Ilustrasi calon ASN. (Sumber: menpan.go.id)

Ayo Netizen

Satu ASN Tiga Jabatan, Pelayan Publik atau Raja Birokrasi?

Senin 21 Jul 2025, 16:01 WIB

Sejatinya Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah pelayan masyarakat. Namun, dibalik meja-meja megah birokrasi, tak sedikit ASN yang memegang kekuasaan berlapis seakan-akan menjadi “raja kecil”.

Mereka duduk nyaman di beberapa kursi jabatan dengan fasilitas, gaji dan kekuasaan yang tidak sebanding dengan hasil kerjanya.

Di Indonesia, fenomena rangkap jabatan sedang hangat disorot publik dan media. Beberapa wakil Menteri merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN, pengurus partai politik, bahkan mengisi jabatan dalam instansi non-pemerintah.

Per Juli 2025 penulis mencatat setidaknya ada 30 wakil Menteri yang merangkap jabatan, ditengah banyaknya pengangguran karena tidak adanya lapangan pekerjaan.

Padahal, rangkap jabatan tidak hanya merusak tata kelola pemerintahan, tetapi juga menciptakan konflik kepentingan, menurunnya kepercayaan publik dan terhapusnya regenerasi kepemimpinan.

Pembatasan Rangkap Jabatan

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPAN-RB) Nomor 17 Tahun 2024 secara eksplisit melarang ASN menduduki lebih dari satu jabatan, kecuali dalam kondisi darurat dan dengan batasan waktu yang jelas.

Namun dalam praktiknya, aturan ini kerap kali diakali. Penunjukan sementara dijadikan permanen, dan rangkap jabatan dijustifikasi atas dasar 'penugasan khusus' yang tidak pernah transparan kepada publik.

PermenPAN-RB menegaskan pentingnya pembatasan rangkap jabatan sebagai bagian dari reformasi birokrasi.

Namun realita di lapangan menunjukkan bahwa pejabat-pejabat strategis tetap leluasa merangkap posisi lain di BUMN, yayasan pendidikan, bahkan organisasi politik. Ini bukan hanya bentuk pelanggaran etika, tetapi juga bentuk pembangkangan terhadap regulasi yang dibuat oleh pemerintah sendiri.

Rangkap jabatan menyebabkan beban kerja yang tidak rasional, memecah fokus, dan menurunkan efektivitas kinerja. Keputusan strategis jadi tertunda, pelayanan publik melambat, dan koordinasi antarlembaga menjadi tidak optimal.

Sementara itu, masyarakat sebagai pengguna layanan publik harus menanggung akibat dari pelayanan yang setengah hati.

Selain itu, rangkap jabatan menimbulkan inefisiensi anggaran. Pejabat yang merangkap biasanya tetap menerima tunjangan dari setiap jabatan yang dipegangnya. Tidak hanya gaji, tetapi juga fasilitas, tunjangan perjalanan, bahkan kendaraan dinas.

Semua ini terjadi di tengah himbauan penghematan dan efisiensi belanja negara.

Alih-alih memberi manfaat, rangkap jabatan justru menjadi benalu dalam tubuh birokrasi. Bagaimana tidak? Satu orang mengisi tiga posisi strategis, tetapi tidak bisa hadir penuh di masing-masing tempat.

Imbasnya, keputusan strategis menjadi lamban, koordinasi kacau, dan pelayanan publik mandek. Namun ironisnya, tunjangan tetap mengalir dari semua jabatan tersebut.

Rangkap jabatan secara otomatis memicu rangkap tunjangan. Seorang pejabat yang merangkap sebagai pejabat struktural dan komisaris BUMN, misalnya, bisa menerima gaji pokok, tunjangan kinerja, insentif bulanan, hingga fasilitas kelas tinggi seperti perjalanan dinas, kendaraan dinas, dan honorarium rapat dari berbagai lembaga.

Ini adalah bentuk deviasi fiskal yang terstruktur, yang berjalan mulus dalam koridor hukum yang multitafsir dan longgar pengawasan.

Konflik Kepentingan yang Dilegalkan

Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). (Sumber: Diskominfo Depok)

Rangkap jabatan tak hanya soal beban kerja, tetapi soal benturan kepentingan yang dilegalkan. Ketika seorang ASN duduk sebagai pembuat kebijakan sekaligus pemilik kepentingan di institusi lain, maka netralitas dan integritas runtuh total. Ia menjadi pemain sekaligus wasit dalam sistem yang seharusnya mengedepankan akuntabilitas.

Tak heran jika banyak kebijakan publik mandul dan tidak berpihak pada rakyat. Karena pada dasarnya, kebijakan tersebut tidak dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat, melainkan berdasarkan kebutuhan pribadi atau kelompok elite yang duduk di balik layar jabatan rangkap.

Data dan laporan publik menunjukkan adanya pelanggaran etik dan administratif dalam penunjukan rangkap jabatan, terutama di lingkungan kementerian, lembaga, hingga BUMN. Namun jarang sekali muncul tindakan tegas apalagi sanksi konkret yang dijatuhkan kepada pelakunya.

Bahkan ketika sorotan media dan masyarakat sudah cukup terang, respons institusi pengawas tetap minim, bahkan terkadang sepenuhnya diam.

Jika praktik rangkap jabatan ini terus dibiarkan, maka jangan berharap birokrasi akan menjadi lebih baik. Yang akan terjadi hanyalah pelanggengan kekuasaan di kalangan elite, sementara pelayanan publik tetap tertatih dan rakyat tetap menjadi penonton dari drama kekuasaan.

Pemerintah perlu memperkuat sistem pemantauan jabatan melalui integrasi database ASN nasional. Seluruh riwayat jabatan, baik struktural maupun fungsional, harus dapat diakses oleh publik dan lembaga pengawas secara real-time. Transparansi ini akan mempersulit praktik rangkap jabatan yang tidak dilaporkan.

Revisi terhadap regulasi yang ada perlu dilakukan untuk memperjelas sanksi administratif dan etik terhadap pelanggaran, termasuk pembatalan pengangkatan dan pengembalian tunjangan negara. Aturan harus tegas, tanpa celah multitafsir.

Terakhir, perlu diadakannya kampanye nasional kesadaran etika ASN agar semua aparatur memahami bahwa fokus pada satu jabatan adalah bentuk integritas, bukan kelemahan. ASN yang profesional adalah yang dapat menyelesaikan satu tugas secara tuntas, bukan mereka yang sekadar mengumpulkan jabatan demi status.

Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta

“Jabatan adalah amanah, bukan kemewahan,” adalah pesan Bung Hatta yang masih relevan hingga saat ini. Realitanya para pejabat tinggi telah mengubah amanah itu menjadi alat akumulasi kekuasaan dan kehormatan pribadi.

Kini bukan waktunya lagi mencari alasan. Pemerintah harus memilih: melindungi segelintir elit birokrat atau menyelamatkan wajah birokrasi Indonesia di mata rakyat dan dunia. Birokrasi yang bersih hanya bisa lahir dari keberanian untuk memutus privilege yang tak adil. (*)

Tags:
Aparatur Sipil NegaraASNrangkap jabatan

Aldita Andiani Rahayu

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor