Penumpang di Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung, kini semakin sepi. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)

Beranda

Bandara Husein Setia Terbilang, Lima Penumpang Datang dan Hilang

Kamis 26 Jun 2025, 16:33 WIB

AYOBANDUNG.IDBandara biasanya tempat hilir-mudik manusia. Riuh koper, pengumuman boarding, aroma kedai kopi, dan langkah terburu-buru calon penumpang adalah suasana khasnya. Tapi tidak di Bandara Husein Sastranegara, Bandung.

Di sini, sekarang, jumlah penumpangnya tak lebih ramai dari warung rokok dekat perempatan. “Hanya sekitar lima penumpang per hari,” kata General Manajer PT Angkasa Pura Indonesia, Indra Seputra, baru-baru ini.

Ya, lima orang. Jumlah yang bahkan tidak cukup untuk mengisi satu baris bangku dalam kabin pesawat.

Padahal, dulu bandara ini melayani hingga 4.000 penumpang setiap hari. Sebelum bandara Kertajati “dibuka paksa” jadi pengganti, Husein adalah pintu udara utama Kota Bandung. Kini, ia berdiri seperti raksasa tua yang sudah pensiun, tapi belum resmi diberhentikan.

Walau begitu, Indra buru-buru menegaskan: bandara ini tidak tutup. “Bandung belum pernah tutup. Tidak pernah tutup,” katanya.

Sepinya Husein bukan terjadi begitu saja. Ia bukan bangunan tua yang ditinggal karena rusak atau tak layak. Ia justru ditinggalkan karena pemerintah memindahkan seluruh penerbangan komersial ke Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, Majalengka, sejak pertengahan 2023.

Kebijakan yang disebut-sebut sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) ini menjadikan Kertajati sebagai bandara utama Jawa Barat. Sementara Husein, dengan segala fasilitasnya yang memadai dan lokasinya yang strategis di pusat kota, dikerdilkan fungsinya.

Sejak itu, tidak ada lagi deru pesawat jet di langit Pasteur. Yang tersisa hanyalah pesawat baling-baling kecil milik Susi Air dan penerbangan militer. Bandara yang dulu hiruk-pikuk dengan koper, boarding pass, dan suara panggilan boarding, kini hanya sesekali dikunjungi oleh penumpang tunggal yang bahkan tak perlu antre check-in.

Bandara Husein memang belum mati. Tapi hidupnya seperti lampu neon yang berkedip-kedip. Kadang menyala, lebih sering redup. Dalam sehari, hanya ada satu-dua penerbangan propeller dari Susi Air. Rutenya pun pendek dan sesekali saja. Pangandaran-Bandung-Halim, tiga kali seminggu. Kalau tanggal 2 Juli nanti tak diundur, Yogyakarta-Bandung-Halim akan menyusul.

Toh, suasana tetap seperti terminal bayangan.

Wakil Menteri Perhubungan, Suntana, menyebut akan mencari solusi. “Prinsipnya untuk kebaikan masyarakat,” katanya. Tapi sampai sekarang, belum ada langkah konkret. Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, pun hanya bisa menunggu. “Sekarang, kita sedang menunggu,” ujarnya, dalam pernyataan yang terasa lebih pas dibacakan sambil duduk termenung.

Bandara, Tapi Tanpa Bandar

Bandara dengan lima penumpang per hari sebenarnya bukan bandara lagi. Ia lebih menyerupai posko logistik. Tak ada antrean, tak ada hiruk pikuk. Staf keamanan bisa mengenal semua penumpang, bahkan mungkin tahu golongan darah dan nama anak mereka.

Ironisnya, ini semua terjadi di tengah kota yang dikenal sebagai destinasi wisata, pusat perguruan tinggi, dan gudangnya kongres. Tapi turis-turis, mahasiswa, dan pejabat memilih rute lain. Entah naik mobil dari Jakarta, atau terbang dari Kertajati yang konon lebih visioner dari Husein.

Farhan bilang, tak perlu pesawat besar seperti A380 atau Boeing 777. Cukup jet-jet kecil seperti Airbus A320 atau Boeing 737. Tapi untuk itu pun, belum ada kejelasan. “Kita tidak mengharapkan Husein jadi menerima pesawat haji, tidak,” ujar Farhan.

Baca Juga: Reaktivasi Bandara Husein Simalakama Buat Kertajati

Sementara itu, bandara lima penumpang ini terus dibuka. Terus diaudit. Terus diawasi. Seperti rumah besar yang dijaga agar tidak roboh, meski penghuninya hanya satu keluarga kecil, dan kadang, tak ada sama sekali.

Jika tidak ada keputusan segera, bisa jadi bandara ini akan benar-benar tutup. Bukan karena perintah resmi, tapi karena tak ada lagi yang datang. Sebuah bangunan megah yang pelan-pelan berubah jadi simbol dari niat baik yang dibiarkan menggantung.

Kondisi Bandara Husein Sastranegara sebelum penerbangan dipindahkan. (Sumber: Ayobandung)

Kertajati Korban Reaktivasi

Farhan adalah salah satu sosok yang paling getol mendorong reaktivasi Bandara Husein. Alasannya masuk akal: warga Bandung butuh akses cepat. Tapi tak semua orang sepakat.

Salah satu yang paling keras mengkritik adalah pengamat ekonomi dari Universitas Majalengka, L. Suparto. Dalam analisisnya, reaktivasi Husein justru mengancam kemajuan ekonomi regional Jawa Barat.

“Secara umum, membuka kembali Husein akan merugikan BIJB Kertajati, yang merupakan bagian penting dari Proyek Strategis Nasional,” katanya.

BIJB bukan sekadar bandara. Ia adalah mimpi besar tentang pemerataan pembangunan. Dibangun di Majalengka agar tak semua pertumbuhan ekonomi menumpuk di Bandung dan Jakarta. “Kalau Husein aktif lagi, manfaat BIJB makin lemah. Ujungnya, provinsi sendiri yang rugi,” tegas Suparto.

Kertajati punya jangkauan lebih luas: dari Bandung hingga Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan kawasan Pantura lainnya. Di sinilah kuncinya: efek domino yang lebih merata, tak cuma terkonsentrasi di Bandung Raya.

Ia membandingkan dengan kisah sukses Bandara Internasional Lombok. Dulu di Mataram, lalu dipindah ke Lombok Tengah. Hasilnya? Muncullah Mandalika, kawasan wisata kelas dunia. “Kalau BIJB dioptimalkan, Majalengka bisa punya cerita yang sama,” katanya penuh keyakinan.

Suparto pun mengkritisi logika ekonomi dari reaktivasi Husein. “Kalau Husein diaktifkan kembali, apa manfaatnya untuk provinsi? Ini justru akan mengurangi return investasi BIJB dan menimbulkan persaingan internal yang tidak sehat,” ujar dia.

Baginya, pilihan ideal bukan reaktivasi, tapi integrasi. Alih-alih membuat dua bandara bersaing di tengah pasar terbatas, sebaiknya dikelola terkoordinasi. “Daripada membagi sumber daya, lebih baik Husein diintegrasikan ke BIJB,” usulnya.

Ia mengakui masalah BIJB bukan soal fisik, tapi konektivitas dan jumlah rute. Tapi itu bukan alasan untuk membuka saingan baru di tengah jalan. “Hadirnya Angkasa Pura dan dukungan profesional Kementerian Perhubungan bisa jadi kunci,” katanya.

Tapi logika kenyamanan warga Bandung tidak serta-merta mengalahkan rencana besar pemerintah pusat. Suparto mengingatkan, Jawa Barat punya saham besar di BIJB. “Kalau Husein terus dioperasikan, kita hanya akan membuat Bandung semakin macet tanpa memberikan manfaat berarti untuk daerah lain,” katanya.

Ia pun mewanti-wanti agar proyek sebesar BIJB tidak jadi proyek gagal seperti beberapa PSN lain yang menyedot dana tapi tak membuahkan hasil. “Reaktivasi Husein hanya akan menciptakan kompetisi yang tidak sehat,” ujarnya.

Baca Juga: Estetika Dulu, Infrastruktur Belakangan: Wajah Kontras Kampung Pelangi Lembur Katumbiri

Jelas, dalam konflik ini tidak ada jawaban yang sepenuhnya benar atau salah. Tapi realitasnya: Bandara Husein hanya melayani lima orang per hari. Ia belum tutup, tapi hidupnya lebih menyerupai penantian panjang di ruang transit—entah menuju reaktivasi, atau tinggal tunggu waktu resmi pensiun.

Sementara itu, pembangunan terus berpacu. Dan pertanyaan utama tetap menggantung di udara: Apakah Husein Sastranegara masih bandara, atau kini sekadar monumen nostalgia kota yang enggan melepas masa lalunya?

Tags:
BandaraKertajatiHusein Sastranegara

Redaksi

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor