Masjid Agung Alun-Alun Bandung. (Sumber: ayobandung.com)

Ayo Netizen

Kenangan yang Menggenang di Masjid Agung Alun-Alun Bandung

Minggu 16 Nov 2025, 10:04 WIB

Ada yang bilang, Bandung itu kota yang kalau sudah pernah kamu tinggali, rasanya susah benar untuk benar-benar pergi. Aku baru sadar kalimat itu bukan sekadar kata-kata manis buat caption Instagram. Setelah belasan tahun merantau di Jakarta—kota yang katanya tidak pernah tidur tapi sering bikin mata panda—akhirnya aku menjejak lagi di tempat yang dulu jadi “halaman rumah” masa kuliah: Alun-Alun Bandung.

Waktu dulu, sekitar tahun 2002-an akhir, Alun-Alun belum serapih sekarang. Rumputnya bukan sintetis, tapi rumput beneran—yang kalau hujan bisa berubah jadi sawah mini dan kalau kering bisa bikin celana penuh noda coklat misterius. Tapi di situlah justru romantismenya. Duduk di bawah pohon sambil nonton orang main bola plastik, ngemil cilok lima ratusan, dan pura-pura belajar ujian (padahal ngelamun lihat yang lewat).

Sekarang, saat aku datang lagi, Alun-Alun terasa seperti versi upgrade dari masa laluku. Rumputnya hijau terang tapi anti-becek, anak-anak berlarian dengan sepatu bersih, dan semua orang sibuk berfoto dengan gaya “tangan di depan mulut” sambil menatap kamera dari bawah. Aku sempat berpikir, kalau dulu rumputnya sudah sintetis begini, mungkin nilai IPK-ku bisa lebih tinggi—soalnya pasti lebih betah nongkrong sambil belajar. Tapi ya, siapa juga yang mau belajar kalau di depan ada abang es cendol?

Aku berjalan ke arah Masjid Raya Bandung, menatap menara yang menjulang. Ada momen haru juga, saat aku berdiri di tengah lapangan rumput itu dan melihat sekitar. Di sana ada pasangan muda yang selfie, keluarga kecil yang piknik, turis luar kota yang takjub, dan aku—mantan anak Bandung yang tiba-tiba merasa pulang. Di antara tawa, teriakan anak kecil, dan aroma sate yang lewat, aku sadar: Bandung mungkin berubah, tapi rasa hangatnya tetap sama.

Saya masih ingat betul, waktu wisuda S1 di Bandung tahun 2009. Waktu itu rasanya seperti baru selesai maraton panjang penuh begadang, skripsi, dan Indomie rebus. Bandung buat saya bukan cuma kota kuliah, tapi tempat di mana hidup terasa lebih lambat, tapi justru di situlah banyak hal penting saya pelajari.

Sekarang, lima belas tahun kemudian, saya sudah menetap di Jakarta. Kota yang kalau pagi sudah sibuk, kalau siang makin macet, dan kalau malam... ya tetap macet juga. Tapi beberapa waktu lalu, saya memutuskan pulang sebentar ke Bandung. Alasannya sederhana: rindu. Selama belasan tahun itu, saya akan menyempatkan diri menarah rasa rindu menjadi kangen luar biasa dengan menjadi turis abal-abal ke Kota Bandung.

Dan entah kenapa, tujuan pertama saya bukan kampus, bukan Dago, bukan Lembang, tapi Alun-Alun Bandung.

Bandung yang Berubah, Tapi Tetap Sama

Wisatawan tumplek di kawasan Alun-alun Bandung (Sumber: Ayobandung)

Begitu turun dari Busss   DAMRI yang modern sekarang mah, saya sempat bengong. “Lho, alun-alunnya jadi begini sekarang?” Rumput sintetis hijau terbentang luas, anak-anak berlarian tanpa alas kaki, ibu-ibu piknik, dan pasangan muda foto-foto sambil bawa balon karakter.

Dulu, tahun-tahun kuliah saya, alun-alun itu penuh pedagang kaki lima, tukang cilok, tukang balon, dan tukang parkir yang nyerocos lebih cepat dari dosen ngajar. Tapi entah kenapa, suasananya masih sama: ramai, hidup, dan hangat.

Saya duduk di pojokan, di bawah bayangan Masjid Raya yang megah itu, sambil beli kopi sachet di warung kecil. Rasanya sih biasa, tapi suasananya luar biasa. Ada aroma nostalgia bercampur debu dan gorengan yang entah kenapa bikin hati tenang.

Sambil menyeruput kopi, pikiran saya melayang ke masa kuliah. Dulu nongkrong bukan di kafe estetik, tapi di warung Indomie depan kosan. Bahasannya bukan bisnis, bukan saham, tapi tugas kelompok yang belum dikerjain dan gosip siapa yang telat ngumpulin laporan. Tapi justru dari situ, saya belajar dua hal penting dari Bandung:

  1. Hidup nggak perlu buru-buru.
  2. Kopi sachet dan obrolan ringan bisa jadi terapi terbaik.

Sekarang di Jakarta, dua hal itu nyaris hilang. Semua orang sibuk, semua hal serba cepat. Bahkan kadang saya lupa makan, tapi nggak pernah lupa ngecek notifikasi.

Mungkin itu sebabnya saya datang ke alun-alun hari itu: buat berhenti sejenak, buat ngobrol sama diri sendiri yang dulu — yang masih punya waktu untuk mikir pelan-pelan.

Merefleksi Alun-Alun Bandung

Buat banyak orang, Alun-Alun Bandung mungkin cuma tempat wisata. Tapi buat saya, ini semacam ruang refleksi publik. Tempat kita bisa duduk, lihat orang berlalu-lalang, dan menyadari bahwa waktu memang berjalan, tapi esensi hidup tetap sama: sederhana.

Saya lihat anak-anak kecil main bola, orang tua tertawa, dan pasangan muda foto-foto di depan tulisan “Alun-Alun Bandung”. Di tengah hiruk pikuk itu, saya merasa damai.

Sebelum pulang, saya beli cilok — masih 5 ribu dapat banyak. Rasanya masih sama seperti dulu. Saya makan sambil tersenyum, karena di setiap gigitan ada rasa masa lalu yang belum benar-benar pergi.

Jakarta boleh gemerlap, tapi Bandung punya pesonanya sendiri. Kota ini selalu mengingatkan bahwa hidup nggak harus terburu-buru. Kadang, cukup duduk di alun-alun, minum kopi sachet, dan menatap langit sore — itu saja sudah cukup untuk merasa hidup lagi.

Dan sambil melangkah meninggalkan alun-alun, saya berbisik pelan: “Hidup tidak perlu tergesa, Kang. Nikmati saja — sambil ngopi.”

Sebelum pulang, aku beli oleh-oleh kecil dari pedagang kaki lima di pinggir jalan. Abangnya masih dengan logat khas Sunda yang ramah, “Sok atuh, Kang, cobian sate padangnya!” Aku tertawa kecil. Rasanya seperti tidak pernah benar-benar pergi dari kota ini.

Dan saat bus kembali melaju menuju Jakarta, aku menatap keluar jendela—Bandung mulai mengecil di kaca, tapi membesar di dada. Karena seperti kata orang-orang, sekali kamu mencintai Bandung, kamu cuma bisa pulang atau kangen. Tidak ada di antaranya. (*)

Tags:
Kota Bandung Masjid AgungAlun-Alun Bandung

Sukron Abdilah

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor