Gang Blok Kupat ialah nadi tradisi yang menenun ketekunan, warisan, dan janur yang menjadi sumber kehidupan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

Ayo Biz

Gang Blok Kupat dan Janur yang Menenun Hidup

Sabtu 28 Jun 2025, 16:59 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Di balik gemuruh kota dan riuh Pasar Induk Caringin, ada lorong sempit di Bandung yang tak pernah kehilangan denyutnya yaitu Gang Blok Kupat.

Kawasan padat penduduk ini bukan sekadar gang biasa, melainkan nadi tradisi yang menenun ketekunan, warisan, dan janur menjadi sumber kehidupan. Di sinilah ribuan kulit ketupat, ikon Lebaran yang sarat makna lahir setiap harinya.

Nama “kupat” diambil dari bahasa Sunda, artinya ketupat. Tapi lebih dari sekadar arti harfiah, “kupat” di gang ini menjadi bahasa yang menghidupi.

Terselip di RT 1–7, RW 13, Kecamatan Babakan Ciparay, Gang Blok Kupat adalah sentra perajin kulit ketupat yang telah menapaki jejak waktu lintas generasi.

Setiap hari, dari pagi buta hingga petang menua, janur-anyaran ini dikirim ke berbagai penjuru pasar tradisional Kota Bandung. Terutama jelang Hari Raya Idulfitri, denyut itu makin bergemuruh.

Gang sempit berubah jadi arena produksi massal, tanpa pabrik, tanpa mesin, hanya tangan-tangan terampil dan janur yang lentur.

Gang Blok Kupat ialah nadi tradisi yang menenun ketekunan, warisan, dan janur yang menjadi sumber kehidupan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

Salah satu pelestari tradisi itu adalah Zulaeha, perempuan paruh baya yang sejak belia telah akrab dengan wangi janur basah. Baginya, menganyam bukan semata keterampilan, tapi bagian dari identitas.

“Blok Kupat ini udah ada lama, gak tahu tahun pastinya, cuman dari saya belum lahir juga udah ada. Kegiatan bikin cangkang ketupat juga ini udah turun-temurun sampai jadi mata pencaharian warga. Pokoknya ini mah udah turun-temurun dari nenek moyang," kisahnya kepada Ayobandung, seraya mengangkat satu demi satu janur yang dianyam di pelataran rumahnya.

Dalam suasana jelang Lebaran, angka produksi melonjak drastis. Jika hari biasa mereka membuat 500 kulit ketupat, musim Lebaran memacu produktivitas hingga dua kali lipat. Janur didatangkan dari Tasikmalaya, dan dijalin menjadi ribuan cangkang per hari.

“Kalau hari biasa Rp3.500 per 100 biji, tapi kalau jelang Lebaran jadi naik Rp10.000 per 100 biji. Makanya warga yang awalnya jarang bikin, jadi tergiur buat ikut. Soalnya lumayan. Bisa tiga kali lipat dari hari biasanya upahnya juga,” kata Zulaeha.

Gang Blok Kupat ialah nadi tradisi yang menenun ketekunan, warisan, dan janur yang menjadi sumber kehidupan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

Di sampingnya, sang menantu, Iim, tampak khusyuk menganyam. Iim mulanya bukan warga asli Gang Blok Kupat. Ia baru mengenal dunia janur saat menikah dengan anak Zulaeha.

“Sebenernya saya sebelum nikah sama anak ibu, saya asli orang Kabupaten Bandung Barat. Cuman ya sekarang sekalian nambah kerjaan dari jualan bensin, keterusan bikin cangkang ketupat. Dari belajar sampai sekarang mah udah mahir,” ujar Iim.

Sedianya, Gang Blok Kupat tak hanya milik orang dewasa. Anak-anak pun tumbuh bersama anyaman. Di sela-sela waktu sekolah, mereka turut membantu, menyusupkan semangat kecil ke dalam ritual besar keluarga.

“Anak-anak kecil juga di sini ada yang ikut kerja bikin cangkang ketupat, jadi buruh bikin cangkang lah karena sambil ngabuburit. Ada juga yang memang membantu orang tuanya, ada juga yang sengaja kerja. Makanya dari kecil udah pada bisa,” tutur Iim.

Di gang ini, di setiap ujung pintu rumah, ada sepasang tangan yang bekerja dalam diam. Di setiap janur yang dilipat, ada cerita tentang ketekunan, warisan, dan ikatan keluarga. Gang Blok Kupat bukan hanya saksi sejarah, tapi juga penjaga masa depan tradisi ketupat.

Gang Blok Kupat pun adalah pengingat bahwa tradisi tak selalu harus besar dan megah. Terkadang, ia hidup dalam anyaman-anyaman kecil yang dibuat dengan hati, dan janur yang tak pernah benar-benar tidur.

Tags:
ikon LebaranKota Bandungjanursentra perajin kulit ketupatGang Blok Kupat

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor