AYOBANDUNG.ID -- Di era digital yang serba terkoneksi, kemajuan teknologi komunikasi telah memungkinkan karyawan bekerja dari mana saja. Namun, fleksibilitas ini ternyata menyimpan paradoks, alih-alih memberi kebebasan, justru menciptakan jebakan kerja tanpa batas waktu. Fenomena overworked alias bekerja melebihi jam kerja normal kian marak, terutama di kalangan milenial dan Gen Z yang mendominasi industri kreatif dan digital.
Menurut data dari Gallup (2023), 44% pekerja milenial mengaku merasa kelelahan akibat beban kerja yang terus-menerus, bahkan di luar jam kantor. Sementara itu, survei oleh McKinsey Health Institute menunjukkan bahwa Gen Z adalah kelompok paling rentan terhadap burnout, dengan 60% responden menyatakan mengalami stres kerja kronis.
Psikolog Industrial and Organizational dari Universitas Padjadjaran, Rezki Ashriyana Sulistiobudi, menyoroti dampak serius dari pola kerja yang melewati batas waktu.
“Kondisi ini memprihatinkan lantaran penyeimbangan buruk tentang kehidupan kerja-personal seseorang bakal berefek pada kesehatan mental dan fisik si pekerja itu sendiri,” ungkap Rezki kepada Ayobandung.
Teknologi yang semestinya memudahkan justru menjadi sumber tekanan baru. Email, WhatsApp, dan platform kerja digital seperti Slack atau Trello membuat batas antara jam kerja dan waktu pribadi menjadi kabur.
“Alih-alih beristirahat atau melakukan kegiatan-kegiatan personal yang menyenangkan, biasanya akhir pekan para overworker hanya diisinya dengan aktivitas kerja serupa hari Senin hingga Jumat,” tambah Rezki.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Studi dari Harvard Business Review (2022) mencatat bahwa budaya hustle atau kerja keras tanpa henti telah menjadi norma sosial di banyak negara, terutama di startup dan industri kreatif. Milenial dan Gen Z sering kali merasa harus “selalu online” demi menjaga performa dan eksistensi profesional.
“Overwork ini sering muncul karena kekhawatiran bila seseorang mengabaikan pekerjaan yang datang di luar jam kantor, penilaian performa kerjanya akan terdampak,” jelas Rezki.
Ketakutan akan dianggap tidak produktif atau tidak responsif membuat banyak pekerja enggan mematikan notifikasi, bahkan saat waktu istirahat. Sayangnya, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental masih minim.
“Rata-rata masih menganggapnya sebagai gangguan yang sifatnya tidak senyata gangguan fisik,” kata Rezki.
Padahal, World Health Organization (WHO) telah menetapkan burnout sebagai fenomena kerja yang berdampak serius terhadap kesejahteraan individu dan produktivitas perusahaan.

Banyak perusahaan masih menitikberatkan pada kesehatan fisik, seperti menyediakan asuransi atau fasilitas olahraga, namun abai terhadap aspek psikis.
“Padahal, hal ini tidak kalah signifikannya mempengaruhi kondisi individual si pekerja yang lantas berimbas pula pada capaian kantor,” lanjut Rezki.
Solusi bukan sekadar mengatur jam kerja, tetapi membangun budaya kerja yang sehat. “Fleksibel di sini sebaiknya memang tetap di jam waktu sesungguhnya, misal dari pagi sampai sore tapi bisa kerjakan di mana saja. Atau misal kalau butuh kerja malam, yang terpenting tidak boleh menggangu waktu tidur atau waktu istirahat,” ujar Rezki.
Beberapa perusahaan mulai menerapkan kebijakan “digital detox” atau “no email after hours” sebagai bentuk perlindungan terhadap waktu pribadi karyawan. Studi dari Deloitte (2023) menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan kebijakan ini mengalami peningkatan produktivitas sebesar 18% dan penurunan turnover karyawan hingga 25%.
Namun, ketika kondisi overwork tidak lagi terhindarkan, para pekerja justru menormalisasi hal ini. “Ibarat kata, pulang kerja berarti bebas tugas itu jadi mitos dan jadi ungkapan sindiran para pekerja ini,” ujar Rezki.
Lawakan seperti “kerja sampai lupa punya rumah” menjadi cerminan budaya kerja yang sudah melampaui batas. Di sisi lain, komunitas pekerja muda mulai membentuk ruang diskusi dan dukungan psikologis, seperti forum daring dan grup WhatsApp yang membahas burnout dan self-care. Inisiatif seperti ini menjadi langkah awal untuk membangun solidaritas dan kesadaran kolektif.
Dari sisi bisnis, perusahaan perlu melihat kesejahteraan karyawan sebagai investasi jangka panjang. Menurut laporan dari Mental Health Foundation UK, setiap £1 yang diinvestasikan dalam program kesehatan mental menghasilkan return sebesar £5 dalam bentuk peningkatan produktivitas dan pengurangan absensi.
Budaya kerja yang sehat bukan hanya soal jam kerja, tetapi tentang nilai yang dibangun, yakni menghargai waktu pribadi, memberi ruang untuk istirahat, dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan hidup. Milenial dan Gen Z, sebagai generasi yang vokal dan sadar akan isu kesehatan mental, punya peran penting dalam mendorong perubahan ini.
Dengan membangun sistem kerja yang lebih manusiawi, perusahaan tidak hanya menjaga performa, tetapi juga merawat aset terpenting mereka: manusia di balik layar. Karena pada akhirnya, kerja bukan soal seberapa lama kita duduk di depan layar, tapi seberapa sehat dan utuh kita menjalani hidup.
“Keseimbangan antara kerja dan hidup bukan sekadar idealisme, tapi kebutuhan dasar agar seseorang bisa tetap produktif tanpa kehilangan dirinya sendiri,” pungkas Rezki.
Alternatif produk kebutuhan kerja atau produk UMKM serupa: