AYOBANDUNG.ID - Bandung adalah kota sepak bola. Persib ibarat agama kedua, dan bobotoh adalah jemaat fanatiknya. Maka ketika Wali Kota Dada Rosada menjanjikan stadion megah bertaraf internasional dalam kampanye Pilkada 2008, janji itu terdengar bak wahyu. Hasilnya, berdirilah Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) di Gedebage.
Stadion ini punya kapasitas sekitar 38–40 ribu penonton, lengkap dengan tribun beratap, mushola, ratusan toilet, sampai ruang VVIP berkaca antipeluru. Bahkan rumputnya pun pakai jenis Zoysia Matrella Merr, rumput yang katanya bisa bikin bola meluncur mulus.
Di atas kertas, stadion ini memang layak disebut salah satu yang terbaik di Indonesia. Tapi di balik megahnya, sejarah GBLA penuh liku, polemik, bahkan drama politik yang tak ada habisnya. Kalau sejarah GBLA dijadikan serial, tayangannya akan mirip Ikatan Cinta: panjang, penuh air mata, dan kadang bikin orang heran kenapa masih lanjut.
Sebelum namanya resmi jadi Gelora Bandung Lautan Api, stadion ini sempat nyaris memakai nama yang lebih personal: Gelora Dada Rosada. Usulan itu muncul dari kelompok Insan Sepak Bola Bandung, dipimpin Asep Setiadji, yang merasa wajar jika stadion dinamai sesuai tokoh yang memprakarsainya.
Baca Juga: Sejarah Hari Jadi Kota Bandung, Kenapa 25 September?
DPRD Kota Bandung bahkan sempat menerima ide tersebut, memasukkannya sebagai salah satu dari tiga opsi resmi: Gelora Bandung Lautan Api, Gelora Gedebage Kota Bandung, dan Gelora Rosada.
Secara logika politik, masuk akal. Dada Rosada adalah wali kota dua periode (2003–2013) sekaligus mantan Ketua Umum Persib Bandung (2003–2008). Stadion ini adalah anak kandungnya. Tapi publik punya logika lain. Banyak warga menilai menamai stadion dengan nama pejabat masih aktif itu mirip narsis tingkat dewa. Bobotoh pun protes, karena stadion seharusnya jadi simbol kebanggaan bersama, bukan monumen pribadi.
Situasi makin runyam setelah Dada terseret kasus korupsi lain. Nama Rosada langsung terasa makin tak pantas. Untuk menghindari perang opini, DPRD bersama Dispora lalu bikin polling SMS pada Maret 2013. Hasilnya telak: Gelora Bandung Lautan Api menang dengan 83,3% suara, Gelora Gedebage Kota Bandung 11,7%, sementara Gelora Rosada cuma 5%. Pada 28 Maret 2013, nama GBLA resmi dipakai. Ironisnya, nama Rosada kini cuma jadi catatan kaki dalam sejarah stadion.
Rujukan nama Lautan Api sendiri punya makna heroik. Merujuk pada peristiwa 24 Maret 1946, ketika warga Bandung membakar kotanya agar tak jatuh ke tangan Belanda. Dengan nama itu, stadion punya aura patriotik, bukan aura narsistik.
Diwarnai Korupsi sampai Tragedi
Upaya membangun stadion ini ibarat menyusun puzzle di atas tanah rawa. Lokasinya berdiri di cekungan Danau Purba Bandung, dengan tanah lempung lunak setebal 30 meter yang rawan ambles. Jadi, tak cukup cuma ngecor beton. Butuh teknologi mahal seperti Prefabricated Vertical Drain (PVD) dan geotextile. Biaya pun melambung.
Baca Juga: Senjakala Sepeda Boseh Bandung: Ramai Saat Weekend, Sepi Saat Weekday
Pada awalnya, anggaran pembangunan tahun 2009 hanya Rp278 miliar. Tapi seperti kebiasaan proyek negeri ini, angka itu pelan-pelan membengkak hingga Rp545 miliar. PT Adhi Karya ditunjuk jadi kontraktor utama. Target rampung 2012, tapi yang terjadi justru molor. Peresmian baru dilakukan 10 Mei 2013, dengan seremoni yang dihadiri Gubernur Ahmad Heryawan.
Sayangnya, masalah tak berhenti di situ. Tahun 2015, proyek GBLA masuk radar Bareskrim. Audit BPK menemukan indikasi kerugian negara Rp103 miliar. Dugaan mark-up, spesifikasi tak sesuai, dan penyalahgunaan wewenang jadi bahan penyelidikan. Mantan pejabat teknis pembangunan, Yayat Ahmad Sudrajat, divonis 5,5 tahun penjara pada 2018.
Selain kasus hukum, stadion ini juga cepat rusak. Dinding retak, tribun bermasalah, bahkan lapangan sempat ambles. Untuk PON XIX tahun 2016, stadion buru-buru direnovasi. Tapi setelah itu, GBLA kembali terbengkalai. Aset pun sempat tidak jelas statusnya karena serah terima dengan kontraktor mangkrak di tengah jalan.

Tragedi terbesar datang pada 23 September 2018. Dalam laga Persib vs Persija, seorang suporter Persija, Haringga Sirla, tewas dikeroyok bobotoh di sekitar stadion. Peristiwa ini bikin GBLA tercoreng parah. Publik mempertanyakan keamanan stadion, sementara Persib pun lebih sering hijrah ke Stadion Si Jalak Harupat untuk menghindari masalah.
Baca Juga: Hikayat Sunda Empire, Kekaisaran Pewaris Tahta Julius Caesar dari Kota Kembang
Tak hanya itu, meski Indonesia ditunjuk jadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023, GBLA tak terpilih sebagai venue. Alasannya klasik: akses jalan belum lengkap, perawatan mahal, dan kualitas bangunan dipertanyakan. Ironi bagi stadion yang dulu dibanggakan setengah mati.
Walau sejarahnya penuh drama, GBLA tetap jadi ikon. Persib Bandung akhirnya kembali menggunakannya sebagai kandang pada musim 2022. Stadion ini memang punya aura yang sulit ditandingi, apalagi bagi bobotoh.
Pada Juli 2024, pengelolaan GBLA resmi diserahkan ke PT Persib Bandung Bermartabat (PBB) lewat perjanjian 30 tahun dengan Pemkot Bandung.