AYOBANDUNG.ID — Di kaki Gunung Gajahlangu, di tengah gemuruh modernitas Kota Cimahi, komunitas adat Cireundeu tetap setia menjaga akar tradisi. Mereka hidup dalam harmoni dengan alam, memegang teguh nilai-nilai kepercayaan Sunda Wiwitan yang diwariskan leluhur. Namun, kesetiaan itu justru membawa luka tak kasat mata, terasa dalam setiap aspek kehidupan, termasuk hal-hal paling mendasar sebagai warga negara: hak sipil.
Ogi Suprayogi (45), warga adat Cireundeu dan ayah dari tiga anak, merasakan betul perihnya diskriminasi sistemik yang menyasar mereka yang memilih jalur keyakinan di luar enam agama resmi negara. Selama hampir dua dekade, ia bersama istri Emelda Ida Lusiani (40) hidup dalam pernikahan yang sah secara adat, namun tidak di mata negara.
“Selama 18 tahun saya dan istri hidup tanpa akta nikah. Bukan karena kami tidak mau mencatatkan, tapi karena negara tidak mengakui kepercayaan kami, sehingga pengurusannya sulit minta ampun,” tutur Ogi.
Untuk mendapatkan akta pernikahan, warga Sunda Wiwitan di Cireundeu harus menggunakan organisasi masyarakat (ormas) penghayat lokal yang telah diakui pemerintah, seperti Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) atau Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK). Hal ini disebabkan oleh ketiadaan pemuka adat yang memiliki Surat Keputusan (SK) dari instansi terkait sebagai pencatat resmi pernikahan.

“Kami punya sesepuh adat, tapi mereka tidak diberi SK oleh dinas. Jadi, negara tidak mengakui pernikahan yang dilakukan oleh tokoh adat kami,” lanjut Ogi.
Ironisnya, absennya dokumen resmi pernikahan membawa dampak yang lebih jauh. Ketiga anaknya lahir tanpa bisa mencantumkan nama Ogi sebagai ayah kandung di akta lahir mereka. Masalah ini bukan hanya menyangkut perasaan atau martabat, tapi juga berdampak langsung pada akses pendidikan, kesehatan, hingga perbankan. "Kalau anak saya mau daftar sekolah, harus banyak surat tambahan. Kalau mau bikin rekening bank, ditanya-tanya kenapa akta lahirnya seperti itu," tambahnya.
Meski Mahkamah Konstitusi telah mengakui hak-hak penghayat kepercayaan sejak putusan pada 2017, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Banyak kantor pencatatan sipil di daerah belum memiliki mekanisme yang memadai untuk melayani warga penghayat kepercayaan.
"Tahun 2024 akhirnya saya mengurus dokumen pernikahan melalui DPK HPK Kota Cimahi. Sayangnya, meski dokumen sudah lengkap tetap ribet. Saya harus tunggu satu bulan hingga dapat kabar bahwa SK Penghulu HPK tidak bisa dipakai. Pas saya mau cabut berkas karena tidak bisa, saya ketemu pejabat Disduk, ternyata bisa dibuat," jelasnya.
Komunitas Cireundeu, seperti Ogi dan keluarganya, masih terus berjuang agar bisa diperlakukan setara. Mereka berharap negara benar-benar hadir dan menjamin hak setiap warga tanpa membedakan keyakinan.
“Kami tidak minta istimewa. Kami hanya ingin diakui, dihormati, dan diperlakukan seperti warga negara lainnya,” tutup Ogi.

Pentingnya Perlindungan Warga Adat Cireundeu
Komunitas adat Cireundeu dikenal dengan pola hidupnya yang mandiri dan selaras dengan alam. Mereka kerap dielu-elukan pemerintah dan menjadi percontohan swasembada pangan karena berhasil mengganti beras dengan singkong sebagai makanan pokok, serta menolak mencederai bumi dengan tambang atau pembangunan yang merusak lingkungan.
Di sisi lain, warga adat Cireundeu masih rentan terhadap gangguan. Mulai dari perlakuan diskriminasi terhadap keyakinan, ancaman modernisasi terhadap tradisi, hingga bayang-bayang alih fungsi kawasan hutan. Maka, diperlukan payung hukum khusus terkait perlindungan masyarakat adat.
Diketahui, masyarakat adat Cireundeu mempunyai berbagai tradisi, upacara, ritual budaya, serta kepercayaan tersendiri. Misalnya, dari sisi pengelolaan tata wilayah hutan. Mereka membaginya menjadi tiga bagian, yakni Leuweung Larangan atau hutan terlarang—yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena berfungsi sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu.
Leuweung Tutupan atau hutan reboisasi, yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi. Pepohonannya boleh dipergunakan, namun masyarakat wajib menanam kembali. Terakhir, Leuweung Baladahan atau hutan pertanian, yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun oleh masyarakat adat Cireundeu.
"Kita harap payung hukum perlindungan masyarakat adat ini komprehensif. Jadi bukan hanya melindungi kawasan, tapi juga menjamin hak atas adat istiadat dan keyakinan tetap dijaga," kata Ogi.
Kampung adat Cireundeu terletak di RW 10, Kelurahan Leuwigajah, Kota Cimahi. Di wilayah ini, tercatat sedikitnya ada 60–70 kepala keluarga (KK) yang masih memegang teguh tradisi. Masyarakat di kampung ini telah memetakan luas hutan larangan sekitar 10 hektare, hutan tutupan sekitar 10 hektare, dan hutan baladahan seluas 40 hektare.
Ogi menjelaskan bahwa hutan larangan tersebar di Gunung Kunci, Pasir Panji, Gunung Jambul, Gunung Gajah Langu, Gunung Puncak Salam, dan Gunung Cimenteng. Ia berharap dengan adanya Perda perlindungan masyarakat adat, hutan-hutan tersebut tetap dilestarikan.

"Kalaupun ada Perwal atau Perda, minimal total 70 hektare lahan ini ditetapkan sebagai hutan adat. Jadi gak ada alih fungsi. Karena makin hari, perkotaan terus nyered ka kampung," tambahnya.
Senada dengan Ogi, Sesepuh Kampung Adat Cireundeu, Abah Widi, mengaku permintaan Perda masyarakat adat telah disampaikan sejak lama. Namun, gonta-ganti wali kota membuat aturan ini masih belum terwujud.
"Abah sudah beberapa kali sampaikan permintaan Perda masyarakat adat untuk melindungi tradisi budaya dan alamnya. Sampai sekarang belum ada progres," tandasnya. "Baru-baru ini Pemkot punya wacana akan buat area ini jadi kawasan konservasi dan ditanami bambu. Saya setuju, asal jangan lupa ajak juga bicara warga sini agar tak miskomunikasi," tandasnya.