Neneng Suminar memperlihatkan cara membuat spageti dari mikong (mi singkong). (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Beranda

Perempuan Penjaga Tradisi: Harmoni dari Dapur Kampung Adat Cireundeu

Jumat 17 Okt 2025, 11:27 WIB

AYOBANDUNG.ID - Lagu lawas “Berdendang” dari duet Rhoma Irama dan Rita Sugiarto mengalun pelan di warung kelontong milik Abah Widi, sesepuh Kampung Adat Cireundeu. Abah Widi yang mengenakan ikat kepala batik tampak santai, sesekali melayani pembeli sambil menyesap kopi hitamnya.

Jug sampeurkeun ibu-ibu di ditu keur marasak da aya tamu. (Silakan datangi ibu-ibu di sana, mereka sedang memasak karena tamu),” ujarnya ramah, mempersilakan saya menuju dapur tempat beberapa perempuan tengah sibuk mengolah bahan makanan.

Hari itu, bukan Abah Widi yang menjadi pusat perhatian, melainkan para perempuan Kampung Adat Cireundeu yang menyalakan api kehidupan adat dari balik dapur. Seperti duet Rhoma dan Rita dalam “Berdendang”, laki-laki dan perempuan di kampung ini saling melengkapi dalam menjaga keseimbangan alam dan warisan leluhur.

Kampung adat Cireundeu sering dijadikan sebagai tempat edukasi bagi siswa-siswi sekolah. Mereka diajari cara membuat berbagai jenis makanan dari bahan dasar singkong. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Di halaman belakang, suasana ramai terdengar dari Imah Panggung—rumah khas kampung adat Cireundeu yang kini difungsikan sebagai tempat belajar. Beberapa anak dari sekolah dasar terlihat antusias mengikuti kegiatan eksplorasi budaya. Di tengah mereka berdiri sosok perempuan dengan kebaya warna jingga, dengan senyum lebar dan tangan cekatan, mengajari anak-anak membuat spageti dari mikong—mi yang terbuat dari singkong.

Namanya Neneng Suminar (44), perempuan Cireundeu tulen yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, penanggung koperasi dan UMKM, sekaligus seorang ibu bagi anak laki-lakinya yang kini menempuh pendidikan di sekolah menengah kejuruan di Soreang.

Dengan lincah, Neneng memperagakan cara menggiling dan merebus mikong, sambil sesekali bercanda dengan para murid.

“Ayo dicoba satu-satu, seperti absen di kelas,” ujarnya sambil tertawa kecil. Anak-anak pun bergantian mencoba, sementara aroma singkong rebus menguar di udara.

Neneng lahir di Cireundeu pada 1981 dari keluarga petani. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan rasi—beras singkong—yang menjadi identitas pangan utama kampungnya. Ia mulai belajar mengolah rasi ketika duduk di bangku SMP, dan sejak itu merasa bahwa tanggung jawab menjaga warisan leluhur terletak di pundak para perempuan.

Neneng Suminar perempuan Cireundeu tulen yang menjadi penanggung koperasi dan UMKM kampung adat Cireundeu. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

“Sejak kecil, orangtua mengenalkan rasi. Kemudian beranjak ke SMP, mulai belajar mendalami dan mengolah sendiri. Karena ini warisan adat, perempuan sebagai ibu punya peran penting dalam melestarikan. Ibarat sekolah pertama yang harus menanamkan nilai-nilai leluhur kepada anak,” ujar Neneng pada Kamis, 16 Oktober 2025.

Kesetiaan terhadap rasi tumbuh dari dapur-dapur warga. Di situlah nilai hidup diwariskan, bukan hanya lewat makanan, tetapi juga lewat cerita.

“Mendongeng menjadi salah satu cara untuk mewariskan nilai budaya rasi kepada anak. Kami yang tidak menolak kemajuan zaman saat ini, selalu menyelipkan nilai bahwa mau jadi apapun mereka nanti, pondasinya jangan sampai lupa terhadap budaya leluhur,” kata Neneng selepas memandu para wisatawan.

Anaknya kini bersekolah jauh dari kampung, namun ia tetap membawakan bekal rasi.

“Anak saya selalu saya bekali rasi, karena dia kan kos di Soreang. Karena sudah terbiasa, anak saya punya kepekaan terhadap makanan yang terbuat selain dari singkong,” tambahnya bangga.

Dari tangan-tangan perempuan seperti Neneng lahirlah berbagai olahan berbahan dasar singkong: eggroll, cireng, keripik, dengdeng kulit singkong, hingga mikong dengan cita rasa khas. Sejak 2010, UMKM yang dikelola Neneng bersama 13 perempuan kampung adat itu menjadi sumber penghidupan sekaligus kebanggaan komunitas.

“UMKM ini kan wirausaha sosial, jadi penghasilannya ada untuk ibu-ibu yang bekerja di sini dan pengelolaan uang kas. Dari uang kas kami pun bisa membangun bangunan khusus untuk pengelolaan olahan singkong,” tutur Neneng.

Para ibu-ibu terlihat sibuk dan telaten mengolah olahan singkong mulai dari mengupas, memotong menggiling, hingga menggoreng di Rumah Olahan Singkong UMKM Kampung Adat Cireundeu. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Di lantai dua rumah olahan singkong, perempuan-perempuan itu bekerja sambil berbincang hangat. Ada yang memotong, menggiling, menggoreng, dan mengemas.

Lantai itu seperti jantung yang terus berdetak menjaga kehidupan tradisi.

“Peran perempuan di sini tentu sangat penting. Mulai dari mengolah hasil panen, kadang nemenin suami ke ladang, itu kan tugas perempuan. Jadi seimbang dan saling mengisi peran lah gitu kira-kira kalau di adat mah,” lanjutnya.

Bagi Neneng, perempuan adalah benteng terakhir yang menjaga harmoni antara manusia, tradisi, dan alam. Ia percaya, anak-anak yang sejak kecil diperkenalkan pada nilai-nilai leluhur akan tumbuh dengan akar budaya yang kuat.

“Sejak kecil anak-anak sudah kami ajari tentang nilai-nilai leluhur yang harus dilestarikan. Sehingga ketika dewasa mereka tidak menolak dan lupa,” katanya lembut.

Secara geografis, Kampung Adat Cireundeu diapit tiga gunung: Gunung Kunci, Gunung Cimenteng, dan Gunung Gajahlangu. Bagi Neneng, posisi geografis itu melambangkan peran perempuan dalam melindungi dan menumbuhkan kebaikan.

“Kita itu harus baik terhadap alam. Cireundeu kan diapit sama gunung, nah gunung atau alam kan pemberian yang harus dijaga. Peran perempuan juga sama, melahirkan kebaikan, mewariskan tradisi kepada keturunan, mengolah apa yang diberikan alam. Itu kan jadi seimbang,” ujarnya.

Namun ia juga sadar, tradisi akan mati bila generasi muda kehilangan rasa bangga terhadapnya.

“Kalau misal penerusnya, kayak anak-anak sudah tidak mau, ya mungkin di masa depan Kampung Adat Cireundeu tidak akan lagi terkenal karena singkongnya,” katanya lirih.

Kesadaran menjaga alam juga tumbuh dari pengalaman pahit masa lalu. Para ibu di kampung adat kini rajin memilah sampah rumah tangga agar tragedi kelam tsunami sampah TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005 tidak terulang. Longsoran sampah kala itu menimpa dua desa, Cilimus dan Pojok, dan menewaskan 157 jiwa.

Bencana itu terjadi dini hari ketika hujan deras mengguyur tumpukan sampah open dumping setinggi 60 meter. Gas metana yang menumpuk memicu longsor besar dan menghancurkan permukiman di bawahnya.

“Dulu kan pernah ada bencana tsunami sampah di atas, saya takut itu terulang lagi. Makanya, sebisa mungkin kami menekan potensi bencana, salah satunya membereskan sampah dari rumah,” tutur Neneng.

Wida sedang mengajarkan kepada murid-murid sekolah dasar cara memasak eggroll dari singkong pada Kamis, 16 Oktober 2025. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Kampung adat Cireundeu tidak hanya dikenal karena tradisi makan rasi, tetapi juga karena perempuan-perempuan yang memelihara nilai-nilai ekologis dan spiritual sekaligus. Neneng dan kawan-kawannya mengolah alam tanpa merusaknya, menenun masa depan dari akar budaya yang mereka jaga dengan cinta dan ketekunan.

Di dapur sederhana yang penuh tawa itu, masa depan sebuah tradisi sedang disiapkan—oleh tangan-tangan perempuan yang percaya bahwa menjaga adat bukan tugas masa lalu, melainkan tanggung jawab saat ini dan yang akan datang.

Tags:
Kampung Adat CireundeuKearifan lokalPerempuan penjaga tradisi

Ikbal Tawakal

Reporter

Andres Fatubun

Editor