Pemandangan Danau Sindanglaya Cianjur di kaki Gunung Gede tahun 1900-an. (Sumber: KITLV)

Ayo Jelajah

Jejak Panjang Sejarah Cianjur, Kota Santri di Kaki Gunung Gede

Minggu 14 Sep 2025, 08:54 WIB

AYOBANDUNG.ID - Kebanyakan orang hanya tahu Cianjur dari bubur ayam, tauco, atau jalur Puncak yang bikin macet setiap akhir pekan. Tapi Cianjur jauh lebih tua daripada kemacetan itu. Kabupaten yang bertengger manis di kaki Gunung Gede ini punya sejarah panjang. Ia bukan sekadar tempat singgah para pelancong yang buru-buru hendak ke Bandung, melainkan sebuah wilayah yang sejak dulu menjadi rumah, ladang, bahkan panggung politik dan spiritual.

Di sinilah manusia prasejarah pernah mengatur batu-batu besar dengan tekun, seakan membuat tangga menuju langit. Di sini pula ulama-ulama karismatik tumbuh, membangun pesantren yang kelak memberi Cianjur label Kota Santri. Sejarah Cianjur bukan sekadar deretan tahun dan nama bupati. Ia seperti sebuah lakon wayang: kadang serius, kadang jenaka, kadang penuh tragedi, tapi selalu punya alur yang mengikat.

Gunung Padang jadi pintu masuk yang paling pas untuk bicara soal sejarah Cianjur. Situs megalitik di Desa Karyamukti itu bikin banyak orang ternganga. Ada yang menafsirkan sebagai piramid tua, ada pula yang tetap bersikukuh menyebutnya punden berundak. Apapun sebutannya, Gunung Padang adalah bukti bahwa manusia prasejarah sudah jatuh cinta pada lembah subur di kaki Gunung Gede sejak lebih dari dua ribu tahun lalu.

Baca Juga: Hikayat Dukun Digoeng Bantai Warga Cililin, Gegerkan Wangsa Kolonial di Bandung

Bayangkan, jauh sebelum orang Sunda tahu apa itu liwet atau pepes ikan, leluhur mereka sudah bersusah payah menyusun batu andesit jadi teras bertingkat. Gunung Gede memberi mereka tanah subur, air melimpah, dan udara sejuk—semua bahan baku kehidupan. Tidak heran mereka betah.

Ketika Kerajaan Sunda Pajajaran berkuasa, Cianjur hanyalah daerah pedesaan di bawah Pakuan (Bogor). Nama Cianjur dipercaya berasal dari “Ci” (air) dan “Anjur” (mengalir deras). Nama yang sederhana tapi pas: air di Cianjur memang deras, sama derasnya dengan kisah yang mengalir dari masa lalu.

Legenda lokal menyebut tokoh bernama Aki Panyumpit dari Kerajaan Kertarahayu sebagai orang yang membuka lahan di Cianjur. Tapi sebagaimana banyak legenda Sunda lainnya, kisah ini lebih sering hidup di mulut orang tua ketimbang di kitab sejarah. Para ahli agak sinis menyebutnya mitos. Tetapi toh mitos adalah bagian dari cara sebuah masyarakat mengingat masa lalu.

Pada abad ke-17, Cianjur bukan lagi sekadar pedalaman Pajajaran yang sudah runtuh. Dari Talaga, Majalengka, datang seorang bangsawan bernama Raden Aria Wiratanu I. Lelaki ini keturunan Sunan Talaga. Ia membuka tanah di Cikundul dan membangun padaleman, semacam kompleks bangsawan.

Seiring waktu, pemukiman itu berkembang. Pada 1677, Sultan Amangkurat II dari Mataram menunjuk Wiratanu sebagai bupati pertama Cianjur. Sejak itu, Cianjur resmi jadi kabupaten. Hubungan dengan Mataram tentu tak selalu hangat. Bukan rahasia kalau banyak daerah di Jawa Barat merasa hubungan dengan Mataram lebih banyak basa-basi politik. Tetapi faktanya, status kabupaten memberi Cianjur posisi penting.

Di bawah Wiratanu dan para penerusnya, Islam mulai lebih kental. Masjid dan pesantren tumbuh perlahan, menggantikan pengaruh lama Hindu-Buddha. Bayangan Pajajaran memudar, digantikan suara azan dan lantunan kitab. Dari sinilah jalannya terbuka untuk kelak Cianjur dikenal sebagai Kota Santri.

Pada abad ke-19, giliran Belanda yang membekas. Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels membangun Jalan Raya Pos dari Anyer hingga Panarukan. Jalan lurus itu membelah Cianjur, membawa serta serdadu, pedagang, dan tentu saja tenaga rodi rakyat lokal yang dipaksa kerja.

Baca Juga: Sejarah Tahu Sumedang, Warisan Cita Rasa Tionghoa hingga Era Cisumdawu

Sejak jalan jadi, Cianjur makin ramai. Kota ini tidak lagi hanya urusan sawah dan ladang, tapi juga jadi simpul perdagangan dan administrasi. Orang Belanda meraup untung, rakyat pribumi bekerja keras. Di alun-alun kota, pendopo kabupaten berdiri megah. Arsitektur kolonial dipadu dengan gaya lokal, seakan memberi pesan: kuasa asing boleh menguasai, tapi tanah Sunda tetap punya wajahnya.

Kegiatan setoran hafalan Quran Santri Cianjur. (Sumber: Yayasan Huda Cendekia)

Identitas Cianjur Kota Santri

Tapi ada satu hal yang tak bisa dipatahkan kolonial: tradisi pesantren. Sejak abad ke-18, pesantren tumbuh di Cianjur. Pesantren Gelar di Ciranjang jadi salah satu pusat penyebaran Islam. Dari situlah Cianjur mulai dikenal sebagai Kota Santri.

Tokoh-tokoh ulama lahir dari sini. Raden Haji Muhammad Nuh, misalnya, mendirikan Perguruan Islam Al-Ianah pada 1912. Ia mencoba menjembatani tradisi pesantren dengan pendidikan modern. Ada pula R.A. Tjitjih Wiarsih, ulama perempuan yang jarang disorot tapi meninggalkan jejak kuat pada abad ke-20. Figur-figur inilah yang membuat Islam di Cianjur tidak sekadar ibadah, tapi juga budaya yang membentuk kehidupan sehari-hari.

Saat Indonesia merdeka pada 1945, Cianjur ikut jadi bagian perjuangan. Pendopo kabupaten sempat dipakai sebagai markas pejuang melawan Belanda yang ingin kembali. Tokoh-tokoh lokal menulis, berjuang, dan berpikir untuk republik yang masih muda.

Pada era Orde Baru, wajah Cianjur kembali berubah. Pertanian masih dominan, tapi perlahan kota ini ikut terseret arus urbanisasi. Jalan tol Cipularang membuat jarak ke Jakarta makin singkat. Sejak 1980-an, Cianjur kian terhimpit industri dan perumahan.

Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels

Tapi modernisasi tidak membuat Cianjur kehilangan jati dirinya. Pesantren masih berdiri kokoh, seni Mamaos Tembang Cianjuran masih dilantunkan, dan tauco tetap jadi oleh-oleh wajib. Bahkan gempa besar 2022 yang mengguncang tidak menghapus identitas ini.

Bahkan gempa besar 2022 yang meruntuhkan banyak bangunan tidak bisa meruntuhkan identitas itu. Masyarakatnya kembali bangkit, membangun rumah, sekolah, dan tentu saja pesantren.

Cianjur tetap Cianjur, kota di kaki Gunung Gede yang pernah jadi tanah prasejarah. Wilayah Pajajaran, kabupaten Mataram, kota kolonial, lalu kota santri modern.

Tags:
SejarahCianjurKota Santri

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor