Tom Lembong didakwa dalam kasus dugaan korupsi terkait kebijakan impor gula yang diambilnya pada periode 2015-2016. (Sumber: Wikimedia Commons)

Ayo Netizen

Benarkah Tom Lembong Korban Kriminalisasi dalam Kasus Impor Gula?

Jumat 18 Jul 2025, 20:40 WIB

Kasus yang melibatkan Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan Indonesia, menimbulkan perdebatan panjang di publik.

Lembong didakwa dalam kasus dugaan korupsi terkait kebijakan impor gula yang diambilnya pada periode 2015-2016.

Namun, jika kita telusuri lebih dalam, apakah tindakan tersebut benar-benar melanggar hukum, atau justru bagian dari kriminalisasi terhadap pejabat publik? Banyak yang berpendapat bahwa Lembong lebih merupakan korban daripada pelaku tindak pidana korupsi.

Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih lanjut bagaimana kebijakan yang diambilnya sebenarnya untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadi.

Latar Belakang Kasus

Pada tahun 2015-2016, Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan Indonesia mengambil kebijakan impor gula untuk menjaga kestabilan harga dan ketersediaan gula menjelang Ramadan dan Idul Fitri.

Dalam situasi ini, kebijakan impor gula dilakukan untuk mengatasi potensi kekurangan pasokan gula yang bisa berujung pada lonjakan harga dan krisis pangan. Namun, kebijakan ini menuai kontroversi, dengan tuduhan bahwa Lembong menyalahgunakan kewenangannya dalam memberikan izin impor gula kepada perusahaan swasta.

Namun, kebijakan impor gula yang diambil Lembong harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu upaya untuk melindungi masyarakat dari lonjakan harga gula. Lembong tidak pernah mengambil keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut. Kebijakan ini lebih bertujuan untuk memastikan ketersediaan pangan yang terjangkau bagi masyarakat.

Tom Lembong bisa dikatakan menjadi korban kriminalisasi, di mana kebijakan yang sebenarnya bertujuan untuk kepentingan publik justru disalahartikan dan dianggap sebagai pelanggaran hukum. Kriminalisasi adalah fenomena di mana individu atau kelompok yang tidak bersalah dijerat dengan tuduhan pidana karena alasan politik atau kekuasaan.

Dalam hal ini, kebijakan Lembong yang seharusnya mendukung kesejahteraan masyarakat, malah dipersepsikan sebagai tindakan yang merugikan negara, meskipun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ia memperoleh keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.

Tuduhan korupsi terhadap Lembong dapat dilihat sebagai bagian dari dinamika politik yang terjadi di Indonesia, di mana kebijakan yang diambil oleh seorang pejabat publik dapat dimanipulasi untuk menjatuhkan posisi politiknya. Hal ini terlihat jelas jika kita membandingkannya dengan pejabat lainnya yang jelas terbukti merugikan negara, tetapi tidak dihukum.

Jika kita membandingkan dengan beberapa menteri lain yang terbukti merugikan negara, namun tidak dihukum, kita dapat melihat perbedaan perlakuan yang jelas.

Misalnya, kasus Menteri ESDM yang terlibat dalam korupsi proyek besar yang menyebabkan kerugian negara miliaran rupiah. Meskipun bukti yang ada menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara, menteri tersebut tidak dihukum dengan alasan kurangnya bukti konkret dan kesaksian yang mendukung.

Selain itu, dalam beberapa kasus lain, pejabat tinggi yang terlibat dalam skandal besar seperti pengaturan tender proyek pemerintah dan penggelapan dana negara juga tidak mendapatkan hukuman yang setimpal. Bahkan, sebagian besar kasus ini ditutup tanpa investigasi lebih lanjut, atau dengan hukuman yang sangat ringan, yang menunjukkan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum.

Dalam konteks ini, Tom Lembong justru dihukum atas kebijakan yang diambilnya untuk kepentingan publik, sementara pejabat lain yang jelas merugikan negara sering kali luput dari sanksi hukum yang seharusnya.

Hal ini mengindikasikan adanya ketidakadilan dalam sistem peradilan, di mana pejabat yang terlibat dalam skandal besar seringkali mendapat perlindungan, sementara pejabat yang berupaya menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat malah dijadikan korban.

Baca Juga: Memalukan! Diskominfo Jabar malah Memicu Doxing Warga-nya

Salah satu poin penting yang harus dipahami adalah bahwa kebijakan impor yang diambil Lembong bertujuan untuk melindungi masyarakat dari krisis pangan.

Pada saat itu, permintaan gula melonjak menjelang Hari Raya, dan tanpa kebijakan impor, harga gula akan melambung tinggi, yang tentunya merugikan konsumen, terutama kalangan menengah ke bawah. Kebijakan ini juga penting untuk memastikan ketahanan pangan nasional.

Dalam hal ini, Lembong tidak menguntungkan dirinya sendiri atau kelompok tertentu, melainkan bertindak untuk menjaga kepentingan publik. Keputusan untuk mengimpor gula adalah keputusan yang didasarkan pada analisis pasar dan kebutuhan nasional, bukan untuk memperkaya diri atau pihak lain.

Berdasarkan analisis ini, jelas bahwa Tom Lembong lebih merupakan korban dari kriminalisasi ketimbang pelaku tindak pidana korupsi. Kebijakan yang diambilnya untuk mengimpor gula adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai pejabat publik untuk memastikan kesejahteraan masyarakat.

Baca Juga: Tugugedé Didirikan di Lereng Barat Daya Gunung Halimun

Tidak ada bukti adanya keuntungan pribadi dan kebijakan tersebut lebih kepada upaya untuk menjaga kestabilan harga dan ketersediaan gula di pasar. Sebaliknya, kita melihat bahwa pejabat-pejabat lain yang benar-benar merugikan negara sering kali tidak dihukum atau diberikan hukuman yang tidak setimpal.

Oleh karena itu, Tom Lembong selayaknya dibebaskan dari tuduhan korupsi dan dipandang sebagai korban dari proses hukum yang tidak adil. Dalam hal ini, kebijakan yang diambilnya harus dilihat dalam konteks kepentingan publik, dan bukan sebagai suatu tindakan yang patut dihukum. (*)

Tags:
kasus impor gulakorban kriminalisasiTom Lembong

Muh. Alief Aminullah

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor