18 Tahun Tanpa Akta Nikah: Kisah Ogi dan Pentingnya Perlindungan Hak Sipil Warga Adat Cireundeu

Restu Nugraha Sauqi
Ditulis oleh Restu Nugraha Sauqi diterbitkan Rabu 11 Jun 2025, 20:10 WIB
Masyarakat kampung adat Cireundeu. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)

Masyarakat kampung adat Cireundeu. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)

AYOBANDUNG.ID — Di kaki Gunung Gajahlangu, di tengah gemuruh modernitas Kota Cimahi, komunitas adat Cireundeu tetap setia menjaga akar tradisi. Mereka hidup dalam harmoni dengan alam, memegang teguh nilai-nilai kepercayaan Sunda Wiwitan yang diwariskan leluhur. Namun, kesetiaan itu justru membawa luka tak kasat mata, terasa dalam setiap aspek kehidupan, termasuk hal-hal paling mendasar sebagai warga negara: hak sipil.

Ogi Suprayogi (45), warga adat Cireundeu dan ayah dari tiga anak, merasakan betul perihnya diskriminasi sistemik yang menyasar mereka yang memilih jalur keyakinan di luar enam agama resmi negara. Selama hampir dua dekade, ia bersama istri Emelda Ida Lusiani (40) hidup dalam pernikahan yang sah secara adat, namun tidak di mata negara.

“Selama 18 tahun saya dan istri hidup tanpa akta nikah. Bukan karena kami tidak mau mencatatkan, tapi karena negara tidak mengakui kepercayaan kami, sehingga pengurusannya sulit minta ampun,” tutur Ogi.

Untuk mendapatkan akta pernikahan, warga Sunda Wiwitan di Cireundeu harus menggunakan organisasi masyarakat (ormas) penghayat lokal yang telah diakui pemerintah, seperti Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) atau Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK). Hal ini disebabkan oleh ketiadaan pemuka adat yang memiliki Surat Keputusan (SK) dari instansi terkait sebagai pencatat resmi pernikahan.

Masyarakat adat Kampung Cireundeu Kota Cimahi menampilkan berbagai kesenian seperti wayang golek, tarawangsa, gondang dan tarian lainnya juga doa bersama masyarakar sekitar. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Masyarakat adat Kampung Cireundeu Kota Cimahi menampilkan berbagai kesenian seperti wayang golek, tarawangsa, gondang dan tarian lainnya juga doa bersama masyarakar sekitar. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

“Kami punya sesepuh adat, tapi mereka tidak diberi SK oleh dinas. Jadi, negara tidak mengakui pernikahan yang dilakukan oleh tokoh adat kami,” lanjut Ogi.

Ironisnya, absennya dokumen resmi pernikahan membawa dampak yang lebih jauh. Ketiga anaknya lahir tanpa bisa mencantumkan nama Ogi sebagai ayah kandung di akta lahir mereka. Masalah ini bukan hanya menyangkut perasaan atau martabat, tapi juga berdampak langsung pada akses pendidikan, kesehatan, hingga perbankan. "Kalau anak saya mau daftar sekolah, harus banyak surat tambahan. Kalau mau bikin rekening bank, ditanya-tanya kenapa akta lahirnya seperti itu," tambahnya.

Meski Mahkamah Konstitusi telah mengakui hak-hak penghayat kepercayaan sejak putusan pada 2017, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Banyak kantor pencatatan sipil di daerah belum memiliki mekanisme yang memadai untuk melayani warga penghayat kepercayaan.

"Tahun 2024 akhirnya saya mengurus dokumen pernikahan melalui DPK HPK Kota Cimahi. Sayangnya, meski dokumen sudah lengkap tetap ribet. Saya harus tunggu satu bulan hingga dapat kabar bahwa SK Penghulu HPK tidak bisa dipakai. Pas saya mau cabut berkas karena tidak bisa, saya ketemu pejabat Disduk, ternyata bisa dibuat," jelasnya.

Komunitas Cireundeu, seperti Ogi dan keluarganya, masih terus berjuang agar bisa diperlakukan setara. Mereka berharap negara benar-benar hadir dan menjamin hak setiap warga tanpa membedakan keyakinan.

“Kami tidak minta istimewa. Kami hanya ingin diakui, dihormati, dan diperlakukan seperti warga negara lainnya,” tutup Ogi.

Komunitas adat Cireundeu tetap setia menjaga akar tradisi, salah satunya adalah dengan menggelar Tradisi Tutup Taun 1957 pada Agustus 2024. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Komunitas adat Cireundeu tetap setia menjaga akar tradisi, salah satunya adalah dengan menggelar Tradisi Tutup Taun 1957 pada Agustus 2024. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Pentingnya Perlindungan Warga Adat Cireundeu

Komunitas adat Cireundeu dikenal dengan pola hidupnya yang mandiri dan selaras dengan alam. Mereka kerap dielu-elukan pemerintah dan menjadi percontohan swasembada pangan karena berhasil mengganti beras dengan singkong sebagai makanan pokok, serta menolak mencederai bumi dengan tambang atau pembangunan yang merusak lingkungan.

Di sisi lain, warga adat Cireundeu masih rentan terhadap gangguan. Mulai dari perlakuan diskriminasi terhadap keyakinan, ancaman modernisasi terhadap tradisi, hingga bayang-bayang alih fungsi kawasan hutan. Maka, diperlukan payung hukum khusus terkait perlindungan masyarakat adat.

Diketahui, masyarakat adat Cireundeu mempunyai berbagai tradisi, upacara, ritual budaya, serta kepercayaan tersendiri. Misalnya, dari sisi pengelolaan tata wilayah hutan. Mereka membaginya menjadi tiga bagian, yakni Leuweung Larangan atau hutan terlarang—yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena berfungsi sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu.

Leuweung Tutupan atau hutan reboisasi, yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi. Pepohonannya boleh dipergunakan, namun masyarakat wajib menanam kembali. Terakhir, Leuweung Baladahan atau hutan pertanian, yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun oleh masyarakat adat Cireundeu.

"Kita harap payung hukum perlindungan masyarakat adat ini komprehensif. Jadi bukan hanya melindungi kawasan, tapi juga menjamin hak atas adat istiadat dan keyakinan tetap dijaga," kata Ogi.

Kampung adat Cireundeu terletak di RW 10, Kelurahan Leuwigajah, Kota Cimahi. Di wilayah ini, tercatat sedikitnya ada 60–70 kepala keluarga (KK) yang masih memegang teguh tradisi. Masyarakat di kampung ini telah memetakan luas hutan larangan sekitar 10 hektare, hutan tutupan sekitar 10 hektare, dan hutan baladahan seluas 40 hektare.

Ogi menjelaskan bahwa hutan larangan tersebar di Gunung Kunci, Pasir Panji, Gunung Jambul, Gunung Gajah Langu, Gunung Puncak Salam, dan Gunung Cimenteng. Ia berharap dengan adanya Perda perlindungan masyarakat adat, hutan-hutan tersebut tetap dilestarikan.

Masyarakat Adat Kampung Cireundeu Kota Cimahi saat menggelar Tradisi Tutup Taun 1957 dan Ngemban Taun 1 Sura 1958, Sabtu 3 Agustus 2024. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Masyarakat Adat Kampung Cireundeu Kota Cimahi saat menggelar Tradisi Tutup Taun 1957 dan Ngemban Taun 1 Sura 1958, Sabtu 3 Agustus 2024. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

"Kalaupun ada Perwal atau Perda, minimal total 70 hektare lahan ini ditetapkan sebagai hutan adat. Jadi gak ada alih fungsi. Karena makin hari, perkotaan terus nyered ka kampung," tambahnya.

Senada dengan Ogi, Sesepuh Kampung Adat Cireundeu, Abah Widi, mengaku permintaan Perda masyarakat adat telah disampaikan sejak lama. Namun, gonta-ganti wali kota membuat aturan ini masih belum terwujud.

"Abah sudah beberapa kali sampaikan permintaan Perda masyarakat adat untuk melindungi tradisi budaya dan alamnya. Sampai sekarang belum ada progres," tandasnya. "Baru-baru ini Pemkot punya wacana akan buat area ini jadi kawasan konservasi dan ditanami bambu. Saya setuju, asal jangan lupa ajak juga bicara warga sini agar tak miskomunikasi," tandasnya.

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 18 Des 2025, 21:16 WIB

Sambel Pecel Braga: Rumah bagi Lidah Nusantara

Sejak berdiri pada 2019, Sambel Pecel Braga telah menjadi destinasi kuliner yang berbeda dari hiruk- pikuk kota.
Sambel Pecel Braga di tengah hiruk pikuk perkotaan Bandung. (Foto: Fathiya Salsabila)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 20:42 WIB

Strategi Bersaing Membangun Bisnis Dessert di Tengah Tren yang Beragam

Di Tengah banyaknya tren yang cepat sekali berganti, hal ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi pengusaha dessert untuk terus mengikuti tren dan terus mengembangkan kreatifitas.
Dubai Truffle Mochi dan Pistabite Cookies. Menu favorite yang merupakan kreasi dari owner Bonsy Bites. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 20:08 WIB

Harapan Baru untuk Taman Tegallega sebagai Ruang Publik di Kota Bandung

Taman Tegallega makin ramai usai revitalisasi, namun kerusakan fasilitas,keamanan,dan pungli masih terjadi.
Area tribun Taman Tegalega terlihat sunyi pada Jumat, 5 Desember 2025, berlokasi di Jalan Otto Iskandardinata, Kelurahan Ciateul, Kecamatan Regol, Kota Bandung, Jawa Barat. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Ruth Sestovia Purba)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 19:38 WIB

Mengenal Gedung Sate, Ikon Arsitektur dan Sejarah Kota Bandung

Gedung Sate merupakan bangunan bersejarah di Kota Bandung yang menjadi ikon Jawa Barat.
Gedung Sate merupakan bangunan bersejarah di Kota Bandung yang menjadi ikon Jawa Barat. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 18:30 WIB

Kondisi Kebersihan Pasar Induk Caringin makin Parah, Pencemaran Lingkungan di Depan Mata

Pasar Induk Caringin sangat kotor, banyak sampah menumpuk, bau menyengat, dan saluran air yang tidak terawat, penyebab pencemaran lingkungan.
Pasar Induk Caringin mengalami penumpukan sampah pada area saluran air yang berlokasi di Jln. Soekarno-Hatta, Kec. Babakan Ciparay, Kota Bandung, pada awal Desember 2025 (Foto : Ratu Ghurofiljp)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 17:53 WIB

100 Tahun Pram, Apakah Sastra Masih Relevan?

Karya sastra Pramoedya yang akan selalu relevan dengan kondisi Indonesia yang kian memburuk.
Pramoedya Ananta Toer. (Sumber: Wikimedia Commons | Foto: Lontar Foundation)
Ayo Jelajah 18 Des 2025, 17:42 WIB

Hikayat Jejak Kopi Jawa di Balik Bahasa Pemrograman Java

Bahasa pemrograman Java lahir dari budaya kopi dan kerja insinyur Sun Microsystems dengan jejak tak langsung Pulau Jawa.
Proses pemilahan bijih kopi dengan mulut di Priangan tahun 1910-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 17:21 WIB

Komunikasi Lintas Agama di Arcamanik: Merawat Harmoni di Tengah Tantangan

Komunikasi lintas agama menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas dan keharmonisan sosial di kawasan ini.
Monitoring para stakeholder di Kecamatan Arcamanik (Foto: Deni)
Ayo Jelajah 18 Des 2025, 16:40 WIB

Eksotisme Gunung Papandayan dalam Imajinasi Wisata Kolonial

Bagi pelancong Eropa Papandayan bukan gunung keramat melainkan pengalaman visual tanjakan berat dan kawah beracun yang memesona
Gunung Papandayan tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 15:16 WIB

Warisan Gerak Sunda yang Tetap Hidup di Era Modern

Jaipong merupakan jati diri perempuan Sunda yang kuat namun tetap lembut.
Gambar 1.2 Lima penari Jaipong, termasuk Yosi Anisa Basnurullah, menampilkan formasi tari dengan busana tradisional Sunda berwarna cerah dalam pertunjukan budaya di Bandung, (08/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Satria)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 14:59 WIB

Warga Cicadas Ingin Wali Kota Bandung Pindahkan TPS ke Lokasi Lebih Layak

Warga Cicadas menghadapi masalah lingkungan akibat TPS Pasar Cicadas yang penuh dan tidak tertata.
Kondisi tumpukan sampah menutupi badan jalan di kawasan Pasar Cicadas pada siang hari, (30/11/2025), sehingga mengganggu aktivitas warga dan pedagang di sekitar lokasi. (Foto: Adinda Jenny A)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 13:31 WIB

Kebijakan Kenaikan Pajak: Kebutuhan Negara Vs Beban Masyarakat

Mengulas kebijakan kenaikan pajak di Indonesia dari sudut pandang pemerintah dan sudut pandang masyarakat Indonesianya sendiri.
Ilustrasi kebutuhan negara vs beban rakyat (Sumber: gemini.ai)
Beranda 18 Des 2025, 12:57 WIB

Upaya Kreator Lokal Menjaga Alam Lewat Garis Animasi

Ketiga film animasi tersebut membangun kesadaran kolektif penonton terhadap isu eksploitasi alam serta gambaran budaya, yang dikemas melalui pendekatan visual dan narasi yang berbeda dari kebiasaan.
Screening Film Animasi dan Diskusi Bersama di ITB Press (17/12/2025). (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 12:53 WIB

Dari Ciwidey Menembus India; Menaman dan Menjaga Kualitas Kopi Robusta

Seorang petani kopi asal Ciwidey berhasil menghasilkan kopi robusta berkualitas yang mampu menembus pasar India.
Mang Yaya, petani kopi tangguh dari Desa Lebak Muncang, Ciwidey—penjaga kualitas dan tradisi kopi terbaik yang menembus hingga mancanegara. (Sumber: Cantika Putri S.)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 12:12 WIB

Merawat Kampung Toleransi tanpa Basa-basi

Kehadiran Kampung Toleransi bukan sekadar retorika, basa-basi, melainkan wujud aksi nyata dan berkelanjutan untuk merawat (merayakan) keberagaman.
Seorang warga saat akan menjalankan ibadah salat di Masjid Al Amanah, Gang Ruhana, Jalan Lengkong Kecil, Bandung. (Sumber: AyoBandung.com | Foto: Ramdhani)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 11:04 WIB

Manusia dan Tebing Citatah Bandung

Mari kita bicarakan tentang Citatah.
Salah satu tebing di wilayah Citatah. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 10:06 WIB

Satu Tangan Terakhir: Kisah Abah Alek, Pembuat Sikat Tradisional

Kampung Gudang Sikat tidak selalu identik dengan kerajinan sikat. Dahulu, kampung ini hanyalah hamparan kebun.
Abah Alek memotong papan kayu menggunakan gergaji tangan, proses awal pembuatan sikat. (Foto: Lamya Fatimatuzzahro)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 09:52 WIB

Wargi Bandung Sudah Tahu? Nomor Resmi Layanan Aduan 112

Nomor resmi aduan warga Bandung adalah 112. Layanan ini solusi cepat dan tepat hadapi situasi darurat.
Gambaran warga yang menunjukkan rasa frustasi mereka saat menunggu jawaban dari Call Center Pemkot Bandung yang tak kunjung direspons (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 07:15 WIB

Akhir Tahun di Bandung: Saat Emas bagi Industri Resort dan Pariwisata Kreatif

Menjelang Natal dan Tahun Baru 2026, lonjakan kunjungan ke Kota Bandung serta tren wisata tematik di resort membuat akhir tahun menjadi momentum emas bagi pertumbuhan industri resort dan pariwisata.
Salah satu faktor yang memperkuat posisi Bandung sebagai destinasi akhir tahun adalah kemunculan resort-resort dengan konsep menarik (Sumber: Instagram @chanaya.bandung)
Beranda 18 Des 2025, 07:09 WIB

Rumah Seni Ropiah: Bukan Hanya Tempat Memamerkan Karya Seni, tapi Ruang Hidup Nilai, Budaya, dan Sejarah Keluarga

Galeri seni lukis yang berlokasi di Jalan Braga, Kota Bandung ini menampilkan karya-karya seni yang seluruhnya merupakan hasil ciptaan keluarga besar Rumah Seni Ropih sendiri.
Puluhan lukisan yang dipamerkan dan untuk dijual di Rumah Seni Ropih di Jalan Braga, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Toni Hermawan)