, murah, dan tepat waktu. Kondisi ini bukan hanya memperparah polusi udara dan kemacetan, tetapi juga menunjukkan bahwa orientasi pembangunan kota masih berpihak pada kebutuhan mobilitas individual, bukan kolektif.

UI Green City Metric memberikan bobot tinggi pada transportasi ramah lingkungan dan efisiensi energi, sehingga kurangnya komitmen nyata di sektor ini berdampak langsung pada penilaian akhir.

Dari perspektif perencanaan kota, ada pula persoalan inkonsistensi antara rencana tata ruang dan implementasinya. Dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) sering kali memuat visi hijau dan berkelanjutan, namun dalam praktiknya, izin pembangunan sering diberikan pada kawasan yang seharusnya dilindungi atau berfungsi sebagai daerah resapan air. Tekanan ekonomi dari pengembang properti dan pariwisata sering kali mengalahkan kepentingan ekologis.

Pemerintah daerah menghadapi dilema antara menjaga pertumbuhan ekonomi dan mempertahankan keberlanjutan lingkungan. Tanpa komitmen yang kuat untuk menegakkan aturan tata ruang, Bandung Raya akan terus mengalami degradasi ekologis yang membuatnya sulit memenuhi standar kota hijau modern.

Bandung Raya sebenarnya memiliki modal sosial dan akademik yang sangat kuat untuk menjadi pelopor kota hijau di Indonesia. Dengan banyaknya universitas, lembaga riset, dan komunitas kreatif, kolaborasi lintas sektor seharusnya bisa menjadi kekuatan utama dalam mempercepat transformasi menuju kota berkelanjutan. Sinergi antara pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat sipil masih belum optimal. Banyak inisiatif yang berjalan sendiri-sendiri, tanpa koordinasi yang kuat atau kerangka kebijakan bersama.

Sebagai contoh, proyek-proyek riset tentang efisiensi energi atau pengelolaan sampah sering kali tidak diintegrasikan ke dalam kebijakan pemerintah daerah, sehingga hasilnya tidak berdampak luas. Begitu pula dengan sektor swasta yang belum sepenuhnya menjadikan keberlanjutan sebagai prinsip utama bisnis. Tanpa kolaborasi lintas sektor yang efektif, upaya menuju penghargaan seperti UI Green City Metric akan sulit tercapai.

Selain itu, peran edukasi dan komunikasi publik masih belum dimaksimalkan. Banyak warga yang belum memahami pentingnya prinsip keberlanjutan dan bagaimana mereka bisa berkontribusi secara konkret. Pemerintah daerah cenderung menekankan aspek kampanye seremonial, seperti penanaman pohon massal atau lomba kebersihan, tetapi kurang dalam membangun sistem edukasi berkelanjutan yang menanamkan nilai ekologis sejak usia dini.

Padahal, keberhasilan kota hijau sangat bergantung pada budaya masyarakat yang sadar lingkungan. Ketika nilai keberlanjutan menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari, transformasi menuju kota hijau akan terjadi secara alami tanpa harus menunggu dorongan dari pemerintah.

Kegagalan Bandung Raya meraih UI Green City Metric Award 2025 seharusnya tidak dipandang sebagai aib, melainkan sebagai alarm keras untuk memperbaiki arah pembangunan. Penghargaan ini tidak hanya sekadar simbol, tetapi juga cermin yang memperlihatkan seberapa jauh kota-kota di Indonesia telah beranjak menuju masa depan yang lebih hijau dan berketahanan.

Bagi Bandung Raya, hasil ini bisa menjadi momentum untuk melakukan refleksi menyeluruh dan menyusun strategi baru yang lebih terintegrasi dan berorientasi jangka panjang. Pemerintah daerah perlu memperkuat tata kelola lintas batas administratif, mempercepat implementasi transportasi publik hijau, memperluas penggunaan energi terbarukan, serta menegakkan aturan tata ruang secara konsisten. Dunia akademik dan komunitas lokal perlu dilibatkan lebih dalam, bukan hanya sebagai mitra simbolis, tetapi sebagai motor inovasi yang nyata.

Dalam jangka panjang, keberhasilan Bandung Raya dalam menjadi kawasan hijau tidak akan diukur dari penghargaan semata, tetapi dari kemampuan wilayah ini untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kelestarian. Tanpa komitmen serius, kota yang dulu dikenal sebagai “Parijs van Java” bisa kehilangan daya tarik ekologisnya dan terjebak dalam siklus pembangunan yang tidak berkelanjutan.

Jika hasil tahun ini dijadikan titik balik, bukan sekadar kekecewaan, Bandung Raya masih memiliki peluang besar untuk bangkit dan membuktikan bahwa kota metropolitan pun bisa tumbuh tanpa mengorbankan alam. Karena pada akhirnya, menjadi kota hijau bukan tentang memenangkan penghargaan, tetapi tentang memastikan bahwa masa depan tetap layak dihuni oleh generasi berikutnya. (*)

Tags:
Kota BerkelanjutanUI Green City Metric Award 2025Bandung Raya

T.H. Hari Sucahyo

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor