AYOBANDUNG.ID - Orang Bandung menyebutnya “Preanger” dengan nada akrab, seolah bangunan tua itu adalah kerabat jauh yang sudah lama tinggal di kota. Di balik temboknya yang tebal dan jendela kayu yang tua, tersimpan jejak zaman ketika kaum kolonial Belanda mencari kenyamanan di dataran tinggi Priangan. Dari herberg sederhana hingga hotel megah yang jadi ikon Asia-Afrika, perjalanan panjang Grand Hotel Preanger adalah kisah tentang bagaimana sebuah kota menua, tapi enggan mati.
Segalanya bermula di akhir abad ke-19, di tepi Grote Postweg, jalan besar yang dibangun Daendels dari Anyer ke Panarukan. Kala itu, Bandung belum sebesar sekarang. Ia hanyalah kota kecil yang menjadi tempat singgah para tuan kebun, pegawai kolonial, dan pedagang yang menempuh perjalanan jauh dari Batavia menuju Priangan. Di jalan inilah berdiri sebuah herberg, semacam pesanggrahan sederhana, berdampingan dengan toko milik C. P. E. Loheyde dan sebuah hotel kecil bernama Hotel Thiem.
Seturut conference paper berjudul Grand Hotel Preanger dari Waktu ke Waktu, Sebuah Montase Sejarah gubahan akademisi ITB, Loheyde, yang dikenal sebagai pedagang kebutuhan sehari-hari bagi orang-orang Belanda di Priangan, mungkin tak pernah membayangkan bahwa toko kecilnya akan menjadi cikal bakal hotel termegah di kota ini. Namun, nasib berkata lain. Pada 1897, ia bangkrut. Usahanya jatuh ke tangan W. H. C. van Deeterkom, seorang pengusaha yang melihat potensi besar pada lokasi strategis di pinggir Grote Postweg itu. Deeterkom kemudian membeli pesanggrahan di sebelahnya, menggabungkannya dengan toko dan hotel Loheyde, lalu menjadikannya hotel baru yang lebih besar dan megah.
Baca Juga: Hikayat Soldatenkaffee Bandung, Kafe NAZI yang Bikin Heboh Sekolong Jagat
Hotel itu diberi nama Hotel Preanger, serapan dari kata Priangan sebagai wilayah pegunungan yang menjadi jantung tanah Pasundan. Nama itu bukan sekadar sebutan geografis, tapi juga simbol keanggunan dan kesejukan Bandung kala itu. Para bangsawan Belanda dari perkebunan di sekitar Garut, Sukabumi, hingga Tasikmalaya, menjadikan hotel ini sebagai tempat peristirahatan favorit. Di ruang-ruang tamunya, wangi teh Priangan bercampur dengan aroma cerutu Havana, sementara denting piano di lobi menemani percakapan politik dan bisnis kolonial.
Tapi Bandung di awal abad ke-20 bukan sekadar kota peristirahatan. Ia mulai berubah. Seiring berkembangnya jalur kereta dan kebijakan politik etis, kota ini menjadi magnet baru bagi kaum elit Eropa. Hotel Preanger pun ikut bertransformasi: dari penginapan sederhana menjadi simbol kemewahan kolonial.
Dari Soekarno hingga Konferensi Asia Afrika
Pada 1920, Deeterkom memutuskan untuk memperbesar skala hotel. Ia ingin bangunan yang bukan hanya nyaman, tetapi juga mencerminkan prestise kaum kolonial di jantung Bandung. Maka ia memanggil arsitek ternama, C. P. Wolff Schoemaker, untuk merancang ulang bangunan tersebut. Schoemaker, yang kelak dikenal sebagai pelopor gaya Art Deco di Hindia Belanda, mengubah wajah Hotel Preanger menjadi lebih modern dan berkelas.
Yang membuat sejarah hotel ini semakin menarik adalah kehadiran seorang asisten muda dalam proses perancangannya: seorang mahasiswa teknik sipil dari Technische Hoogeschool te Bandoeng bernama Sukarno. Ya, calon presiden pertama Republik Indonesia itu pernah menjadi juru gambar bagi proyek renovasi Grand Hotel Preanger pada 1929. Di bawah bimbingan Schoemaker, Sukarno belajar bukan hanya tentang garis dan sudut, tetapi juga tentang estetika, modernitas, dan simbolisme kekuasaan.
Bayangkan: di ruang kerja kecil yang dipenuhi kertas kalkir dan tinta hitam, Sukarno muda menggambar ulang wajah hotel yang berdiri di bawah kekuasaan kolonial yang kelak akan menjadi saksi bagi perjuangan bangsanya.
Baca Juga: Dari Hotel Pos Road ke Savoy Homann, Jejak Kemewahan dan Saksi Sejarah Pembangunan Kota Bandung

Ketika renovasi selesai, Grand Hotel Preanger menjelma menjadi bangunan yang megah. Para tamu dari Batavia, Surabaya, hingga Singapura datang untuk menikmati kemewahan dan kesejukan Bandung. Dari balkon hotel, mereka memandang ke arah selatan, ke jalan yang kelak bernama Asia Afrika, yang saat itu masih sepi dan dihiasi pepohonan trembesi.
Tapi, sejarah memiliki cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Setelah masa pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan, Grand Hotel Preanger berganti peran. Ia tak lagi sekadar tempat para kolonial berlibur, tapi menjadi ruang singgah para diplomat dan pemimpin bangsa yang baru lahir. Pada pertengahan 1950-an, hotel ini menjadi salah satu lokasi penting menjelang perhelatan besar: Konferensi Asia Afrika 1955.
Bandung kala itu penuh semangat dan kegelisahan. Kota kecil di dataran tinggi Jawa Barat tiba-tiba menjadi pusat perhatian dunia. Para pemimpin dari 29 negara Asia dan Afrika datang ke kota ini untuk merumuskan solidaritas dunia ketiga. Di antara mereka ada Sukarno, Zhou Enlai, Jawaharlal Nehru, Gamal Abdel Nasser, hingga U Nu. Banyak dari mereka menginap di Grand Hotel Preanger. Hotel yang dulu pernah digambar Sukarno muda, kini menjadi tempat ia menyambut tamu-tamu besar dunia.
Dari jendela kamar-kamar hotel, lampu-lampu Asia Afrika berkelap-kelip di malam hari. Barangkali di sanalah, di antara secangkir teh dan laporan konferensi, sejarah dunia ketiga dirancang dengan semangat Bandung.
Hotel Preanger di Bandung Kiwari
Setelah era kolonial dan revolusi berlalu, Hotel Preanger tetap berdiri tegak di tengah perubahan zaman. Ia mengalami banyak renovasi, tetapi selalu dengan satu prinsip: mempertahankan identitas sejarahnya. Tahun 1988, misalnya, hotel ini menambah menara setinggi sepuluh lantai untuk menampung lebih banyak tamu. Tapi, desainnya tetap menghormati gaya lama: Art Deco yang elegan, simbol kemewahan masa lalu yang kini berpadu dengan modernitas.
Kendati begitu, bukan hanya bentuk fisik yang menjadikannya istimewa. Grand Hotel Preanger adalah semacam kapsul waktu Bandung. Ia menyimpan cerita-cerita kecil yang tak tertulis di buku sejarah tentang pertemuan rahasia para pejabat kolonial, pesta dansa di masa Belanda, atau perbincangan diplomatik di tahun 1955. Setiap ruangnya punya gema masa lalu: dari restoran dengan lampu gantung besar hingga tangga spiral yang masih kokoh sejak masa Schoemaker.
Baca Juga: Sejarah Masjid Cipaganti Bandung, Dibelit Kisah Ganjil Kemal Wolff Schoemaker
Kini, di bawah manajemen modern dan nama baru, Prama Grand Preanger, hotel ini tetap menjadi salah satu landmark utama Bandung. Di dalamnya bahkan ada museum kecil yang memamerkan foto-foto lama, perabot kuno, dan dokumentasi sejarah hotel dari masa ke masa.
Bandung kini barang tentu sudah berubah. Gedung-gedung tinggi menjulang dan Jalan Asia Afrika penuh mobil dan turis. Tetapi Grand Hotel Preanger tetap menjadi pengingat bahwa di kota ini, sejarah tidak pernah benar-benar pergi.
Hotel ini bukan sekadar tempat menginap. Ia adalah saksi hidup dari perubahan sosial, politik, dan budaya selama lebih dari satu abad. Dari masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan, hingga masa globalisasi kini, Grand Hotel Preanger selalu berada di sana, berdiri di jantung Bandung, menatap perubahan zaman dengan tenang.