Kerupuk Dorokdok (Foto: Ist)

Ayo Biz

Ide Cerdik di Balik Sentra Kerupuk Dorokdok Cihamerang

Senin 14 Jul 2025, 13:38 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Terletak di Desa Banjaran Wetan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Kampung Cihamerang menyimpan potensi besar di dunia kuliner tradisional. Sejak 1990-an, kampung ini dikenal sebagai pusat produksi dorokdok, kerupuk renyah dari kulit sapi.

Hampir setiap rumah di kampung ini menjadikan produksi kerupuk sebagai mata pencaharian utama. Sebelum dikenal luas sebagai kampung dorokdok, warga Cihamerang terlebih dahulu membuat kerupuk awut atau kerupuk malarat.

Seiring berjalannya waktu, sebagian warga mulai mencoba mengolah kulit sapi menjadi dorokdok. Hal ini pun diikuti oleh warga lain, hingga akhirnya menjadi industri rumahan yang menjamur di hampir seluruh kampung.

“Awalnya satu-dua orang saja yang coba bikin dorokdok, lama-lama hampir semua ikut,” ujar Dewan, salah satu perajin senior kerupuk dorokdok di Cihamerang.

Meski terlihat sederhana, bisnis kerupuk dorokdok tidak luput dari tantangan. Salah satu hal terpenting adalah keahlian dalam mengolah kulit sapi agar bisa mengembang sempurna saat digoreng.

“Kalau olahannya kurang pas, bisa rugi. Tapi kalau tepat, hasilnya bisa banyak dan untungnya besar,” jelas Dewan yang telah menekuni usaha ini sejak 1995.

Kerupuk dorokdok sendiri dijual berdasarkan kemasan, bukan berat. Namun bahan baku kulit sapi dibeli berdasarkan berat kering dan didatangkan dari Garut atau Cianjur.

Setiap kilogram kulit bisa menghasilkan 120 hingga 150 bungkus dorokdok, tergantung hasil kulit setelah digoreng.

“Kalau kulit mengembang sempurna, omzet per kuintal bisa sampai Rp9 juta. Tapi kalau kurang mengembang, paling Rp5 jutaan,” imbuhnya.

Mulai Bisnis Dorokdok dari Modal Rp10 Ribu

Di sisi lain, Dewan membuktikan bahwa bisnis tidak selalu harus dimulai dengan modal besar. Ia memulai usahanya hanya dengan 10 kilogram kulit sapi kering seharga Rp10.000.

Dari bahan baku tersebut, ia memproduksi dorokdok, lalu perlahan menambah modal seiring dengan hasil penjualan. Puncak kesuksesan pertama Dewan datang saat krisis moneter melanda Indonesia pada 1998.

Saat sebagian besar produsen dorokdok menghentikan produksi karena kenaikan harga bahan baku, Dewan justru memilih untuk tetap berproduksi dan menaikkan harga jual.

“Saya berani jual Rp100 per bungkus, dari sebelumnya cuma Rp50. Yang lain takut nggak laku, saya justru kebanjiran pesanan,” ujarnya mengenang.

Langkah berani itu terbukti tepat. Produksi Dewan meningkat drastis hingga mampu mengolah dua kuintal bahan baku per hari. Keuntungan besar saat itu menjadi bekal utama untuk mengembangkan usahanya hingga kini.

Dewan membagikan rahasia sukses dalam menghasilkan kerupuk dorokdok berkualitas tinggi. Proses pengolahan kulit sapi dimulai dari perendaman semalaman, pencacahan bentuk kotak, pencucian ulang hingga penyimpanan selama dua bulan.

“Kalau langsung digoreng tanpa disimpan, kerupuknya nggak akan mengembang sempurna,” ungkapnya.

Selain proses penyimpanan, teknik penggorengan pun berperan besar. Ia menerapkan dua tahap penggorengan. Pertama, menggunakan api kecil selama enam jam untuk ‘melembutkan’ kulit. Kedua, dengan api besar untuk mengembangkan kerupuk.

“Kalau cuma tiga jam, hasilnya kurang maksimal. Banyak yang nggak sabar, padahal di sinilah kuncinya,” katanya.

Meski saat ini usahanya tidak seramai saat krisis dahulu, Dewan masih mampu menjual 2 sampai 3 kuintal dorokdok setiap pekan. Dengan omzet rata-rata Rp8 sampai Rp9 juta per kuintal, ia mampu meraup puluhan juta rupiah per bulan.

Alternatif Produk Serupa

  1. https://s.shopee.co.id/5VKKgUIS6C
  2. https://s.shopee.co.id/2B3siN7QvM
  3. https://s.shopee.co.id/VvejK4VQv
Tags:
Produk KulinerKabupaten BandungKampung Cihamerangkerupuk dorokdokproduk lokal

Rizma Riyandi

Reporter

Rizma Riyandi

Editor