Di tengah hiruk pikuk kota yang bergerak tanpa jeda, semakin banyak orang memilih menjauh untuk sejenak berhenti. Alam, dengan jalur pendakian dan udara dinginnya, dipandang sebagai ruang sunyi yang mampu meredakan lelah. Ketinggian menawarkan jarak dari rutinitas harian, sekaligus menghadirkan janji ketenangan yang dipercaya dapat memulihkan diri. Tak heran, mendaki gunung kini tidak lagi sekadar hobi, melainkan bagian dari gaya hidup.
Namun, di balik narasi tentang alam sebagai ruang pemulihan, muncul pertanyaan yang jarang diajukan, apakah ketenangan benar-benar ditemukan hanya dengan berpindah tempat? Ketinggian memang memberi jarak dari kebisingan kota, tetapi tidak selalu menjauhkan seseorang dari beban pikiran yang dibawa.
Di sinilah pendakian perlu dilihat tidak sekadar sebagai pelarian, melainkan sebagai proses yang menuntut kesadaran, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap alam yang disinggahi. Mendaki pada dasarnya merupakan aktivitas fisik yang menuntut ketahanan tubuh dan kesiapan mental.
Perjalanan panjang, jalur yang menanjak, serta kondisi alam yang tidak selalu ramah melatih kekuatan fisik sekaligus kedisiplinan diri. Aktivitas ini mendorong tubuh untuk bergerak aktif, bernapas lebih teratur, dan beradaptasi dengan ritme yang lebih alami. Tidak mengherankan jika hiking kerap dipandang sebagai hobi yang menyehatkan, baik bagi tubuh maupun pikiran.

Lebih dari sekadar olahraga, mendaki juga mengajarkan proses. Setiap langkah mengharuskan kehati-hatian, kesabaran, dan kemampuan mengenali batas diri. Tidak semua perjalanan harus berakhir di puncak; keputusan untuk berhenti atau turun sering kali menjadi bagian dari kedewasaan dalam mendaki. Dalam proses inilah, hiking menjadi ruang belajar tentang tubuh dan kesadaran diri.
Daya tarik utama pendakian terletak pada alam yang masih relatif asri dan jauh dari kebisingan kota. Lanskap hijau, udara yang lebih bersih, serta ritme alam yang lebih tenang memberi kesempatan bagi seseorang untuk sejenak melepaskan diri dari tuntutan sehari-hari. Alam menghadirkan ruang jeda tempat untuk memperlambat langkah dan mengamati sekitar dengan lebih sadar.
Berada di tengah alam juga kerap memunculkan perspektif baru. Rasa kecil di hadapan luasnya bentang alam membuat banyak orang lebih reflektif, menyadari bahwa tidak semua hal harus dikejar dengan tergesa. Dalam konteks ini, ketenangan tidak hadir sebagai sesuatu yang instan, melainkan tumbuh dari proses menyatu dengan suasana dan ritme alam.
Meski demikian, ketenangan yang diharapkan dari pendakian tidak selalu hadir sebagaimana dibayangkan. Beban pikiran yang dibawa dari kota sering kali tetap menyertai hingga ke jalur pendakian. Kelelahan fisik, tekanan untuk mencapai puncak, atau ekspektasi berlebihan justru dapat menimbulkan ketegangan baru. Ketinggian memberi jarak secara fisik, tetapi tidak selalu menjauhkan seseorang dari persoalan batin.

Di sinilah muncul ilusi bahwa alam dapat menjadi jawaban atas segala kelelahan. Pendakian kemudian dipahami sebagai pelarian singkat, bukan proses pemulihan yang utuh. Ketika ketenangan dijadikan tujuan utama tanpa kesadaran diri, pengalaman mendaki berisiko kehilangan maknanya.
Seperti sebuah pengingat sederhana, “ketenangan bukan tentang sejauh mana langkah menjauh, melainkan seberapa jujur seseorang berdamai dengan dirinya sendiri.” Ketenangan yang dicari bukan soal seberapa tinggi tempat yang dituju, tetapi seberapa sadar setiap proses yang dijalani.
Baca Juga: Mahasiswa Akuntansi Syariah UIN SGD Bandung Taklukkan KTI Nasional dan Tembus Konferensi Global
Pada akhirnya, ketenangan tidak sepenuhnya menunggu di atas ketinggian. Alam hanya menyediakan ruang; makna dan pemulihan tetap dibentuk oleh cara manusia memaknainya. Mendaki dapat menjadi hobi yang menyehatkan, memberi jeda dari hiruk pikuk, sekaligus ruang belajar tentang batas diri dan tanggung jawab.
Namun, ketika pendakian dipahami semata sebagai pelarian atau solusi instan, ketenangan justru berisiko menjadi ilusi. Barangkali, ketenangan yang dicari bukan sekadar soal seberapa tinggi langkah diambil, melainkan seberapa sadar seseorang menjalani setiap prosesnya. (*)