AYOBANDUNG.ID -- Prof Wanjat Kastolani tidak sedang menciptakan teknologi revolusioner. Ia justru menantang paradigma lama dengan pendekatan yang nyaris tak terdengar, menyelesaikan sampah dari akarnya, tanpa mesin, tanpa jargon, tanpa kemewahan.
Sebagai akademisi lingkungan dari Universitas Pendidikan Indonesia, ia mengembangkan metode bio compound, sebuah formula sederhana yang mengubah sampah organik menjadi media tanam dalam waktu kurang dari sehari. Tanpa bau. Tanpa limbah tambahan. Tanpa ketergantungan pada alat berat.
Di tengah kebiasaan kota yang membuang sampah ke TPA tanpa pikir panjang, Prof. Wanjat menawarkan alternatif yang bersifat lokal dan mandiri. Ia percaya bahwa solusi tidak harus datang dari atas, melainkan bisa tumbuh dari kebiasaan warga, dari dapur, dari halaman belakang.
Bio compound bukan sekadar kompos. Ia adalah pembenah hayati, membuat campuran yang mampu menghidupkan kembali tanah yang rusak akibat limbah dan polusi. Formulanya terdiri dari sampah organik yang dicacah, batang pisang (gebog cau), kotoran hewan, dan bio compound itu sendiri.
“Caranya simpel, sampah dicacah, dicampur gebog cau untuk mengikat racun, lalu ditambah kotoran hewan dan bio compound. Hasilnya bisa langsung dipakai sebagai media tanam," ujar Prof. Wanjat dalam pelatihan di Babakansari, Bandung.
Metode ini dirancang untuk skala kecil seperti rumah tangga, RT, RW. Tidak perlu biodigester, peuyeumisasi, atau proses kompos yang memakan waktu berminggu-minggu. Ia bisa dilakukan dengan ember, sekop, dan kemauan untuk memilah.
Prof. Wanjat menyebut sampah sebagai bom waktu. Ia tidak sedang melebih-lebihkan. Kota-kota besar di Indonesia menghadapi krisis TPA yang penuh, mahal, dan tidak berkelanjutan. “Dulu kita cari solusi ke mana-mana. Ternyata sampah bisa selesai oleh dirinya sendiri," katanya.

Di Babakansari, pendekatan ini diterapkan. Warga diajak memilah sampah sejak dari rumah. Mereka membawa tumblr, menghindari air kemasan, dan mulai memahami bahwa sampah bukan sesuatu yang dibuang, melainkan sesuatu yang bisa diolah.
Kebijakan lokal pun mendukung. RW setempat menetapkan aturan, di mana sampah yang tidak dipilah tidak akan diangkut oleh petugas. “Ini satu langkah maju, karena perubahan perilaku harus didorong oleh sistem," ” kata Prof Wanjat.
Namun, ia tidak memaksakan satu metode untuk semua tempat. Baginya, pengolahan sampah harus kontekstual. Karakteristik tanah, budaya warga, dan kapasitas lokal harus menjadi pertimbangan utama. “Tidak semua wilayah cocok dengan biodigester. Tidak semua cocok dengan kompos biasa,” ujarnya.
Bio compound menjadi jawaban bagi wilayah yang tidak punya lahan luas, tidak punya anggaran besar, tapi punya semangat gotong royong. Ia bisa diterapkan di gang sempit, di halaman rumah, bahkan di balkon apartemen.
Lebih dari sekadar teknik, metode ini adalah gerakan. Ia mengajak warga untuk melihat ulang hubungan mereka dengan limbah. Bahwa yang dibuang bisa menjadi sumber kehidupan. Bahwa yang dianggap kotor bisa menjadi penyembuh tanah.
Prof. Wanjat tidak menjual produk. Ia menyebarkan gagasan. Ia melatih warga, bukan menjadikan mereka konsumen. Ia percaya bahwa perubahan dimulai dari pengetahuan yang dibagikan, bukan dari alat yang dijual.
Di tengah krisis lingkungan yang semakin kompleks, pendekatan seperti ini terasa segar. Ia tidak menjanjikan keajaiban. Tapi ia menawarkan sesuatu yang lebih penting, yakni kendali, di mana warga bisa mengelola sampahnya sendiri, dengan cara yang sederhana, efektif, dan berkelanjutan.
"Kalau kita bisa ubah cara pandang terhadap sampah, dari beban jadi sumber, maka kota ini punya harapan. Sampah tidak harus menunggu teknologi besar. Ia bisa selesai di tangan warga, asal ada kemauan dan pengetahuan yang dibagikan," ujarnya.
Alternatif produk kebutuhan serupa dan UMKM: