Stadion Si Jalak Harupat di Soreang yang jadi markas Persib Bandung dan Persikab. (Sumber: Pemkab Bandung)

Ayo Jelajah

Sejarah Stadion Si Jalak Harupat Bandung, Rumah Bersama Persib dan Persikab

Rabu 17 Sep 2025, 12:36 WIB

AYOBANDUNG.ID - Bagi orang Bandung, aroma stadion bukan sekadar bau rumput basah. Di Jalak Harupat, aromanya campuran asap cilok bakar, keringat suporter, dan kadang-kadang flare yang meledak tanpa aba-aba. Stadion ini berdiri sejak 2005, diberi nama Si Jalak Harupat untuk menghormati Oto Iskandardinata. Tapi di mata Bobotoh, namanya bisa apa saja, yang penting di sana Persib bisa main, dan mereka bisa teriak sekeras-kerasnya.

Suasana hiruk-pikuk itu tidak pernah terbayangkan saat awal 2000-an, ketika pemerintah Kabupaten Bandung di bawah Bupati Obar Sobarna masih sibuk meyakinkan banyak pihak bahwa Kabupaten Bandung butuh stadion sendiri. Maklum, selama ini sorotan sepak bola lebih sering ke Kota Bandung dengan Stadion Siliwangi di Jalan Ahmad Yani. Kabupaten Bandung, meski luas dan berpenduduk besar, tak punya arena yang bisa disebut kebanggaan. Padahal, ada Persikab, klub sepak bola kabupaten, yang butuh markas layak. Kalau mau dihitung, suporter Persikab mungkin tak sebanyak bobotoh Persib, tapi harga diri daerah tetap harus dijaga.

Karena itu, diputuskanlah membangun stadion di Soreang. Proyek dimulai Januari 2003 dengan anggaran yang bikin rakyat geleng-geleng kepala: Rp67,5 miliar. Untuk ukuran zaman itu, jumlahnya fantastis. Tapi begitulah kalau pemerintah ingin bikin monumen. Beton harus tinggi, tribun harus megah, rumput harus hijau standar FIFA, dan lampu sorot tak boleh kalah dengan stadion ibu kota.

Baca Juga: Jalan Otista Bandung: Dibuka Tiap 30 Tahun, Dinamai dari Si Jalak Harupat

Dua tahun berselang, stadion akhirnya rampung. Pada 26 April 2005, tepat hari jadi ke-365 Kabupaten Bandung, stadion ini diresmikan oleh Agum Gumelar, yang waktu itu menjabat Ketua KONI Pusat. Peresmiannya memang sengaja dipasangkan dengan ulang tahun kabupaten—biar lebih dramatis: ulang tahun daerah, hadiah besar stadion. Rasanya mirip orang ulang tahun dapat kue raksasa.

Stadion Si Jalak Harupat sejak awal diproyeksikan sebagai kandang Persikab Kabupaten Bandung. Klub berjuluk “Laskar Dalem Bandung” itu akhirnya punya rumah yang cukup layak untuk menampung suporter. Tidak lagi hanya bertanding di stadion kecil, Persikab bisa merasa bangga: kabupaten punya stadion sendiri, lengkap dengan identitas dan kebanggaan daerah.

Tapi cerita tidak berhenti di situ. Beberapa tahun kemudian, stadion yang awalnya “hanya” untuk klub kabupaten berubah nasib. Ia dipinang klub besar "tetangga" dengan massa luar biasa: Persib Bandung.

Dari Kandang Persikab, Jadi Panggung Persib

Tahun 2009, Persib Bandung mulai menggunakan Stadion Si Jalak Harupat sebagai kandang. Stadion Siliwangi di pusat kota sudah dianggap kurang layak untuk laga besar, terutama soal keamanan dan kapasitas. Pilihan jatuh ke Soreang. Maka sejak itu, jalan menuju Jalak Harupat rutin macet setiap kali Persib bertanding.

Bersama Persib, stadion ini benar-benar naik kelas. Bobotoh, dengan lautan biru kebanggaannya, menyerbu tribun. Chant menggema, flare kadang muncul, dan energi penonton membuat tribun bergetar. Jalak Harupat berubah dari “stadion kabupaten” menjadi panggung utama liga nasional.

Baca Juga: Tragedi Longsor Sampah Leuwigajah 2005: Terburuk di Indonesia, Terparah Kedua di Dunia

Dengan intensitas tinggi, stadion ini tentu butuh perawatan ekstra. Rumput harus rutin diganti agar tidak jadi lapangan golf darurat. Pencahayaan diperbaiki supaya siaran televisi tak terlihat suram. Tribun dibenahi agar nyaman meski kursi plastiknya kadang terasa lebih keras daripada bangku angkot. Renovasi besar dilakukan menjelang Asian Games 2018, saat Jalak Harupat dipercaya menjadi salah satu venue cabang sepak bola putra.

Suasana saat bobotoh Persib Bandung memenuhi Stadion Si Jalak Harupat. (Sumber: Ayobandung)

Helatan Asian Games membawa Jalak Harupat ke pentas internasional. Stadion yang dibangun dengan mimpi kabupaten mendadak dipijak oleh pemain dari berbagai negara Asia. Penonton asing hadir, media internasional meliput, dan Soreang ikut disebut di peta olahraga global. Stadion yang awalnya hanya ingin jadi kebanggaan lokal, kini menembus batas negara.

Selain Asian Games, Jalak Harupat juga pernah digunakan untuk beberapa pertandingan Piala AFF dan laga persahabatan internasional. Tidak semua stadion di Indonesia bisa mendapat kesempatan semacam itu. Jalak Harupat membuktikan bahwa kualitasnya tidak kalah dari stadion besar lain, meski ukurannya lebih “menengah” ketimbang Gelora Bung Karno atau Gelora Bung Tomo.

Tapi di balik sorot lampu sorot, ada juga kisah-kisah lain. Warga sekitar tentu ikut kecipratan berkah. Pedagang makanan ringan menjajakan cilok, baso tahu, hingga minuman dingin. Penjual atribut Persib laris manis. Ojek dan angkot ramai. Bahkan jalanan macet pun jadi ladang rezeki bagi tukang parkir dadakan. Stadion ini tak hanya menghidupkan sepak bola, tapi juga ekonomi kecil di sekitar Soreang.

Baca Juga: Sejarah Stadion GBLA, Panggung Kontroversi yang Hampir Dinamai Gelora Dada Rosada

Kisah sukses itu tentu tidak menutup suara-suara kritis. Sejak awal, biaya pembangunan stadion sempat jadi bahan omongan. Ada yang menilai anggaran Rp 67,5 miliar terlalu besar. Tapi seperti biasa, proyek besar selalu melahirkan tanya-jawab publik. Stadionnya toh tetap berdiri megah, bola tetap bergulir, dan penonton tetap berteriak di tribun.

Penamaan “Si Jalak Harupat” sendiri menambah makna historis. Oto Iskandardinata bukan sosok biasa. Ia tokoh pergerakan, anggota Volksraad, bahkan sempat menjabat Menteri Negara pada awal Republik Indonesia. Julukan “Si Jalak Harupat” menempel erat pada dirinya: keras kepala, berani, tak gampang mundur. Memberi nama stadion dengan julukan itu adalah cara Kabupaten Bandung menautkan olahraga dengan sejarah politik lokal.

Setiap kali Bobotoh menyanyikan chant di Jalak Harupat, gema itu seakan menyambung ke semangat Oto Iskandardinata. Stadion ini bukan hanya arena bola, tapi juga ruang ingatan kolektif, tempat nama pahlawan dikenang di luar buku sejarah sekolah.

Kini, kapasitas stadion tercatat sekitar 27.000 penonton. Ukuran ini pas: tidak terlalu besar sehingga terasa kosong, tapi juga cukup luas untuk menampung euforia Bobotoh. Bagi Persib, Jalak Harupat jadi rumah penting di masa ketika stadion-stadion kota belum selalu bisa digunakan. Bagi Persikab, ia tetap kandang kebanggaan. Bagi warga Kabupaten Bandung, ia simbol daerah yang tak mau kalah bersaing dengan tetangga.

Sejak dibuka 2005 hingga kini, Si Jalak Harupat sudah melampaui fungsinya sebagai stadion kabupaten. Dari tribun itu, suporter menjerit kegembiraan atau mengeluh patah hati. Dari lapangan itu, pemain lokal dan asing bergantian menendang bola, mencetak gol, atau membuat blunder memalukan. Dari stadion itu pula, Kabupaten Bandung dikenal lebih luas—bukan hanya lewat sate maranggi atau objek wisata, tapi juga lewat sepak bola.

Stadion Si Jalak Harupat adalah rumah bersama: untuk Persikab, untuk Persib, untuk Bobotoh, dan untuk masyarakat yang menjadikannya bagian dari keseharian. Ia berdiri di tengah Soreang, bukan sekadar bangunan beton, melainkan saksi hidup bagaimana olahraga, ekonomi, dan sejarah bisa bertemu dalam satu arena.

Tags:
PersikabPersibSejarah BandungSejarahSoreangStadion Si Jalak Harupat

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor