Bangunan Sanatorium Pacet Cianjur. (Sumber: KITLV)

Ayo Jelajah

Sejarah Sanatorium Pacet Cianjur, Pusat Pengobatan TBC Pertama di Priangan

Kamis 16 Okt 2025, 11:47 WIB

AYOBANDUNG.ID - Di lereng selatan pegunungan Priangan, sekitar dua puluh kilometer dari Cianjur, pernah berdiri sebuah kompleks bangunan putih dengan jendela-jendela besar yang selalu terbuka ke arah lembah. Udara di sana dingin dan kering. Burung-burung kecil berkejaran di antara cemara, sementara kabut turun setiap sore, menutup separuh atap dengan selimut tipis. Di tempat itulah, sejak 6 September 1919, pemerintah kolonial Belanda meresmikan Sanatorium Pacet, lembaga perawatan khusus untuk penderita tuberkulosis (TBC), penyakit menular paling mematikan di dunia kala itu.

Dalam ejaan lama ia disebut Sanatorium Patjet, dan oleh banyak kalangan dianggap sebagai sanatorium pertama di Hindia Belanda yang terbuka bagi semua bangsa dan golongan. Di masa ketika kolonialisme membelah masyarakat secara tajam, konsep “untuk semua” terdengar seperti kemewahan yang tidak biasa. Tetapi bagi dokter-dokter Eropa yang baru memahami cara TBC menyebar, wabah itu tidak mengenal warna kulit. Baik pegawai Eropa, Indo, maupun bumiputra, semuanya bisa terjangkit.

Sanatorium Pacet menjadi hasil kerja panjang dari Central Vereeniging tot Bestrijding der Tuberculose in Nederlandsch-Indië (CVT) atau Perhimpunan Pusat untuk Pemberantasan Tuberkulosis di Hindia Belanda yang berdiri sejak 1908. Kala itu, TBC bukan sekadar urusan medis; ia adalah krisis sosial. Penyakit ini menyebar di kota-kota yang mulai padat, di barak-barak pekerja perkebunan, hingga ke rumah-rumah elite yang tak luput dari ancaman infeksi.

Baca Juga: Jejak Sejarah Cimahi jadi Pusat Tentara Hindia Belanda Sejak 1896

Pemilihan Pacet bukan kebetulan. Udara di dataran tinggi Cianjur bagian selatan dikenal bersih dan kering. Bagi dunia medis pada awal abad ke-20, iklim pegunungan dianggap penawar terbaik bagi penderita penyakit paru. Tanpa antibiotik, terapi bergantung pada udara segar, makanan bergizi, dan istirahat panjang. Karena itu, sanatorium dibangun bukan seperti rumah sakit, melainkan seperti tempat beristirahat permanen di udara terbuka.

Bangunan Sanatorium Pacet dirancang sederhana namun lapang. Setiap paviliun memiliki beranda luas dengan kursi berjemur. Pasien menghabiskan sebagian besar hari mereka di sana—membaca, tidur, atau hanya menatap pepohonan di kejauhan. Ruangan dibiarkan terbuka, cahaya matahari dibiarkan masuk sebanyak mungkin, sementara ventilasi didesain untuk memperlancar sirkulasi udara.

Pada masa itu, para dokter percaya bahwa “udara adalah obat”. Prinsip open-air treatment menjadi dasar perawatan. Pasien TBC yang masih kuat diminta berjalan perlahan di pagi hari dan beristirahat panjang di siang hari. Mereka yang sudah lemah dibiarkan berbaring di tempat tidur di luar ruangan dengan selimut tebal, menantang udara gunung yang dingin.

Kehidupan di sanatorium diatur dengan disiplin: makan di jam yang sama, tidur di jam yang sama, berjemur di jam tertentu. Tidak ada obat yang benar-benar menyembuhkan. Yang dilakukan hanyalah menjaga tubuh agar tetap kuat melawan bakteri. Beberapa pasien bertahan dan pulih perlahan, tapi banyak juga yang meninggal di tempat itu.

Sanatorium Pacet menjadi pelopor model perawatan TBC di Hindia Belanda. Dalam waktu dua dekade setelah berdirinya, muncul beberapa sanatorium lain di Jawa Barat seperti Ngamplang di Garut (1926) dan Cisarua di Bogor (1930), yang seluruhnya meniru pola Pacet. Dari sinilah konsep perawatan paru berbasis iklim menyebar ke berbagai wilayah.

Sejumlah pasien berjemur di Sanatorium Pacet. (Sumber: KITLV)

Baca Juga: Sejarah Gelap KAA Bandung, Konspirasi CIA Bunuh Zhou Enlai via Bom Kashmir Princess

Perkembangan Sanatorium Pacet berjalan seiring dengan meningkatnya kesadaran akan bahaya TBC. Dalam laporan De Locomotief tanggal 2 Juni 1933, disebutkan bahwa lembaga ini mendapat izin kerajaan untuk diubah menjadi Paviliun Emma, mengambil nama Ratu Ibu Emma dari Belanda, pelindung kegiatan amal pemberantasan TBC di negeri induk. Nama baru itu bukan sekadar penghormatan, melainkan penegasan bahwa lembaga di pegunungan Priangan itu kini menjadi bagian dari jaringan internasional melawan penyakit paru.

Pada periode itu, Dinas Kesehatan Umum Hindia Belanda mulai mencatat meningkatnya kasus TBC secara sistematis. Data dari akhir 1920-an menunjukkan penyakit ini telah menjadi penyebab utama kematian di banyak kota besar Jawa. Di Semarang, misalnya, tahun 1927 tercatat 509 kematian akibat TBC, atau hampir 10% dari total kematian tahunan. Angka itu tidak banyak berubah hingga 1929, berkisar di 26 kasus per 10.000 penduduk.

TBC juga menggerogoti kalangan pegawai negeri yang dalam catatan kolonial sering dianggap kelompok paling sehat. Dari 230 ribu pegawai sipil di Jawa Tengah, enam dari seribu orang terinfeksi setiap tahun, dan seperempat kematian di rumah sakit disebabkan oleh TBC. Anak-anak pun tak luput. Di Batavia tahun 1939, sekitar 2,4% kematian anak usia 0–4 tahun disebabkan penyakit ini.

Kondisi itu menggambarkan kenyataan pahit: Hindia Belanda hidup dalam bayang-bayang epidemi TBC. Penyakit yang berasal dari Eropa itu menumpang pada urbanisasi cepat, pemukiman padat, dan sistem sanitasi buruk di kota-kota kolonial.

Baca Juga: Sejarah Gempa Besar Cianjur 1879 yang Guncang Kota Kolonial

Sanatorium Pacet kemudian menjadi pusat rujukan di wilayah barat Jawa. Pasien datang dari Bandung, Sukabumi, hingga Batavia. Di dalam kompleks itu, perawatan dijalankan dengan metode modern, mengombinasikan istirahat total dengan pengawasan medis ketat. Di ruang perawatan, terdapat suster-suster Eropa yang dikenal gigih dan berani, karena bekerja di lingkungan yang penuh risiko tertular.

Pada akhir 1930-an, jaringan lembaga serupa semakin luas. Data 1939 mencatat terdapat 15 sanatorium TBC di seluruh Hindia Belanda dan 20 consultatiebureau, semacam klinik konsultasi untuk penyuluhan dan pemeriksaan. Dari total 17 sanatorium pada 1940, lima dikelola pemerintah dengan 254 tempat tidur, sementara 12 lainnya milik organisasi swasta yang sebagian besar mendapat subsidi negara. Tujuh di antaranya menampung hingga 760 pasien secara bersamaan.

Di Jawa Barat, Pacet tetap menjadi rujukan penting. Udara sejuknya membuat banyak dokter kolonial merekomendasikan pasien beristirahat di sana. Setelah Pacet, pemerintah membangun Sanatorium Ciloto di kawasan Cianjur bagian atas, yang kemudian menjadi tempat perawatan penyakit paru paling terkenal di masa pasca-kemerdekaan.

Laporan dinas kesehatan kolonial tahun 1937 menunjukkan bahwa di Jawa bagian barat, tuberkulosis telah menjadi endemik. Penelitian di sekolah-sekolah menunjukkan antara 24 hingga 76% anak memiliki reaksi Mantoux positif, tanda bahwa mereka pernah terpapar bakteri TBC. Di Bandung, Semarang, dan Cirebon, angka-angka serupa menunjukkan penyebaran yang masif. Bahkan di kalangan pegawai negeri pribumi, 22% cuti sakit disebabkan oleh TBC.

Pada periode yang sama, peralatan sinar-X mulai digunakan untuk diagnosis, tanda bahwa teknologi kedokteran modern mulai masuk ke koloni. Namun, semua upaya itu belum mampu menahan laju wabah. Sampai menjelang Perang Dunia II, TBC tetap menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di Hindia Belanda.

Baru setelah Perang Dunia II berakhir, dunia medis menemukan harapan baru. Pada 1921, dua ilmuwan Prancis, Albert Calmette dan Camille Guérin, berhasil menciptakan vaksin BCG (Bacillus Calmette–Guérin). Meski efektivitasnya sempat diperdebatkan, vaksin ini kemudian diadopsi secara luas oleh WHO dan UNICEF setelah 1945 melalui program vaksinasi massal. Di Indonesia, vaksin BCG baru benar-benar dikenal luas setelah kemerdekaan, ketika pemerintah mulai mengintegrasikannya dalam program kesehatan nasional.

Sanatorium Pacet sendiri menempati posisi penting dalam sejarah kesehatan Indonesia. Ia bukan sekadar rumah sakit kolonial, tetapi cikal bakal lembaga perawatan paru di Nusantara. Dari kompleks sederhana di kaki gunung itu, berkembang sistem sanatorium yang melahirkan generasi dokter dan perawat spesialis penyakit paru di masa berikutnya.

Di masa kini, banyak yang tak tahu bahwa perjuangan panjang melawan TBC di Indonesia pernah berawal dari sana. Dari sebuah tempat sunyi di Pacet, Cianjur, di mana udara pegunungan pernah dijadikan obat utama bagi mereka yang berjuang bernapas di bawah bayang-bayang penyakit mematikan.

Tags:
Sanatorium PacetCianjurSejarahTBC

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor