AYOBANDUNG.ID - Suasana lengang dan sunyi menjadi gambaran Pasar Kosambi dalam beberapa waktu terakhir. Ketika disambangi pada Selasa (16/12) siang, deretan kios tampak banyak yang tertutup. Meski begitu, masih ada sejumlah pedagang yang bertahan membuka lapaknya hingga sore hari.
Di antara mereka, Rohayati (51), pedagang sayur yang telah berjualan di Pasar Kosambi sejak 1991, mengenang masa ketika pasar ini pernah menjadi pusat aktivitas warga Kota Bandung.
“Saya dari tahun 1991 di sini, dulu mah Pasar Kosambi pasar nomer satu di Bandung. Semenjak covid, jadi sepi,” ungkap dia.
Di balik lapaknya yang kini tak seramai dulu, Rohayati menjalani hari dengan rutinitas yang panjang dan melelahkan. Ia bercerita tentang kesehariannya yang dimulai sejak dini hari.
“Capek, ya. Bangun jam 4, nganter mamah saya belanja, ngurus anak, beresin rumah, terus kerja ke sini sampai sore,” ucap Rohayati.

Meski kelelahan, ia tetap bertahan demi menopang perekonomian keluarga.
“Gimana lagi cari uang gitu ya, bantu suami,” tambahnya.
Saat ditanya soal pembagian pekerjaan rumah tangga, Rohayati hanya tertawa lirih.
“Oh, suami mah ngga (bantu). Semua sama saya,” ucapnya.
Kisah serupa juga dialami Siti (45), penjual seragam sekolah yang telah berjualan di Pasar Kosambi sejak 2017. Setiap hari, Siti membagi waktunya antara pekerjaan domestik dan mencari nafkah.
“Biasa, beres-beres dulu, nyiapin makan buat anak-anak. Ke sini pagi, pulang jam 5. Lanjut nyuci,” ungkapnya.
Bagi Siti, bekerja bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
“Harus punya sampingan. Walaupun kita dikasih juga kan. Tetap aja kurang, kita bantu,” ucap dia.
Kondisi itu semakin berat karena ia harus menjalani hari-hari tanpa kehadiran suami di rumah.
“Apalagi saya, kan, sering ditinggal-tinggal suami. Sudah 4 tahun ini ditinggal bekerja di Batam,” ucapnya.
Kalimat terakhirnya terucap dengan suara bergetar.
“Kalo bukan karena anak, siapa lagi,” ungkapnya sambil matanya berkaca-kaca.

Apa yang dialami Rohayati dan Siti menjadi potret keseharian banyak perempuan pekerja di ruang-ruang ekonomi rakyat. Mereka tidak hanya menunjukkan ketangguhan, tetapi juga menanggung beban kerja yang berlapis—di ranah domestik sekaligus publik. Dalam senyap pasar yang kian sepi, mereka menjadi pahlawan ekonomi sekaligus pengelola rumah tangga.
Dosen Sosiologi UIN Bandung, Chisa Belinda Harahap, menyebut kondisi tersebut sebagai fenomena double burden atau beban ganda yang kerap dialami perempuan menikah.
“(Kondisi) di mana perempuan yang sudah menikah pun harus kerja double. Artinya kerja double itu ngurusin rumah tangga, juga ngurusin karir dia,” jelas dia.
Menurut Chisa, konstruksi sosial yang berkembang sering kali menganggap bahwa ketika perempuan telah menikah, tanggung jawab ekonomi sepenuhnya berada di pundak suami.
Padahal dalam realitasnya, kondisi tersebut jauh dari gambaran ideal. Beban ganda justru menuntut perempuan untuk terus bekerja di luar rumah, sekaligus memikul hampir seluruh pekerjaan domestik.
“Jadi, perempuan itu sudah capek duluan di dalam urusan domestik mereka, dan pada akhirnya kegiatan sosialisasi, lalu kegiatan politik, dan lain sebagainya itu akan berkurang drastis,” jelasnya.