Eksploitasi alam selalu punya dampak merusak karena ada kehidupan yang diambil, dibuang, bahkan dipaksa untuk mati. Sudah lama kita telah meyakini apa yang disebut sebagai saintisme kearifan lokal. Kepercayaan berlebih terhadap sains sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Dalam banyak kasus, hal itu telah menciptakan bentuk baru dari monopoli pengetahuan dan teknologi yang seringkali mengabaikan nilai-nilai budaya lokal dan spiritualitas masyarakat. Bentuk yang sedang dipertontonkan kepada kita saat ini adalah saintisme yang terinstitusionalisasi melalui kebijakan yang mereduksi kearifan lokal dalam pengelolaan pangan, energi, dan lingkungan.
Timothy Morton (1968 – sekarang), seorang filsuf kontemporer asal Inggris mengembangkan konsep dark ecology (2016). Konsep dark ecology mengkritik pendekatan “ekologi cerah” (bright green ecology) yang menyederhanakan masalah lingkungan menjadi proyek teknologi ramah lingkungan sebagai sebuah solusi atas krisis iklim, polusi, dan kehancuran ekosistem atau habitat. Morton mengajak kita untuk tidak menyangkal keterlibatan kita dalam kerusakan ekologis, dan justru menjadikan kesadaran bahwa kita dan alam adalah satu (koeksistensi).
Faktanya, sebagian besar masyarakat dengan mudah terjebak ke dalam euforia technopoly (Neil Postman, 1931-2003) yang sering kali mengeksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan konsumtif atau industri tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekosistem. Meskipun dapat membawa banyak manfaat, teknologi juga dapat menjadi penghambat bagi pemahaman ekologis yang lebih dalam.
Misalnya, pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan produksi dengan mengabaikan dampak ekologis yang dihasilkan oleh proses produksi, seperti polusi, penggunaan sumber daya alam yang berlebihan, dan kerusakan lingkungan. Dalam konteks ini, teknologi tidak digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi lebih untuk mempercepat laju konsumsi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak berkelanjutan.
Arne Naess (1912–2009), filsuf Norwegia menyebutnya dengan deep ecology sebuah bentuk penekanan pada nilai intrinsik alam (aku dan alam adalah setara). Pandangannya bertentangan dengan ekologi shallow (dangkal), yang lebih mengutamakan pemanfaatan sumber daya alam untuk kebutuhan manusia yang seringkali tidak memperhatikan kelangsungan hidup jangka panjang ekosistem itu sendiri. Hal senada juga diutarakan oleh Rob Nixon (1954 – sekarang), kritikus budaya dan penulis asal Amerika yang dikenal atas pemikirannya tentang slow violence (kekerasan lambat), sebuah konsep untuk menggambarkan krisis lingkungan yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama dan tidak terlihat secara langsung oleh masyarakat luas.
Konteks eksploitasi sumber daya alam (lingkungan hutan, tanah, laut dan ekosistemnya) memunculkan pertanyaan, mengapa potensi sumber daya alam ada di hampir seluruh pulau di Nuasantara? Selain alasan alamiah dan ilmiah seperti dikelilingi oleh cincin api (ring of fire), sebagian besar pulau masih masuk dalam kawasan non-industri dimana masyarakat masih mengandalkan lapangan kerja pada sektor tradisional seperti pertanian, peternakan dan perikanan. Tentunya hal ini sangat terkait erat dengan dampaknya terhadap penduduk miskin, angka kemiskinan, dan Indeks Pembangunan Manusia.
Baca Juga: Transformasi Minyak Jelantah Jadi Biodiesel, Solusi Berkelanjutan untuk Energi Ramah Lingkungan
Selain itu, salah satu niatan dari eksploitasi sumber daya alam juga mengarah pada sebuah idealisme besar yaitu pengentasan kemiskinan. Kita seolah sangat yakin, bahwa kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertinggalan akan selesai urusannnya dengan mengeksploitasi alam. Dengan mengeskploitasi alam pembangunan akan merata dan mengalami akselerasi pertumbuhan ekonomi atas nama “kesejahteraan dan keadilan”.
Pada titik ini, kita dihadapkan dengan pilihan yang sulit: mau tetap nyaman dengan kemiskinan atau mau keluar dari kondisi itu? Mau tetap terbelakang, tertinggal, atau menjadi populer karena mengeksploitasi sumber daya alam secara serampangan? Salah satu prinsip utama deep ecology yang digagas oleh Arne Naess (1912–2009) adalah bahwa keseimbangan ekologis yang mencakup kelestarian spesies, ekosistem, dan proses alam memiliki nilai yang lebih tinggi daripada sekadar memaksimalkan keuntungan ekonomi. Keharmonisan alam harus dijaga karena itu adalah bagian dari kehidupan yang berharga, bukan semata-mata karena manfaat ekonomi yang dapat dihasilkan dari sumber daya alam.
Tanpa menjaga keseimbangan ekologis, keuntungan ekonomi pun tidak akan dapat bertahan lama, karena kerusakan lingkungan akan membatasi kemampuan untuk memperoleh sumber daya tersebut. Keseimbangan ekologis, yang mencakup keseimbangan antara spesies, keanekaragaman hayati, kualitas udara, air, dan kelestarian sumber daya alam, tetap menjadi prioritas utama. Ekosistem yang sehat adalah dasar untuk kelangsungan hidup kita. Oleh karena itu, merawat keseimbangan ekologis adalah kewajiban dan tanggung moral terhadap alam.

Apa yang perlu kita lakukan? Perlu kolaborasi konkret penerapan kebijakan dan praktik yang berfokus pada keberlanjutan. Hal ini terkait pengurangan konsumsi, penggunaan energi yang lebih efisien, dan pencarian alternatif yang lebih ramah lingkungan untuk menggantikan teknologi yang merusak lingkungan. Apabila eksplotasi sumber daya alam secara analisis dampak lingkungan lebih banyak merusak, kita masih memiliki potensi alam lain yang lebih ramah pemanfaatanya, seperti energi termal surya dan energi gelombang laut yang bisa saja secara hitung-hitungan bisnis tidak menguntungkan korporasi.
Eksploitasi sumber daya alam juga otomatis akan merusak estetika dan keindahan alam Indonesia. Kegiatan penambangan di daerah pariwisata, cagar budaya, hutan konservasi menguatkan cara kita berpikir bahwa kegiatan tambang jauh lebih menguntungkan ketimbang pariwisata premium karena konsistensi kita mempertahankan orisinalitas dan kearifan lokal. Dengan demikian, keseimbangan ekologis harus menjadi dasar dari kebijakan ekonomi, bukan semata alasan pertumbuhan ekonomi.
Sependapat dengan pandangan Murray Bookchin (1921–2006) seorang teoritikus sosial Amerika, bahwa merusak alam adalah proyeksi bagaimana manusia saling menindas. Konsep ekologi sosial menekankan perlunya rekonstruksi sosial secara ekologis, sebuah ajakan untuk rekonstruksi sosial melalui jalur-jalur ekologis. Ia menegaskan bahwa memperbaiki krisis ekologis harus dilakukan melalui perubahan struktural masyarakat, bukan sekadar etika individu.
Partisipasi masyarakat tidak hanya bergerak menolak segala bentuk eksploitasi alam, tetapi juga perlu alternatif lain untuk menciptakan sektor-sektor ekonomi baru yang tepat guna dan berpihak pada rakyat. Jika memang intensinya adalah untuk pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan maka fokus kita bukan hanya pada eksplotasi sumber daya alam saja tetapi juga pada pengembagan sektor ekonomi riil seperti penguatan UMKM, pemenuhan infrastruktur transportasi, peningkatan daya saing lokal, dan pengembangan sektor industri pengolahan dan jasa yang maksimal.
Pendekatan dan pengembangan ini bisa dimotori oleh semua pemangku kepentingan dengan mengusung konsep inovasi hexa helix yang mengintegrasikan unsur Academic, business/industry, government, community, sosial environment (media), dan UMKM dalam skema kolaborasi yang berkelanjutan.
Baca Juga: Entrok: Representasi Perempuan, Pendidikan, dan Masa Kelam Orde Baru
Bagian terakhir tulisan ini, menaruh perhatian lebih pada peran perempuan. Vandana Shiva (1952 – sekarang) ilmuwan, aktivis ekologi, dan feminis asal India Shiva mempopulerkan konsep ecofeminism dan pentingnya menghubungkan kearifan lokal dalam upaya menjaga keberlanjutan alam. Korporatisasi pangan merupakan bentuk penjajahan baru (neo-colonialism) yang mengancam kedaulatan benih, keanekaragaman hayati, dan kedaulatan pangan lokal yang berdampak pada kemiskinan petani kecil, terutama perempuan petani, yang kehilangan kontrol atas proses produksi dan distribusi pangan.
Eksploitasi alam melalui melalui berbagai bentuk proyek yang merusak juga tentunya mengancam ketahanan pangan secara nasional. Peran perempuan petani menjadi penting sebagai garda terdepan ketahanan pangan sejak mempersiapkan lahan pertanian, panen, dan mengelola hasil pangan untuk kepentingan domestik (rumah tangga). Maka suara dan peran mereka diperlukan demi keberlanjutan untuk menentukan sendiri sistem pangan dan pertaniannya.
Para perempuan hadir untuk mengingatkan soal ancaman globalisasi pangan yang membuat komunitas lokal kehilangan kendali atas produksi, konsumsi, dan distribusi makanan mereka sendiri (konsep food-feminisme). Kita tentunya berharap dengan cara-cara ini struktur sosial dapat diubah menuju masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, dan ekologis. (*)