Estetika Dulu, Infrastruktur Belakangan: Wajah Kontras Kampung Pelangi Lembur Katumbiri

Gilang Fathu Romadhan
Ditulis oleh Gilang Fathu Romadhan diterbitkan Kamis 15 Mei 2025, 18:42 WIB
Suasana di Lembur Katumbiri (Sumber: Ayobandung | Foto: Gilang Fathu Romadhan)

Suasana di Lembur Katumbiri (Sumber: Ayobandung | Foto: Gilang Fathu Romadhan)

AYOBANDUNG.ID — Di Kota Bandung, ‘pelangi’ bisa kapan saja dilihat. Warna-warna khas pelangi dapat terlihat dengan mata telanjang. Tapi penampakannya bukan di langit, melainkan di atap dan tembok rumah warga.

Tempat tersebut berada di Kampung Katumbiri, Babakan Siliwangi, Kecamatan Coblong, Kota Bandung. Kawasan ini beberapa waktu lalu diresmikan oleh Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, sebagai kampung wisata.

AyoBandung berkesempatan mengunjungi kampung itu pada Senin, 12 Mei 2025. Untuk menuju ke Kampung Katumbiri, masyarakat bisa masuk melalui Gang Bapak Ehom. Gang ini terletak di sebelah Teras Cikapundung BBWS.

Jarak dari mulut gang ke Kampung Katumbiri sekitar 1 kilometer lebih. Bila hendak ke sana, disarankan untuk berjalan kaki, sebab suasana gang berbeda dari gang pada umumnya.

Selama perjalanan, masyarakat akan menyusuri sisi anak sungai yang relatif bersih dari sampah. Suasananya cukup asri, cocok untuk berjalan kaki. Pohon-pohon dan tanaman tumbuh rindang, dan udara sejuk terasa menyegarkan.

Kebanyakan pengunjung mengenakan pakaian yang stylish. Ada juga yang berpakaian ala olahragawan. Tapi yang jelas, mereka sama-sama berkeringat ketika sampai di Katumbiri.

Perjalanan memakan waktu lebih dari 7 menit. Ini memerlukan sekitar 1.000 langkah kaki. Cukup untuk membakar 40 kalori. Beberapa baju belakang pengunjung tampak basah oleh keringat.

Sesampainya di sana, rumah-rumah warga tampak berjejer tak rapi dan bertingkat, bak permukiman di Brasil. Rumah-rumah itu berdiri di sempadan Sungai Cikapundung. Tembok dan atapnya dicat dengan warna-warna cerah layaknya pelangi.

Wajah perkampungan ‘modern’ di Kota Bandung. Untuk menyusuri kampung itu, pengunjung harus menaiki ratusan anak tangga, sebab kondisi geografisnya seperti di lereng bukit.

Salah satu pengurus Kampung Katumbiri, Herman (62), mengatakan kampung ini berubah jadi permukiman padat sejak tahun 2000-an. Tahun berganti, jumlah bangunan dan warga bertambah.

Dulu, warga hanya menempati bagian atas perkampungan saja. Sementara di sisi sungai, banyak ditumbuhi pohon bambu. Kemudian lama-kelamaan pohon bambu berubah menjadi rumah.

“Mungkin punya anak, cucu, terus pada bangun rumah, akhirnya padat,” kata dia.

Singkat cerita, kampung ini pernah mendapat bantuan atau sponsor dari perusahaan ternama. Permukiman kumuh seketika berubah menjadi kampung pelangi. Sehingga rumah warga terlihat lebih cerah dan menarik.

Sayangnya, itu tak bertahan lama. Warna-warna mulai pudar seiring berjalannya waktu. Di satu sisi, warga tidak memperbarui warna tersebut. Alhasil, kata “menarik” tak lagi cocok untuk kampung tersebut.

Kemudian pada bulan April, Wali Kota Bandung mengunjungi kawasan tersebut. Farhan ingin kampung itu dapat kembali menarik perhatian pengunjung. Upaya reaktivasi warna pun dimulai.

Rumah-rumah lalu dicat ulang, yang menghabiskan 504 galon cat dan melibatkan lebih dari 150 pekerja lapangan. Upaya ini disebut sebagai simbol transformasi dan harapan baru.

“Kalau dari perusahaan kan namanya Kampung Pelangi, nah kalau Wali Kota jadi Lembur Katumbiri. Itu sebenarnya bahasa Sundanya saja,” ucapnya.

Warga Lembur Katumbiri sedang mengecat dinding. (Sumber: Ayobandung | Foto: Gilang Fathu Romadhan)

Pemkot Bandung menggandeng seniman John Martono dalam menghidupkan kembali nilai estetika kampung ini. Sentuhan seni John menambah keindahan dari Lembur Katumbiri. Reaktivasi ini diharapkan dapat menarik wisatawan dan meningkatkan perekonomian warga.

Warga yang tinggal di perkampungan ini sekitar 135 KK atau 335 jiwa. Herman mengaku, banyak wisatawan yang datang ke kampung halamannya. Mereka yang berkunjung kebanyakan untuk berswafoto hingga menikmati keindahan alam.

Bangunan di sana kebanyakan semi permanen. Temboknya masih ada yang terbuat dari papan tripleks. Tempat sampah pun sukar ditemui di kawasan wisata tersebut.

Ia mengaku tak keberatan dengan pengunjung yang datang. Sebab Lembur Katumbiri menjadi terkenal. Hal ini berdampak pada pendapatan warga meski tidak terlalu signifikan.

“Ya kalau dibilang ekonomi meningkat hanya beberapa warga saja, masih ada yang kesusahan, tapi berkat viral ya berdampak lah,” ungkapnya.

Beberapa warga memang baru berjualan saat kampung ditetapkan sebagai kawasan wisata tematik. Makanan di sana cukup bervariasi, mulai dari es campur, lotek, kupat tahu, seblak, basreng, minuman saset, dan sebagainya.

Tempat untuk makan pun disediakan dengan bentuk saung semi modern. Pengunjung yang datang memilih tempat itu untuk beristirahat sambil menyantap hidangan yang dipesan. Ada juga lapak untuk berkaraoke.

Herman mengungkapkan, warga di sana kebanyakan bekerja sebagai kuli bangunan, pengumpul rongsok, ojol, hingga buruh pabrik. Sehingga diharapkan peresmian Lembur Katumbiri bisa meningkatkan perekonomian warga.

Namun di satu sisi, ia sedikit menyayangkan sejumlah warga belum terlalu peduli dengan lingkungannya. Ia menyebut kebanyakan kerja bakti dilakukan oleh pengurus kewilayahan saja.

Selain itu, dirinya mengaku belum pernah mendapat bantuan perbaikan jalan dari pemerintah. Padahal, kata dia, jalan menjadi akses utama dalam mendulang kegiatan hingga perekonomian.

“Nggak tahu kenapa pemerintah nggak bisa ke sini, apa karena ini tanah ITB atau bagaimana,” akunya.

Terkait pemberdayaan masyarakat, diakuinya belum sepenuhnya berjalan. Herman mengutarakan masyarakat memang diberi kebebasan ingin berjualan atau tidak, termasuk dalam merawat estetika kampung. Kendati demikian, imbauan dan sosialisasi terus dilakukan oleh para pengurus.

“Kalau (warga) punya kreativitas, dia ingin (rumahnya) lebih bagus, ya silakan. Kita sebagai pengurus tidak memaksa,” ucapnya.

Sejauh ini, program pemberdayaan masyarakat dari pemerintah pun belum ia rasakan. Entah itu berbentuk pelatihan atau workshop, ia mengatakan warga belum mendapatkannya.

Tetapi ia akan mencoba untuk mengajak warga agar membuat kerajinan tangan. Besar harapan kerajinan tersebut bisa menjadi oleh-oleh khas Lembur Katumbiri. Upaya itu disebutnya akan dimulai dari dirinya sendiri.

“Rencana saya mau bikin kerajinan kayak gitu, tapi nanti lah. Semoga aja bisa jadi oleh-oleh khas Lembur Katumbiri,” sebutnya.

Revitalisasi Jangan Abaikan Masalah Nyata

Akan tetapi, reaktivasi Kampung Katumbiri di kawasan Babakan Siliwangi menuai sorotan tajam dari pengamat tata kota Institut Teknologi Bandung (ITB), Frans Ari Prasetyo. Ia mengingatkan bahwa proses revitalisasi seharusnya berangkat dari kebutuhan dasar warga, bukan sekadar mempercantik tampilan kampung demi kepentingan pariwisata.

“Pertama kita harus lihat, tujuannya dibentuk, dilakukan proses yang terjadi pada wilayah Katumbiri itu. Itu kan bagian dari Babakan Siliwangi. Kita harus lihat bagaimana pola pembangunan Babakan Siliwangi sesuai dengan rencana tata ruang Kota Bandung yang baru direvisi tahun 2024,” ujar Frans saat diwawancarai.

Menurutnya, segala bentuk pembangunan mesti merujuk pada rencana detail tata ruang (RDTR) dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang berlaku. Apalagi wilayah Katumbiri tergolong kawasan yang spesifik dan memiliki sensitivitas tinggi.

Ia menilai, revitalisasi yang dilakukan sejauh ini masih bersifat kosmetik. “Apakah revitalisasi hanya menciptakan wilayah tampilan dengan cat-cat saja? Apakah revitalisasi itu akan memberi efek dan berdampak pada masyarakat selanjutnya?” katanya retoris.

Frans menekankan, pembenahan seharusnya dimulai dari infrastruktur dasar kampung, seperti MCK, akses air bersih, sanitasi, dan perumahan layak.

“Saya pikir harus ke arah sana dulu. Baru dipercantik. Bukan seolah-olah dipercantik melalui proses cat-cat-cat, tapi infrastruktur yang diperlukan tidak dikerjakan,” ujarnya.

Warga beraktivitas di bantaran Sungai Cikapundung yang di depan Lembur Katumbiri (Sumber: Ayobandung | Foto: Gilang Fathu Romadhan)

Ia menyebutkan, masih ada sekitar 700 ribu warga Bandung yang tidak memiliki fasilitas MCK memadai. Ini memperlihatkan bahwa banyak kebutuhan dasar warga yang belum tersentuh oleh program-program revitalisasi.

“Kenapa tidak dilakukan revitalisasi yang benar-benar urgensinya untuk wilayah itu? Ingin seolah-olah tampak modern, tapi bukan modern dalam arti yang berguna,” tegasnya.

Selain itu, Frans juga menyoroti masalah pembangunan di lahan sempadan sungai yang melanggar ketentuan tata ruang. Kondisi ini menempatkan warga dalam risiko bencana seperti banjir dan longsor, sekaligus ancaman penggusuran karena pelanggaran tata ruang.

Menurutnya, pemerintah seharusnya hadir dan melakukan penataan ulang yang substansial. Seperti melihat aspek pelanggaran tata ruang, wilayah sempadan, sanitasi yang baik, hingga tersedianya air bersih.

“Bagaimana warga merasa aman tinggal di sana, tidak melanggar hukum karena berada di wilayah sempadan. Artinya, pemerintah harus melakukan relokasi atau revitalisasi ulang yang menyeluruh. Yang substansinya dulu, cat nanti saja,” tegasnya.

Frans menyarankan, sebelum mengejar tren kampung wisata atau kampung tematik, pemerintah sebaiknya menyelesaikan dulu persoalan struktural warga.

“Modernisasi yang dipaksakan atas nama pariwisata ini berbahaya, karena akan mengganggu kehidupan warga dan menghapus identitas kampung kota itu sendiri,” tuturnya.

Ia juga mengingatkan bahwa euforia pariwisata bisa menciptakan overtourism yang mengganggu kenyamanan warga.

“Sekarang bayangkan, rumah kita, daerah privat kita, didatangi ribuan orang hanya untuk selfie. Warga itu pasti nggak nyaman,” ucapnya.

Dengan segala kerentanan yang ada, Frans menegaskan pentingnya revitalisasi yang berpihak pada warga, bukan sekadar mengikuti tren.

“Misalnya relokasi atau misalnya melakukan revitalisasi ulang, penataan ulang, penataan ulang wilayah Katumbiri, dan lain-lain gitu.”

“Itu yang paling substansinya dulu, yang substansinya dulu, kan cat mah bisa nanti lagi lah,” ujarnya.

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 24 Agu 2025, 19:41 WIB

Perempuan, Adat Yappa Maradda, dan Ekspektasi Sosial

Perempuan sering kali menjadi korban dari adat yang masih dipegang teguh bagi lingkungan sekitarnya.
Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam, Karya Dian Purnomo (312 Halaman) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 24 Agu 2025, 15:13 WIB

Peran Strategis Bobotoh dalam Ekosistem Sepak Bola Bandung

Bobotoh bukan sekadar penonton, tapi identitas dan energi Persib.
Ribuan Bobotoh memenuhi Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) saat laga Persib, menegaskan peran mereka sebagai identitas dan energi klub kebanggaan Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Kelvin Nopian Zakaria)
Ayo Netizen 24 Agu 2025, 12:13 WIB

Sewa Rahim dalam Perspektif Hukum dan Etika

Sewa rahim adalah wacana lama yang tak habis dibahas. Bagaimana hukum Indonesia mutakhir memandangnya?
Buku Sewa Rahim (Sumber: PT Refika Aditama | Foto: PT Refika Aditama)
Ayo Netizen 24 Agu 2025, 08:43 WIB

Perempuan, Perjuangan, dan Kemerdekaan

Kemerdekaan bagi perempuan bukan soal melampaui batasan hak laki-laki, tapi kemerdekaan adalah hak bagi setiap manusia.
Perjuangan memang bukan suatu hal yang mudah untuk dijalani, terlebih jika kamu adalah seorang perempuan. (Sumber: Pexels/Min An)
Ayo Biz 24 Agu 2025, 08:40 WIB

Bakso di Bandung dengan Ulasan Terbaik dari Netizen

Bakso selalu punya tempat istimewa di hati pecinta kuliner Indonesia. Hidangan berkuah ini cocok disantap kapan saja.
Ilustrasi Foto Bakso lezat dan nikmat. (Foto: Dok. Ayobandung.com)
Ayo Biz 23 Agu 2025, 21:46 WIB

Bisnis Kecantikan Tak Pernah Tidur: Strategi Beauty World Menaklukkan Pasar Bandung

Bisnis kecantikan tumbuh dari sekadar gaya hidup jadi kebutuhan, dan Bandung kini bukan hanya kota kreatif, tetapi kota dengan daya beli dan selera estetika tinggi.
Bisnis kecantikan tumbuh dari sekadar gaya hidup menjadi kebutuhan, dan Bandung kini bukan hanya kota kreatif, tetapi kota dengan daya beli dan selera estetika yang tinggi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 23 Agu 2025, 20:48 WIB

Semangat Aditya Warman Menyajikan Rasa Nusantara Lewat Bakmitopia

Lewat semangkuk bakmi, Aditya menjadikan kuliner sebagai cara untuk merayakan warisan rasa dan medium pelestarian budaya.
Sejumlah menu bakmi di Bakmitopia. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 23 Agu 2025, 20:16 WIB

Di Balik Segelas Bajigur: Cerita Rasa, Cuaca, dan Cinta pada Tradisi

Kini, bajigur tak lagi hadir dalam bentuk klasik semata. Inovasi demi inovasi bermunculan, menjadikannya lebih relevan dengan selera masa kini.
Kini bajigur tak lagi hadir dalam bentuk klasik semata. Inovasi demi inovasi bermunculan, menjadikannya lebih relevan dengan selera masa kini. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Biz 23 Agu 2025, 12:15 WIB

Kimono Raikeni, Outer Kekinian dengan Nuansa Etnik yang Otentik

Berawal dari ide sederhana saat menunggu penyusunan tesis di MBA ITB, Raidha Nur Afifah mendirikan Raikeni pada Mei 2019. Brand lokal ini lahir dari pemikiran tentang produk yang dibutuhkan orang
Owner Raikeni, Raidha Nur Afifah (Foto: Rizma Riyandi)
Ayo Biz 23 Agu 2025, 10:46 WIB

Mau Tahu Toko Kopi Tertua di Bandung?

Di tengah suasana sibuk Kota Bandung, terdapat sebuah toko kopi yang usianya hampir satu abad dan masih berdiri tegak hingga kini. Namanya Javaco Koffie, sebuah merek yang telah menjadi bagian dari se
Toko Kopi Javaco Koffie (Foto: GMAPS)
Ayo Netizen 22 Agu 2025, 20:21 WIB

Nama, Doa, dan Tanda

"Sesungguhnya kalian nanti pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama-nama kalian dan nama bapak kalian, maka baguskanlah nama-nama kalian" (HR. Abu Daud).
Viral nama anak hanya satu huruf C, Netizen: terus manggilnya gimana? (Sumber: TikTok | Foto: @_thisisgonec)
Ayo Jelajah 22 Agu 2025, 18:17 WIB

Sejarah Kuda Renggong Sumedang, Tradisi Pesta Khitanan Simbol Gembira Rakyat Priangan

Dari khitanan desa hingga festival, Kuda Renggong Sumedang tetap jadi ikon budaya yang memikat penonton dengan kuda penari.
Tradisi Kuda Renggong Sumedang. (Sumber: Skripsi Nurmala Mariam)
Ayo Biz 22 Agu 2025, 18:05 WIB

Jamu Naik Kelas: Minuman Herbal Nusantara yang Menjawab Tantangan Cuaca dan Budaya

Jamu, simbol kearifan lokal yang menyatu dengan budaya dan gaya hidup masyarakat Jawa, kini hadir dengan wajah baru yang lebih segar dan modern.
Jamu, simbol kearifan lokal yang menyatu dengan budaya dan gaya hidup masyarakat Jawa, kini merambah ke berbagai daerah dengan wajah baru yang lebih segar dan modern. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 22 Agu 2025, 17:04 WIB

Etika Profesi dan Perlindungan Rahasia Klien

Pentingnya etika profesi advokat dalam menjaga kerahasiaan klien sebagai fondasi kepercayaan, integritas, dan keadilan dalam proses peradilan.
Pentingnya etika profesi advokat dalam menjaga kerahasiaan klien sebagai fondasi kepercayaan, integritas, dan keadilan dalam proses peradilan. (Sumber: Pexels/KATRIN BOLOVTSOVA)
Ayo Biz 22 Agu 2025, 16:40 WIB

Warung Nasi SPG dan Jejak Para SPG di Sepiring Ayam Serundeng

Yang paling menarik dari Warung Nasi SPG bukan cuma makanannya, nama “SPG” yang melekat pada warung ini pun punya cerita yang unik.
Warung Nasi SPG, sebuah warung kaki lima yang sudah jadi legenda di kalangan pekerja dan mahasiswa sejak awal 2000-an. (Sumber: dok. Warung Nasi SPG)
Ayo Netizen 22 Agu 2025, 16:18 WIB

Chip dalam Tengkorak, Jiwa dalam Kode: Pada Batasan Neuralink

Inilah janji Neuralink, sebuah terobosan yang mengaburkan batas antara biologi dan teknologi, antara manusia dan mesin.
Inilah janji Neuralink, sebuah terobosan yang mengaburkan batas antara biologi dan teknologi, antara manusia dan mesin. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Netizen 22 Agu 2025, 15:02 WIB

Payment ID Bisakah Jadi Pintu ke Masa Depan Ekonomi Digital Indonesia?

Payment ID tidak hanya menyangkut inovasi teknologi, tetapi juga menyentuh aspek strategis dalam mewujudkan ekonomi digital.
Payment ID Sebagai Kunci Masa Depan Ekonomi Digital Foto: (Ilustrasi oleh AI)
Ayo Biz 22 Agu 2025, 14:41 WIB

Bisnis Bukan Sekadar Jualan: Visi Christine Membangun Makna dan Dampak Lewat Sherpa Indo Project

Christine Wink Surya, pendiri Sherpa Indo Project, menegaskan bahwa memahami target pasar adalah fondasi utama sebelum produk diluncurkan.
Christine Wink Surya, pendiri Sherpa Indo Project. (Sumber: instagram.com/christine_sherpa)
Ayo Netizen 22 Agu 2025, 13:30 WIB

Kritik Sosial dalam Doa Orang Sunda

Doa orang Sunda hadir sederhana di keseharian, jadi pengikat relasi dan tanda solidaritas rakyat.
Doa orang Sunda hadir sederhana di keseharian, jadi pengikat relasi dan tanda solidaritas rakyat. (Sumber: Pexels/Andreas Suwardy)
Ayo Jelajah 22 Agu 2025, 11:27 WIB

Senjakala Sepeda Boseh Bandung: Ramai Saat Weekend, Sepi Saat Weekday

Program sewa sepeda Boseh Bandung hadir sejak 2017, tapi kini lebih ramai dipakai saat akhir pekan ketimbang hari biasa.
Bike on the Street Everybody Happy alias Sepeda Boseh Bandung di salah satu shelter. (Sumber: Ayobandung)