Tribun Pacuan Kuda Tegallega Bandung tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)

Ayo Jelajah

Sejarah Pacuan Kuda Tegallega Bandung, Panggung Ratu Wilhelmina yang Jadi Sarang Judi dan Selingkuh Tuan Eropa

Selasa 14 Okt 2025, 10:53 WIB

AYOBANDUNG.ID - Bayangkan suasana Bandung pada awal abad ke-20. Udara masih jernih, kabut tipis menggantung di kaki Gunung Tangkubanparahu, dan aroma tanah basah menguar dari selokan kecil di pinggir jalan. Di tengah kota yang kala itu baru berusia belasan tahun, para tuan tanah Belanda bersiap menuju pesta besar di lapangan luas di selatan kota: Tegallega Raceterrein. Hari itu bukan sembarang hari Minggu. Itu adalah hari pacuan kuda,hari ketika kaum Eropa memamerkan kekayaan, menyalakan gairah judi, dan menjerumuskan diri ke dalam skandal rumah tangga yang kelak memenuhi bisik-bisik di ruang teh sore hari.

Lapangan Tegallega pada masa itu masih seperti namanya: tegal yang lega, tanah lapang berbentuk persegi, diapit oleh empat jalan besar yang kini kita kenal sebagai Jalan Moh. Toha, Jalan Otto Iskandardinata, Jalan Ciateul, dan Jalan BKR. Di sanalah berlangsung pesta yang disebut Preanger Wedloop Societet, sebuah perhelatan pacuan kuda yang diselenggarakan kaum planters atau para juragan perkebunan teh dan kopi di Priangan.

Her Suganda dalam bukunya Kisah Para Preanger Planters, keluarga EJ Kerkhoven dari Perkebunan Teh Sinagar dikenal sebagai salah satu pemilik kuda pacu terbaik di Priangan. Puluhan ekor kuda mereka sering kali menjuarai perlombaan, menjadikan nama Kerkhoven harum di kalangan elite kolonial. Bagi kaum planters seperti mereka, kemenangan bukan soal kecepatan kuda, melainkan soal gengsi dan reputasi.

Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels

Pacuan kuda di Tegallega berlangsung megah. Balapan itu selalu diadakan bertepatan dengan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus, juga hari lahir Ratu Emma, sang ibu suri, setiap 2 Agustus. Maka tak heran bila warga menyebutnya sebagai Pesta Raja: pesta bagi para penguasa dan tuan tanah yang berkuasa di tanah jajahan.

Tiga hari lamanya pesta berlangsung. Para tamu datang dari segala penjuru Priangan: dari Buitenzorg (Bogor), Sukabumi, hingga Batavia. Jalanan Bandung bagian selatan dipenuhi deretan kereta kuda yang menderap menuju lapangan pacu. Di sepanjang jalan dipasang umbul-umbul, musik tiup mengiringi parade kuda yang dipamerkan lebih dulu di Alun-Alun Bandung. Momen ini jadi ajang hiburan langka bagi warga pribumi yang hanya bisa menonton dari jauh.

Hotel Savoy Homann dan Grand Preanger, dua hotel termewah di kota, mendadak penuh oleh para planters dan istri-istri mereka yang berdandan seperti bangsawan Den Haag. Bandung yang biasanya tenang berubah menjadi kota festival kecil: ada jamuan, arak, dansa, dan tentu saja judi.

Judi, Selingkuh, dan Kekacauan Rumah Tangga

Tak ada pesta yang lebih ramai daripada Preanger Wedloop Societet. Tapi di balik gemerlapnya, tersimpan sisi kelam yang membuatnya begitu legendaris di kalangan kolonial. Sejarawan Haryoto Kunto menulis bahwa setelah tiap kali pacuan usai, banyak keluarga Eropa di Bandung justru porak-poranda. Uang habis di meja taruhan, istri marah karena perhiasan yang dijanjikan tak kunjung terbeli, dan gosip perselingkuhan menjadi santapan sore di ruang teh.

Para Tuan Eropa di Pacuan Kuda Tegllega tahun 1911-an. (Sumber: KITLV)

Baca Juga: Jejak Peninggalan Sejarah Freemason di Bandung, dari Kampus ITB hingga Loji Sint Jan

Pacuan kuda bukan cuma ajang olahraga. Ia adalah gelanggang sosial tempat para pria Eropa berjudi di tribun, meneguk gin, dan sesekali melirik istri orang lain di antara tawa musik dan debu yang beterbangan. Para perempuan datang dengan gaun satin panjang dan topi besar berhiaskan bulu. Mereka tahu, semua mata sedang memandang bukan hanya pada kuda, tapi juga pada mereka.

Di sinilah Tegallega berubah menjadi panggung sosial Eropa di tanah jajahan. Bagi kaum planters yang hidup jauh dari pusat kekuasaan kolonial di Batavia, acara pacuan kuda semacam ini adalah cara untuk menegaskan status. Kuda terbaik berarti kehormatan, kemenangan berarti gengsi. Dan gengsi, bagi kaum planters, adalah mata uang sosial yang nilainya melebihi hasil panen teh atau kina.

Tapi, semakin besar gengsi yang dipertaruhkan, semakin besar pula taruhannya. Judi menjadi urat nadi pesta. Di sela teriakan penonton yang memacu kuda di lintasan, uang bergulir cepat dari satu tangan ke tangan lain. Ada yang menang besar, ada pula yang jatuh miskin seketika. Tegallega, yang semula hanya lapangan luas di pinggir kota, menjadi saksi bisu dari sisi gelap kehidupan sosial kaum penjajah.

Ketika abad ke-20 datang dan Hindia Belanda mulai goyah, pesta-pesta kaum planter perlahan kehilangan pamor. Kekuasaan ekonomi berpindah, koloni berubah arah, dan kuda-kuda ras itu kehilangan penontonnya.

Gelanggang pacuan di Tegallega Raceterrein akhirnya ditinggalkan. Setelah Indonesia merdeka, tribun kayu dibongkar, pagar lintasan lenyap, dan tanah luas itu menjadi lapangan rakyat. Di tempat yang dulu berdiri para tuan Belanda dengan topi tinggi dan cerutu di tangan, kini anak-anak kecil berlari mengejar bola plastik.

Baca Juga: Jejak Sejarah Kelahiran Partai Fasis Indonesia di Bandung, Supremasi ala Pribumi yang Bikin Heboh Wangsa Kolonial

Tak ada lagi sorak penonton, tak ada lagi taruhan. Hanya ada suara pedagang cilok dan musik senam yang menggantikan gemuruh kuda masa lalu. Yang tersisa hanya nama, dan ingatan samar tentang masa ketika Tegallega bukan sekadar taman kota, melainkan panggung besar bagi para penguasa Eropa yang berpesta di atas tanah jajahan.

Pacuan kuda itu sudah lama lenyap, ditelan waktu dan sejarah. Tapi jejaknya masih terasa dalam cerita lama, dalam arsip kolonial, dan dalam bisik-bisik yang tak pernah benar-benar padam tentang pesta, judi, dan cinta terlarang di tengah ladang teh dan kabut Priangan.

Tags:
TegallegaSejarah Bandung

Redaksi

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor