AYOBANDUNG.ID — Jalan Ahmad Yani, Kota Bandung, dipadati kendaraan bermotor Sabtu, 26 Juli 2025, siang. Agus baru saja menutup dagangannya. Ia bisa beristirahat. Tapi pikirannya riuh oleh harga beras yang naik juga pelanggan yang merosot.
Beras yang ia pakai untuk membuat kupat adalah jenis premium. Dua tahun lalu, harganya hanya berkisar Rp13 ribu per kilogram. Namun saat ini harganya mencapainya Rp17 ribu per kilogram.
"Beli beras yang 17 ribu, jenis ST. Dulu harganya 13 ribu. Udah dua tahun lebih naik. Kalau kosong ya naik harganya," ungkapnya Sabtu, 26 Juli 2025.
Sejak berjualan pada 2020, Agus mematok harga satu porsi kupat tahu sebesar Rp15 ribu. Hingga pandemi Covid-19 berakhir, ia tetap mempertahankan harga tersebut. Bahkan kini harganya pun masih sama.
Dalam sehari, ia bisa mengantongi pendapat kotor sekitar Rp100-200 ribu. Ini belum dipotong oleh modal dan sebagainya.
Di satu sisi, pria 62 tahun itu tak berani menaikkan harga jual. Sebab ia takut pelanggan pada kabur. Meskipun harga beras melonjak cukup drastis.
Untuk mengantisipasi kerugian, ia pun terpaksa mengurangi isi satu porsi kupat tahu. Ini agar usahanya tidak merugi yang bisa membuatnya gulung tikar alias bangkrut.
"Harga jual sama tapi ukuran porsinya dikurangin dari biasanya," ujarnya.

Tak ada yang banyak bisa ia lakukan jika harga beras naik. Menurunkan kualitas beras menurutnya terlalu beresiko untuk usahanya. Alhasil Agus hanya bisa berharap pemerintah bisa segera menemukan solusinya.
"Harapannya ya pemerintah bisa segera mengatasi ini. Apalagi sekarang lagi sulit ekonomi, pelanggan berkurang," ceritanya sekaligus berharap.
Harga Beras Naik, Pedagang Menjerit
Kenaikan harga beras di tingkat eceran menjadi cerita tersendiri. Rahmat Kurnia (52), pedagang beras generasi ketiga asal Cimahi, mengaku harga beras mulai naik sejak awal Juni.
“Naiknya dari Rp200 sampai akhirnya bulet jadi naik Rp1.000. Sekarang beras paling murah Rp14.000 untuk kualitas medium. Yang premium sekarang paling murah Rp18.000,” ujar Rahmat saat ditemui di kiosnya di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Sabtu, 26 Juli 2025.
Menurutnya, mayoritas konsumennya adalah ibu rumah tangga. Keluhan datang hampir setiap hari dari para pembeli.
"Jelas berat, terutama untuk konsumen. Mereka yang biasa pakai beras Rp13.000 sekarang harus beli Rp14.000-Rp18.000. Pasti komplain mah ada lah," katanya.
Kondisi serupa dialami pedagang lain, Aman (69), yang mengaku stok beras di tokonya menipis drastis. Dulu, ia mengakui stok beras bisa mencapai tiga ton.
"(Sekarang) Tersisa cuma tiga kuintal, itu pun stok terakhir," ungkapnya.
Ia menyebut harga beras premium sempat mencapai Rp18.000 per kilogram, naik signifikan dari harga normal sebelumnya di kisaran Rp15.000–Rp16.000.
"Kalau stok terus terbatas, kemungkinan harga bisa naik lagi," ujarnya khawatir.
Dia bilang, kondisi itu diperparah dengan musim panen yang belum terjadi. Berdasarkan informasi yang ia peroleh, para petani baru saja melakukan penanaman padi belakangan ini.
Aman pun berharap Perum Bulog segera mengeluarkan pasokan dengan kualitas layak dan harga terjangkau. Ini agar beras tidak mengalami kenaikkan secara terus menerus.
"Bulog harus peduli. Jangan asal kasih barang murah tapi kualitas tidak memuaskan," tuturnya.

Kemiskinan di Jabar Menurun, tapi di Perkotaan Meningkat
Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mencatat penurunan tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Barat sebesar 0,06 persen per Maret 2025. Namun, di balik kabar baik itu, muncul sorotan terhadap lonjakan kemiskinan di wilayah perkotaan yang justru meningkat.
Kepala BPS Jabar, Darwis Sitorus, menjelaskan bahwa jumlah penduduk miskin secara total kini berada di angka 3,65 juta orang, atau 7,02 persen dari total populasi Jawa Barat.
Angka tersebut memang lebih rendah dibandingkan 3,67 juta orang pada September 2024. Namun, secara terperinci, wilayah perkotaan justru mengalami peningkatan angka kemiskinan.
"Secara absolut, di perkotaan terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin sebanyak 66,02 ribu orang, sementara di pedesaan turun sebanyak 79,63 ribu orang," kata Darwis dalam keterangannya, Jumat, 25 Juli 2025.
Fenomena ini disinyalir tidak lepas dari memburuknya kondisi ekonomi masyarakat perkotaan yang dibayangi kenaikan harga kebutuhan pokok, termasuk beras. Apalagi saat ini tengah beredar isu adanya beras oplosan. Sehingga Darwis menilai hal tersebut membuat masyarakat memilih beras dengan kualitas premium yang harganya lebih mahal.
"Ya, yang pastinya ngefek, karena harga yang dioplos itu lebih tinggi. Makanya di perkotaan orang cenderung mengkonsumsi beras premium. Kemungkinan ini bisa berkorelasi dengan adanya peningkatan angka kemiskinan," tutur Darwis saat menjawab pertanyaan seputar pengaruh beras oplosan dan kenaikkan harga.
Ia menambahkan bahwa garis kemiskinan (GK) pada Maret 2025 tercatat sebesar Rp547.752 per orang per bulan, naik 2,29 persen dari periode sebelumnya. Dari total itu, pengeluaran makanan berkontribusi 74,88 persen, dengan GK makanan sebesar Rp410.143 dan GK nonmakanan Rp137.609 per bulan.

"Kemiskinan yang bermasalah itu di perkotaan dari tingkat kedalaman paparan kemiskinan. Ini mungkin ada hubungannya dengan jumlah pengangguran yang secara jumlah orangnya meningkat, meskipun persentasenya menurun,” katanya.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Pemprov Jabar tengah menyiapkan sebuah aplikasi digital yang mempertemukan pencari kerja dan penyedia lowongan.
"Sehingga nanti bisa dikawinkan antara lowongan kerja dengan pencari kerja. Mungkin itu yang dapat menyelesaikan permasalahan di Jawa Barat,” tambah Darwis.
Dengan naiknya kebutuhan dasar seperti beras, masyarakat miskin di perkotaan kini berada dalam tekanan ganda: harga melambung dan lapangan kerja menyusut. Pemerintah dan pemangku kepentingan diminta hadir lebih dekat untuk menjawab tantangan tersebut.(*)