AYOBANDUNG.ID - Bandung hari ini dikenal sebagai kota kreatif, kota fesyen, kota kuliner, kota musik, bahkan kota macet. Namun jauh sebelum segala label itu menempel, Bandung sudah punya julukan klasik yang begitu mentereng: “Parijs van Java”. Kedengarannya glamor, romantis, dan tentu saja Eropa sekali. Tapi, siapa sangka, julukan ini berawal bukan dari pujian, melainkan… sindiran.
Sejarawan lokal Bandung, Haryoto Kunto, dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, menuturkan kisah paling populer soal lahirnya istilah ini. Konon, seorang pedagang Yahudi-Belanda bernama Roth—pemilik toko mebel besar di Bragaweg—punya ide cemerlang di tahun 1920. Dalam sebuah pameran dagang kota, Jaarbeurs, Roth meluncurkan gimmick iklan dengan menyebut Bandung sebagai Parijs van Java.
Tujuannya sederhana: biar orang-orang terpesona, mampir, lalu belanja. Siapa sangka, istilah yang awalnya hanya trik marketing itu justru melekat abadi. Bandung akhirnya dikenal bukan sekadar kota pegunungan yang sejuk, tapi juga kota gaya, kota pamer, kota yang katanya mirip Paris di Pulau Jawa.
Tapi, ada versi lain yang lebih getir. Menurut Nandang Rusnandar dalam Sejarah Kota Bandung dari “Bergdessa” Menjadi Bandung “Heurin Ku Tangtung”, istilah itu sebenarnya pernah keluar dari mulut arsitek kondang Belanda, Hendrik Berlage, pada 1928.
Saat Congres Internationaux d’Architecture Moderne (CIAM) di Swiss, Berlage konon nyeletuk soal Bandung yang bangunannya terlalu kebarat-baratan. “Ah, ini mah Parijs van Java,” katanya, dengan nada menyindir. Maksudnya jelas: arsitektur Bandung saat itu sibuk meniru Eropa, lupa pada identitas tropisnya.
Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels
Sindiran itu, alih-alih bikin malu, justru jadi branding gratis. Mungkin orang-orang Belanda di Bandung kala itu tersenyum kecut: “Ya sudahlah, kalau mirip Paris, kenapa tidak kita pakai sekalian?” Sejak saat itu, Parijs van Java pun makin populer, bahkan dipakai pemerintah kolonial untuk jualan citra kota.
Julukan ini tak bisa dilepaskan dari peran Jalan Braga. Jalan yang awalnya cuma jalur pedati itu, pada awal abad ke-20 menjelma jadi pusat gaya hidup kolonial. Di sini berdiri toko-toko mewah, kafe, bioskop, sampai bank.
Terdapat Maison Bogerijen, restoran legendaris tempat gubernur jenderal Hindia-Belanda bersantap. Ada pula Au Bon Marché Modemagazijn, butik yang rajin mendatangkan mode terbaru dari Paris, lengkap dengan slogan berbunyi manis: wij brengen steeds de laatste mode (kami selalu menyajikan mode terbaru). Kalau hari ini orang Bandung belanja baju di factory outlet, dulu para nyonya Belanda pamer gaun Eropa di Braga.
Tak ketinggalan, deretan gedung bergaya art deco: Hotel Preanger, Savoy Homann, hingga Javasche Bank (sekarang BI). Kawasan Braga menjadi semacam catwalk kolonial, di mana orang kulit putih bisa pamer status sosial sekaligus belanja barang import.
Kenapa Bandung bisa jadi pusat segala kemewahan itu? Jawabannya ada di perkebunan. Dalam risalah yang terbit di Paradigma: Jurnal Kajian Budaya tahun 2020 berjudul “Melacak Akar Kreativitas di Kota Bandung Masa Kolonial”, peneliti sejarah Achmad Sunjayadi menjelaskan bahwa sejak akhir abad ke-19, Bandung sudah jadi rumah bagi para Preangerplanters—pengusaha perkebunan teh, kina, dan karet.
Baca Juga: Sejarah Bandung dari Kinderkerkhof sampai Parijs van Java
Undang-Undang Agraria 1870 memberi izin swasta Belanda membuka lahan di Hindia-Belanda. Bandung, dengan udara sejuk dan tanah subur, jadi ladang emas. Nama-nama seperti Bosscha, Kerkhoven, hingga Van der Hucht menetap di dataran tinggi Priangan. Uang berlimpah dari perkebunan mengalir ke kota, lalu diwujudkan dalam hotel, restoran, dan gedung-gedung gaya Eropa.
Tak heran bila pada 1920, Pemerintah Gemeente Bandoeng dengan percaya diri punya semboyan: Bandoeng is het paradijs der aardche schoonen. Daarom is het goed daar to wonen. Artinya, “Bandung adalah sorga permai di atas dunia. Maka baiklah tinggal di sana.” Kalau diiklanin zaman sekarang mungkin bunyinya: “Bandung, surganya healing.”
Julukan Parijs van Java ini punya dinamika. Pada masa kolonial, sebutan ini memang multitafsir: sindiran dari Berlage di satu sisi, tapi juga promosi wisata dan dagang di sisi lain. Lama-lama, ia berubah jadi semacam branding resmi. Kota Bandung dipoles habis-habisan agar mirip Eropa: jalan-jalan lurus, taman rapi, gedung art deco, dan fesyen ala Paris.

Setelah kemerdekaan, julukan itu tetap bertahan. Meski suasana Braga tak semewah dulu, Bandung tetap dipandang sebagai kota gaya. Pada 1950-an, Presiden Soekarno bahkan rajin nongkrong di Savoy Homann dan Hotel Preanger. Bandung jadi kota kongres, kota musik, hingga kota mode. Identitas “Paris van Java” terus diwarisi, meski konteksnya berubah.
Tak semua orang sepakat dengan istilah ini. Ada sejarawan yang mengkritik penulisan Paris van Java alih-alih Parijs, sesuai ejaan Belanda. Ada juga yang bilang: buat apa repot-repot menempelkan nama Paris? Kenapa tidak bangga dengan identitas Sunda saja?
Baca Juga: Julukan Parijs van Java Bandung Diprotes Sejak Zaman Baheula
Tapi begitulah branding: sekali melekat, sulit dicopot. Paris memang terdengar lebih menjual ketimbang, katakanlah, “Cimahi van Java” atau “Purwakarta van Java.” Pada akhirnya, sebutan ini lebih banyak dipakai sebagai strategi promosi wisata ketimbang klaim budaya.
Saa memasuki era modern, Bandung kembali memperkuat citra “Paris van Java” lewat industri fesyen. Pada 1990-an, kota ini dikenal dengan factory outlet dan distro yang menyasar kalangan muda. Fenomena ini seolah menghidupkan kembali tradisi lama Bandug sebagai pusat mode.
Bandung kini juga bukan sekadar Paris tiruan. Ia juga kota musik, kota kreatif, bahkan kota teknologi. Tapi warisan kolonial tetap jadi daya tarik, terutama bagi wisatawan yang ingin bernostalgia di Braga sambil berfoto di depan gedung art deco.
Julukan Parijs van Java menjadi klasik bagaimana identitas kota bisa berubah makna. Apa yang awalnya hanya sindiran atau trik dagang, justru menjelma jadi kebanggaan. Paris mungkin jauh di Eropa, tapi di Jawa, Bandung berhasil menciptakan versinya sendiri—dengan gunung, cuaca sejuk, gedung art deco, dan jalan Braga yang masih jadi catwalk sampai hari ini.