Dalam sepuluh tahun terakhir, masyarakat Indonesia seolah makin terbius oleh dramatisasi politik. Kita tidak hanya pasif menerima komunikasi yang serba permukaan, tetapi juga menjadi simpul utama penyebarannya.
Setiap kali seorang pemimpin menangis di depan kamera, membagi bantuan dengan ekspresi tulus, atau membentak petugas pasar sambil direkam dari berbagai sudut, kita cepat-cepat menyebarkannya.
Tidak banyak bertanya, apalagi mengkritisi. Dalam suasana seperti itu, demokrasi justru kehilangan kedalaman. Ia berubah menjadi demokrasi narsistik.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, atau yang lebih dikenal dengan KDM, adalah contoh mutakhir dari pola ini. Ia bukan hanya memahami logika viralitas, tetapi juga mengendalikannya. Dalam berbagai aksinya, ia tahu bahwa yang menyentuh emosi akan lebih efektif daripada yang menjelaskan data.
Maka ia memilih tampil emosional ketimbang struktural. Tangis lebih diutamakan daripada transparansi. Pelukan lebih penting daripada peta jalan. Apa yang dibagikan di layar seolah lebih penting daripada apa yang dirumuskan di meja rapat.
Namun KDM bukan satu-satunya. Presiden Joko Widodo sejak periode pertamanya pun telah membangun komunikasi publik dengan pendekatan serupa. Sapaan sederhana, kunjungan mendadak, blusukan yang penuh sentuhan, semua menjadi modal simbolik yang sangat kuat.
Tapi di balik gestur itu, publik justru abai saat ia mengawal transformasi politik yang melonggarkan batas etis kekuasaan. Kita diam saat putranya melesat jadi pejabat publik tanpa proses yang wajar.
Kita pura-pura lupa bahwa demokrasi bukan soal kesederhanaan simbolik, tapi soal pertanggungjawaban konstitusional. Kita terbius karena cara komunikasi mereka begitu efektif menghipnosis massa.
Masalahnya bukan semata pada KDM atau Jokowi. Masalahnya adalah kita. Kita sebagai warga negara telah memberi ruang yang terlalu besar pada pertunjukan citra.
Kita ikut merayakan pemimpin yang tampil dramatis meski tak jelas arah kebijakan makronya. Kita diam, bahkan membela, ketika simbol menggantikan substansi.
Media massa tentu punya andil, tetapi dalam ekosistem digital hari ini, netizen jauh lebih menentukan arah persepsi. Dan netizen mayoritas justru memproduksi pembenaran. Siapa yang viral dianggap benar. Siapa yang dekat dengan rakyat dalam tayangan, dianggap pasti berpihak.
Baca Juga: Polemik Al-Ihsan dan Tips-Trik Digital Public Relations ala KDM
Dramatisasi Konten

Dalam dunia yang dibanjiri konten, dramatisasi menjadi taktik utama. Tangisan, pelukan, bentakan, hingga debat terbuka di pasar menjadi alat komunikasi yang sah.
Emosi yang terekam kamera memiliki nilai lebih tinggi daripada argumen rasional. Pemimpin tak lagi dilihat dari kedalaman ide, melainkan dari intensitas ekspresi yang bisa direkam.
Maka tak heran jika strategi berikutnya adalah membagikan bantuan sambil merekamnya secara penuh. Gift economy berubah menjadi content economy. Rakyat yang diberi merasa bersyukur, pemimpin yang memberi mendapat impresi.
Namun semua itu tetap memerlukan pilihan isu yang tepat. Yang paling disukai adalah isu-isu yang mengandung nilai kekeluargaan, moralitas publik, dan penderitaan.
Cerita tentang anak tukang becak, siswa berprestasi yang hidup susah, atau ibu renta yang belum mendapat bantuan akan lebih cepat menyebar dibanding berita perencanaan infrastruktur atau kebijakan pangan. Emosi lebih mudah viral daripada logika.
Pemimpin pun didorong lebih banyak menangis bersama rakyat daripada membangun sistem yang adil bagi rakyat.
Di titik inilah kita berada dalam apa yang disebut Guy Debord dalam bukunya The Society of the Spectacle (1967) sebagai masyarakat spektakel. Dalam masyarakat semacam ini, yang tampak lebih penting daripada yang nyata.
Hubungan sosial tidak lagi dibangun atas dasar kepercayaan, melainkan berdasarkan gambar-gambar yang direkayasa dan disebarkan. Dalam politik spektakel, janji bisa lebih dulu menjadi tajuk berita sebelum menjadi kebijakan yang bisa diukur.
Fenomena ini bukan hal baru dalam kajian komunikasi. Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959) menyebut bahwa kehidupan sosial adalah panggung, dan manusia adalah aktor yang menampilkan diri sesuai tuntutan audiens.
Dalam konteks itu, identitas pemimpin adalah performa yang dibentuk, bukan cerminan kerja nyata.
Sementara Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment (1947) telah lama memperingatkan bahwa budaya massa membuat masyarakat makin pasif karena disuguhi tontonan yang dikemas manis namun kosong isi. Kita lebih sering mengonsumsi citra daripada menggugat substansi.
Kisah bonus dua miliar untuk Persib hanyalah satu fragmen dari pola yang lebih besar. Janji itu sempat dielu-elukan, disambut tepuk tangan, dan beredar luas sebagai simbol kepedulian pemimpin terhadap olahraga rakyat. Tetapi ketika realisasi tak sesuai ekspektasi, riuhnya segera lenyap.
Tak banyak yang bertanya lanjut, apalagi mengejar pertanggungjawaban. Seolah-olah viralitas telah menggugurkan kewajiban konkret.
Di sinilah kita melihat bagaimana ruang publik mulai kehilangan daya ingatnya, dan politik digerakkan bukan oleh keteguhan niat, melainkan kecepatan impresi.
Dalam kondisi semacam ini, yang dipelihara bukan lagi kepercayaan berbasis bukti, melainkan keterikatan emosional yang dipoles terus-menerus.
Pemimpin tampil sebagai figur inspiratif di layar, sementara masyarakat menikmati ilusi kedekatan yang dikonstruksi algoritma. Di balik semua itu, substansi kian tergerus, dan logika kebijakan dikebiri oleh logika konten.
Masyarakat Indonesia hari ini tidak sedang kekurangan informasi, tetapi sedang kebanjiran distraksi. Kita tidak kekurangan calon pemimpin, tetapi kekurangan keberanian untuk melihat melampaui sorot kamera.
Kita terjebak dalam romantisme citra, dan secara tidak sadar menjadi ekosistem yang menyuburkan demokrasi yang rapuh: demokrasi yang lebih senang diperhatikan daripada dipertanyakan.
Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta
Jika arah ini tidak kita ubah, maka konsekuensinya bukan hanya hilangnya kepercayaan, tetapi juga hilangnya kapasitas kritis kita sebagai warga negara.
Bukan hanya pemimpin yang akan terus tampil kosong tapi penuh dramatisasi, tetapi juga rakyat yang makin nyaman jadi penonton, bukan pengendali.
Sudah waktunya kita berhenti memberi panggung bagi yang sekadar bisa tampil. Sudah saatnya kita mulai bertanya, bukan hanya menonton.
Karena jika kita terus memuja yang dramatis dan mengabaikan yang strategis, maka kita bukan sedang membangun masa depan, melainkan sedang menyunting episode berikutnya dari sandiwara yang sama. (*)