AYOBANDUNG.ID - Tanggal 20 April 1641 tercatat sebagai hari lahir Kabupaten Bandung. Catatan itu muncul lewat Piagam Sultan Agung, raja besar Mataram yang saat itu tengah menata ulang wilayah Priangan. Di balik tanggal tersebut, ada kisah pemberontakan, pengkhianatan, hingga urusan siapa yang berhak memimpin Tatar Ukur, daerah subur yang kelak jadi jantung Priangan.
Pemicunya adalah pemberontakan Dipati Ukur. Tokoh ini tadinya orang kepercayaan Mataram, diberi tugas memimpin pasukan ke Batavia untuk menggempur VOC. Namun, entah karena hitung-hitungan politik atau urusan gengsi, Dipati Ukur berbalik arah, lalu melawan Mataram. Sultan Agung yang terkenal dengan disiplin keras tak mau tinggal diam. Pemberontakan Dipati Ukur berhasil dipadamkan, meski menyisakan ketidakpercayaan raja terhadap sistem pemerintahan lama di Priangan.
Untuk mencegah hal serupa terulang, Sultan Agung mengambil keputusan drastis. Ia memecah wilayah Priangan menjadi tiga kabupaten baru: Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang, dan Kabupaten Sukapura. Inilah cara raja Mataram mengendalikan Priangan, sekaligus memastikan tidak ada satu pemimpin lokal yang bisa terlalu berkuasa.
Piagam Sultan Agung tanggal 9 Muharram tahun Alif atau 20 April 1641 bukan sekadar simbol. Dari piagam itu, lahirlah bupati pertama Kabupaten Bandung: Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti yang kemudian digelari Tumenggung Wiraangunangun. Ia memimpin selama empat dekade, dari 1641 hingga 1681, sebuah masa jabatan yang panjang bahkan menurut standar modern.
Baca Juga: Jejak Kehidupan Prasejarah di Gua Pawon Karst Citatah Bandung Barat
Sebagai bupati baru, Tumenggung Wiraangunangun mesti menentukan pusat pemerintahan. Pilihannya jatuh pada Karapyak, wilayah yang kini lebih dikenal sebagai Dayeuhkolot. Alasannya sederhana, tapi masuk akal pada masanya: dekat Sungai Citarum, sungai besar yang menjadi jalur transportasi vital di Priangan. Dengan begitu, urusan logistik, perdagangan, dan komunikasi bisa lancar.
Karapyak kemudian dikenal sebagai Bumi Tatar Uur Gede. Dari sana, kendali pemerintahan dijalankan. Luas wilayah Kabupaten Bandung pada masa awal juga tidak main-main. Catatan sejarah menyebut daerah kekuasaannya meliputi Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung, Kuripan, Sagaraherang, hingga Tanahmedang. Kalau hari ini orang Bandung suka bilang “jauh-jauh masih Kabupaten Bandung,” mungkin ada benarnya, sebab sejak dulu wilayah ini sudah sangat luas.
Seiring waktu, kekuasaan Mataram di Priangan mulai melemah. Pada akhir 1677, Kabupaten Bandung resmi terlepas dari cengkeraman Mataram. Saat itulah giliran Belanda masuk, lewat bendera VOC, untuk menguasai wilayah ini. Bandung pun tak bisa lepas dari arus kolonialisme yang sedang menggulung Nusantara.
Selama di bawah pengaruh VOC, kursi bupati silih berganti diisi oleh tokoh-tokoh yang masih berhubungan darah dengan pendahulunya. Setelah Tumenggung Wiraangunangun wafat, tampuk kepemimpinan jatuh ke Tumenggung Ardikusumah (1681–1704). Lalu diteruskan oleh anaknya, R. Ardisuta, yang bergelar Tumenggung Anggadireja I (1704–1747). Nama ini juga dikenal dengan sebutan Dalem Gordah.
Baca Juga: Sejarah Gelap KAA Bandung, Konspirasi CIA Bunuh Zhou Enlai via Bom Kashmir Princess
Berlanjut kemudian ke Demang Hatapradja yang bergelar Tumenggung Anggadireja II (1747–1763). Setelah itu, kepemimpinan diambil alih R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763–1794). Dari generasi ke generasi, jabatan bupati tampak seperti urusan keluarga besar, sebuah dinasti kecil di tengah kepungan kekuatan kolonial.

Perpindahan Ibu Kota
Perubahan besar datang pada masa R.A. Wiranatakusumah II (1794–1829). Ia dikenal sebagai bupati yang mengambil keputusan paling menentukan dalam sejarah Kabupaten Bandung: memindahkan ibu kota dari Karapyak ke tepi Sungai Cikapundung.
Terdapat dua alasan utama di balik keputusan ini. Pertama, Karapyak dianggap sudah tidak layak lagi sebagai pusat pemerintahan. Lokasinya rawan banjir, jalurnya pun makin sulit dijangkau. Kedua, pemindahan ini sejalan dengan proyek ambisius Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang sedang membangun Jalan Raya Pos atau Grote Postweg. Jalan sepanjang Anyer–Panarukan itu menjadi jalur vital militer dan perdagangan.
Baca Juga: Hikayat Ledakan Bom ATM Dipatiukur Bandung 2011, Kado Pahit Ultah Polisi
Supaya tidak tersisih dari percaturan jalur besar itu, pusat Kabupaten Bandung dipindahkan ke tempat yang lebih strategis. Lokasi pilihan jatuh di sekitar alun-alun yang kini menjadi jantung Kota Bandung. Dari sinilah perkembangan Bandung sebagai kota bermula, dengan alun-alun sebagai pusat pemerintahan sekaligus titik temu ekonomi.
Kabupaten Bandung yang terbentuk dari keputusan Sultan Agung dan diperkuat oleh para bupati penerusnya bukan sekadar nama wilayah administratif. Sejak awal, ia memegang peran penting sebagai simpul ekonomi Priangan. Sungai Citarum menjadi jalur distribusi, sawah dan ladang di dataran subur menjadi lumbung pangan, sementara letaknya yang strategis membuatnya jadi rebutan kekuasaan, baik Mataram maupun Belanda.
Dari generasi ke generasi, bupati-bupati Bandung memainkan peran menjaga agar wilayah tetap terkendali. Sebagian besar adalah tokoh lokal, yang meski tunduk pada VOC, tetap berusaha mempertahankan identitas daerahnya. Perpindahan ibu kota ke Cikapundung menjadi tonggak penting, sebab dari situlah lahir wajah baru Bandung yang kini dikenal.