Ilustrasi green building. (Sumber: Unsplash | Foto: Carles Rabada)

Beranda

Green Building: Isu yang Terabaikan dari Solusi Perubahan Iklim

Rabu 10 Sep 2025, 12:06 WIB

AYOBANDUNG.ID - Pembangunan berkelanjutan kini menjadi agenda besar di banyak negara, namun ada satu sektor yang kerap luput dari perhatian publik: konstruksi dan bangunan. Padahal, sektor ini menyerap hampir sepertiga konsumsi energi global dan menyumbang emisi karbon yang tak kalah besar dibanding transportasi maupun industri berat. Jika perhatian lebih banyak diarahkan pada kendaraan listrik atau energi terbarukan, maka isu green building justru sering kali terpinggirkan.

Hal ini disampaikan oleh Rachmawan Budiarto dalam Business and Climate Media Initiative Virtual Workshop yang digelar Earth Journalism Network (EJN) pekan lalu yang diikuti jurnalis dari Indonesia, India, Bangladesh, dan Thailand.

Budiarto adalah dosen di Fakultas Teknik UGM yang juga tergabung dalam Greenship Professional Green Building Council Indonesia (GBCI) dan salah satu pendiri Centre for Development of Smart and Green Building (Cedsgreeb).

Budiarto menjelaskan fenomena ini sangat terasa di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Bangladesh, India, dan Thailand. Keempat negara tersebut menghadapi tekanan urbanisasi yang cepat, kerentanan iklim, dan kebutuhan hunian yang terus meningkat. Di tengah situasi tersebut, konsep green building sesungguhnya bisa menjadi strategi penting untuk menekan emisi sekaligus menjawab kebutuhan perumahan dan ruang usaha yang sehat.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan adopsi green building masih lambat. Sebagian besar masyarakat bahkan belum mengenal istilah ini secara utuh. Green building sering disalahpahami hanya sebagai bangunan mewah yang penuh perangkat teknologi mahal. Padahal esensi utamanya adalah bagaimana sebuah bangunan dirancang, dibangun, dioperasikan, hingga akhirnya dibongkar dengan cara yang meminimalkan dampak lingkungan dan efisien dalam penggunaan sumber daya.

Jika ditelusuri lebih dalam, green building bukan sekadar label sertifikasi tapi meliputi banyak aspek. Misalnya efisiensi energi, konservasi air, penggunaan material ramah lingkungan, sirkulasi udara yang sehat, hingga pengelolaan limbah konstruksi. Prinsip ini berlaku tidak hanya untuk gedung pencakar langit, tetapi juga rumah sederhana maupun fasilitas publik.

“Tidak ada definisi tunggal yang universal tentang bangunan hijau, tetapi pada intinya berkaitan dengan meminimalkan dampak lingkungan, menghemat sumber daya, serta mendukung lingkungan sehat sepanjang siklus hidup bangunan,” jelas Budiarto.

Rachmawan Budiarto dalam Business and Climate Media Initiative Virtual Workshop yang digelar Earth Journalism Network (EJN). (Sumber: Youtube/Earth Journalism Network)

Sayangnya, masih ada anggapan bahwa membangun dengan konsep green building akan selalu menelan biaya lebih tinggi. Pandangan inilah yang menjadi hambatan utama, terutama di negara berkembang. Banyak pengembang enggan melirik green building karena menganggapnya tidak sebanding dengan biaya awal yang harus dikeluarkan. Padahal, menurut Budiarto, studi demi studi menunjukkan bahwa biaya siklus hidup bangunan hijau jauh lebih rendah karena penghematan energi dan perawatan jangka panjang.

Dia mengatakan kesenjangan lain terlihat pada kebijakan. Beberapa negara memang sudah memiliki kode green building atau sistem sertifikasi, tetapi pelaksanaannya lemah. Regulasi sering berhenti di atas kertas tanpa mekanisme penegakan yang memadai. Akibatnya, implementasi green building hanya terbatas pada segelintir proyek prestisius, bukan menjadi standar umum di pasar properti.

Di sinilah peran sektor swasta menjadi sangat penting. Ketika anggaran pemerintah terbatas, pengembang, investor, dan pelaku industri bisa menjadi motor penggerak utama.

“Anggaran pemerintah terbatas, sehingga masa depan konstruksi green building bergantung pada keterlibatan sektor swasta yang didukung dengan insentif tepat,” jelas dia.

Pihaks wasta dapat menciptakan permintaan pasar, mengedukasi konsumen, sekaligus menghadirkan produk yang kompetitif. Dengan strategi ini, transisi menuju green building tidak lagi bergantung pada subsidi, melainkan didorong oleh kekuatan pasar.

Budiarto menekankan selain itu, sektor swasta memiliki kemampuan untuk memobilisasi modal lebih besar. Instrumen keuangan hijau seperti green bonds atau sukuk hijau mulai berkembang di kawasan Asia. Melalui skema ini, proyek-proyek konstruksi bisa memperoleh sumber dana alternatif tanpa harus menunggu kucuran dari APBN yang terbatas. Dengan pengelolaan yang transparan, skema ini juga bisa memperkuat kepercayaan investor.

Tak kalah penting, pengembang juga berperan sebagai penggerak inovasi. Melalui adopsi teknologi ramah lingkungan seperti material rendah karbon, sistem manajemen gedung digital, hingga pendingin udara hemat energi, biaya konstruksi bisa ditekan seiring skala produksi. Inovasi ini pada akhirnya membuka peluang baru bagi industri bahan bangunan lokal yang berorientasi pada keberlanjutan.

Namun, peran swasta tidak bisa berjalan tanpa dukungan kebijakan yang tepat. Pemerintah perlu menyediakan insentif yang jelas agar adopsi green building menjadi menarik secara bisnis. Insentif itu bisa berupa keringanan pajak, pengurangan bea impor komponen hijau, hingga pemangkasan biaya administrasi melalui jalur perizinan cepat bagi proyek yang memenuhi standar hijau.

Langkah lain yang dapat dipertimbangkan adalah pemberian hak tambahan, seperti izin membangun ruang lantai ekstra, bagi pengembang yang mampu membuktikan komitmen terhadap bangunan hijau. Kebijakan semacam ini sudah mulai diuji coba di beberapa negara dan terbukti efektif mempercepat adopsi.

Selain insentif finansial, pengakuan publik juga penting. Program penghargaan nasional, labeling produk, atau sertifikasi yang diakui pasar bisa meningkatkan nilai merek sekaligus memperkuat daya saing pengembang. Meski tampak sederhana, mekanisme ini memberi visibilitas dan dorongan reputasi yang sering kali lebih berharga daripada subsidi tunai.

Dalam jangka panjang, pembangunan hijau juga menuntut perubahan budaya. Arsitektur tradisional nusantara misalnya, sudah sejak lama mengandalkan desain yang memanfaatkan ventilasi alami dan cahaya matahari. Prinsip sederhana ini kini justru ditinggalkan, digantikan model rumah dan gedung modern yang sangat boros energi. Padahal, dengan kembali pada kearifan lokal, konsumsi energi bisa ditekan tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan besar.

“Kita harus kembali menemukan desain yang berakar pada budaya kita sendiri—ventilasi alami dan pencahayaan alami—untuk menekan kebutuhan energi dan menciptakan lingkungan dalam ruang yang lebih sehat,” kata Budiarto.

Kaitan antara budaya dan desain ini menjadi pengingat bahwa green building tidak selalu identik dengan teknologi tinggi. Kadang yang dibutuhkan adalah kesadaran kolektif untuk kembali menghargai alam, memanfaatkan udara segar, serta menata ruang sesuai iklim tropis yang kaya sumber daya.

Di Indonesia, momentum pembangunan 3 juta rumah sederhana sebagaimana ditargetkan pemerintah seharusnya bisa menjadi ajang penerapan prinsip hijau secara luas. Jika proyek masif ini mengadopsi ventilasi pasif, material lokal ramah lingkungan, dan desain hemat energi, dampaknya akan jauh lebih signifikan daripada sekadar membangun gedung perkantoran hijau di kota besar.

Namun, semua itu membutuhkan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, swasta, akademisi, hingga masyarakat sipil harus duduk bersama merancang strategi terpadu. Tanpa sinergi, green building akan tetap menjadi jargon tanpa makna nyata.

Kolaborasi juga perlu melibatkan dunia internasional. Bantuan teknis, transfer pengetahuan, dan akses pembiayaan global bisa mempercepat transisi. Banyak lembaga keuangan multilateral kini menaruh perhatian pada proyek hijau, dan ini adalah peluang yang seharusnya tidak disia-siakan oleh negara-negara berkembang.

Jika green building berhasil ditempatkan sebagai prioritas, manfaatnya tidak hanya pada pengurangan emisi tapi juga bisa membuka lapangan kerja baru, memperkuat industri lokal, meningkatkan kesehatan penghuni, hingga menurunkan biaya hidup masyarakat. Dengan kata lain, ini bukan sekadar isu lingkungan, melainkan juga strategi pembangunan ekonomi.

Tanpa kesadaran publik dan dukungan nyata dari semua pemangku kepentingan, green building akan terus menjadi isu terabaikan.

“Isu green building masih kurang diliput dan dipandang rendah prioritasnya dalam wacana publik, padahal justru menjadi kunci menghadapi urbanisasi, kerentanan iklim, dan transisi energi,” pungkas Budiarto. (*)

Tags:
Perubahan iklimGreen buildingEJN

Andres Fatubun

Reporter

Andres Fatubun

Editor