Shutter (2025) adalah sebuah film remake dari film aslinya yang berasal dari Negeri Gajah Putih (Thailand), yaitu Shutter (2004). Diperankan oleh Vino G. Bastian sebagai Darwin, Anya Geraldine sebagai Pia, dan Niken Anjani sebagai Lilies, disutradari oleh Herwin Novianto dan berasal dari rumah produksi Falcon Pictures.
Shutter bercerita tentang hidup seorang fotografer bernama Darwin bersama pacarnya, Pia yang berubah setelah tidak sengaja menabrak seseorang di tengah jalan di malam hari. Akhirnya, Darwin dan Pia mendapat "teror" yang tidak berkesudahan lewat foto-foto yang Darwin potret. Namun, dari foto-foto itu menyimpan sebuah rahasia yang tak ingin Darwin ceritakan pada siapapun, yang nantinya akan berhubungan dengan almamaternya.
Falcon Pictures mengadakan Special Screening di berbagai daerah di Indonesia, seperti Semarang, Solo, Yogyakarta, Banjarmasin, dan Makassar dari 25 Oktober hingga 29 Oktober 2025, dan akan tayang resmi pada tanggal 30 Oktober 2025. Di Yogyakarta, Screening Shutter ditayangkan di CGV Pakuwon Yogyakarta pada tanggal 26 Oktober 2025, dan saya berkesempatan menonton Special Screening Shutter.
Dari premis yang dihadirkan oleh film Shutter, sudah menarik dan memberi pesan yang dalam bagi penonton, menampilkan plot twist yang juga tidak terduga terutama pada bagian pertengahan hingga akhir film, di mana pada akhir filmlah pesan yang ingin disampaikan oleh Shutter dapat dirasakan penonton dengan jelas.
Contohnya saja, dalam salah satu adegan disampaikan oleh dosennya Pia bahwa jika muncul "sosok tak terlihat" dalam foto, maka sosok itu hendak menyampaikan sesuatu, dan hal itu terbukti dari foto yang ditangkap oleh Darwin dengan kamera analog ketika sedang ada acara di kampus tempatnya dulu berkuliah yang terlihat penampakan dari sosok arwah.
Menurut saya, dengan adanya kamera analog dalam film ini, menambah kesan "horor" dikarenakan kamera analog memerlukan waktu untuk diproses menjadi sebuah foto. Selain itu pula, di kamar gelap tempat Darwin memproses foto analognya, menurut saya sutradara Herwin Novianto pandai dalam memainkan suasana yang horor di tempat yang sempit dan remang-remang.
Dalam teknik pengambilan adegan, sempat ada beberapa kali close up ke arah mata, muka, ataupun kepala tokoh, menimbulkan rasa tidak nyaman ataupun membuat penonton merasa dekat dengan apa yang dirasakan tokoh dalam film ini.
Misalnya, saja ada adegan ketika Darwin membuka pintu di kamar gelap untuk mengecek apa yang ada di dalam ruangannya, teknik shoot yang digunakan adalah close up ke mata, menimbulkan rasa penasaran, takut, sekaligus gelisah seperti tokoh Darwin. Atau adegan kejar-kejaran antara Darwin dan arwah penasaran di tangga luar bangunan studio tempat kerjanya Darwin.
Selain adegan, juga ada soal musik yang jauh lebih bernada ke arah ambient atau untuk menambah suasana dari adegan tersebut, dan juga ada lagu-lagu yang merupakan original soundtrack untuk Shutter, contohnya "Di Batas Malam" yang dinyanyikan oleh Danilla.
Untuk sound effects, menurut saya penggarapannya serius, contohnya saja ketika Darwin "dihantui" di studionya sendiri, terdengar suara flash kamera berulang kali bersamaan dengan momen Darwin mencari sekring untuk menyalakan ruangan studionya.
Lalu, untukfilm sepertinya lebih bersifat reflektif bagi penonton, berdasarkan apa yang terjadi di sepanjang film Shutter ini. Shutter tidak hanya sekadar diteror oleh arwah atau takut-takutan saja, namun juga soal kesadaran diri akan isu-isu yang terjadi di sekitar kita. (*)