Seorang remaja duduk terpukul di tengah serangan komentar kasar dan ejekan di media sosial. (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: jajang shofar)

Ayo Netizen

Remaja dan Luka Sunyi Dunia Maya

Rabu 24 Des 2025, 09:29 WIB

Kasus cyberbullying yang menimpa mahasiswa Universitas Udayana, Timothy Anugerah Saputra, pada Oktober 2025, menjadi momen yang seharusnya membuka mata kita. Tragedi ini bukan sekadar kasus individual, melainkan tanda bahwa ruang digital kita telah berkembang jauh lebih cepat daripada kemampuan sosial masyarakat dalam menggunakannya secara bertanggung jawab. Remaja hari ini tumbuh dalam lingkungan yang memberi mereka kesempatan tanpa batas, tetapi juga tekanan tanpa jeda.

Saya melihat bahwa persoalan utama bukan hanya keberadaan media sosial, tetapi cara kita memperlakukannya. Ruang digital telah menjadi tempat remaja membangun identitas, mencari penerimaan, dan mengukur nilai diri. Sayangnya, ruang yang seharusnya mendukung tumbuh kembang mereka justru berubah menjadi medan persaingan yang keras. Banyak remaja harus menampilkan versi diri yang paling aman dari ejekan publik. Mereka bukan lagi menjadi diri sendiri, tetapi menjadi apa yang dunia maya inginkan.

Cyberbullying berkembang karena dua alasan kemudahan dan ketersembunyian. Komentar merendahkan, editan foto, penyebaran gosip, atau ajakan mengucilkan seseorang bisa dilakukan hanya dalam hitungan detik. Yang lebih mengkhawatirkan, pelaku sering merasa tidak bertanggung jawab karena tidak bertemu langsung dengan korbannya. Tanpa kontrol sosial yang nyata, empati mudah menguap. Korban yang menerima serangan itu tidak selalu memiliki ruang aman untuk bercerita. Banyak dari mereka takut dianggap berlebihan atau sekadar tidak ingin menambah masalah.

Data Kominfo pada 2024 mencatat lebih dari 11 ribu laporan cyberbullying. Angka ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan kasus per kasus, tetapi fenomena yang terus membesar. Sayangnya, sebagian orang dewasa masih menyepelekan situasi ini. Mereka menganggap cyberbullying sebagai bagian dari pergaulan anak muda atau menilai korban harus lebih tahan banting. Padahal perundungan digital tidak pernah berhenti di layer ia terbawa ke kehidupan sehari-hari, dapat merusak harga diri, dan dalam kasus tertentu berujung pada keputusan tragis.

Kita tidak bisa berharap remaja menyelesaikan masalah ini sendiri. Sekolah dan keluarga harus terlibat sejak awal. Literasi digital tidak cukup hanya mengatur jam penggunaan gawai. Yang lebih penting adalah pendidikan empati, kemampuan mengendalikan diri, dan pemahaman bahwa setiap komentar memiliki konsekuensi. Ruang digital harus diperlakukan sebagai ruang sosial yang setara dengan dunia nyata, lengkap dengan etika yang jelas.

Tragedi yang menimpa Timothy seharusnya menjadi peringatan keras bahwa internet bukan tempat yang netral. Ia bisa menjadi ruang yang aman jika kita menjaganya, tetapi bisa juga menjadi ruang yang mematikan jika kita membiarkan kekerasan verbal berkembang tanpa batas. Tanggung jawab ini bukan hanya milik sekolah, kampus, atau pemerintah, tetapi juga seluruh pengguna internet.

Baca Juga: Masyarakat Bandung Sudah Bersahabat dengan Gelapnya Jalanan Kota Bandung

Remaja membutuhkan lingkungan digital yang sehat lingkungan yang tidak menjadikan kesalahan kecil sebagai bahan olok-olok, tidak mempermalukan mereka untuk hiburan, dan tidak membiarkan komentar kejam menjadi normal. Kita tidak bisa menghilangkan media sosial dari kehidupan mereka, tetapi kita bisa mengubah cara kita menggunakannya.

Yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar regulasi, tetapi perubahan budaya. Budaya yang menempatkan empati di atas popularitas, tanggung jawab di atas kebebasan tanpa batas, dan kemanusiaan di atas konten viral. Jika kita tidak mengambil langkah itu sekarang, tragedi seperti ini bukan hanya akan terulang, tetapi akan dianggap sebagai hal biasa. Dan itu adalah kegagalan terbesar kita sebagai masyarakat. (*)

Tags:
kasus remajasisi gelapdunia maya

Jajang Shofar khoerudin

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor