Alun-alun Bandung sebelum tahun 1930-an. (Sumber: KITLV)

Ayo Jelajah

Batavia jadi Sarang Penyakit, Bandung Ibu Kota Pilihan Hindia Belanda

Senin 27 Okt 2025, 13:47 WIB

AYOBANDUNG.ID - Pernah ada masa ketika Bandung nyaris menggantikan Batavia sebagai ibu kota Hindia Belanda. Sebuah rencana besar yang lahir bukan karena ilham politik atau perhitungan ekonomi yang jenius, melainkan karena orang-orang Belanda kepanasan dan digigit nyamuk terlalu sering di Batavia.

Di kota itu, udara lembap, bau rawa bercampur sampah, dan penyakit tropis jadi hidangan sehari-hari. Maka muncullah ide eksotis dari kalangan pejabat kolonial: pindahkan saja pusat pemerintahan ke dataran tinggi yang sejuk, supaya kulit tetap putih dan napas tetap lega.

Bandung kala itu masih kampung besar dengan kebun teh dan sawah di sekelilingnya. Tapi bagi mata orang Belanda, tempat itu tampak seperti potongan Eropa yang tersesat di antara gunung dan kabut. Sejak awal abad ke-20, kota kecil itu sudah menarik perhatian karena udaranya kering, tanahnya stabil, dan pemandangannya indah.

Dalam risalah Peneliti Balai Arkeologi Jawa Barat, Iwan Hermawan, disebutkan bahwa Batavia, kota yang dirancang dengan peta indah ala Simon Stevin itu ternyata dibangun di rawa. Kanal-kanalnya bukan cuma mengalirkan air, tapi juga kotoran. Warga Batavia menjadikan kanal sebagai tempat mandi, cuci, bahkan buang hajat. Pemerintah sempat membuat aturan aneh: dilarang buang air di siang hari, hanya boleh malam-malam menjelang pagi. Akibatnya, Batavia punya pertunjukan rutin: parade kotoran tengah malam.

Baca Juga: Warga Bandung Kena Kibul Charlie Chaplin: Si Eon Hollywood dari Loteng Hotel

Ketika Gunung Salak meletus tahun 1699 dan mengirim longsoran ke utara, nasib Batavia makin sial. Sungai-sungai yang bermuara di sana tersedak lumpur, kanal-kanal meluap, rawa-rawa tumbuh subur, dan nyamuk-nyamuk pun berpesta. Malaria, kolera, pes, semua jadi penghuni tetap. Tak heran Batavia dijuluki Het Graf der Hollanders, Kuburan Orang Belanda.

Permasalahan kesehatan bukan satu-satunya mimpi buruk. Dari arah Laut Jawa, Inggris mulai mengancam. Batavia terlalu mudah diserang, terlalu terbuka, terlalu datar. Maka datanglah Herman Willem Daendels pada awal abad ke-19 dengan mandat mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Ia menatap peta, menatap rawa, lalu memutuskan Weltevreden menjadi Batavia Baru.

Pusat administrasi kolonial pindah ke sana, sementara penduduk bumiputra tetap di pinggiran, masuk ke kota tiap pagi sebagai pekerja dan pulang sore membawa lelah. Tata ruangnya meniru kota-kota lama di Jawa: satu alun-alun besar dikelilingi bangunan-bangunan megah milik orang Eropa. Urat nadinya adalah Jalan Raya Pos, jalur Anyer–Panarukan yang dibangun oleh Daendels sendiri dengan tenaga ribuan pekerja pribumi yang konon banyak mati di sepanjang jalan.

Tapi penyakit tak mengenal alamat baru. Sekalipun sudah pindah ke Weltevreden. Beberapa kali antara tahun 1892 hingga 1909, air Ciliwung menelan rumah-rumah di Weltevreden (Jakarta Pusat sekarang). Surat kabar De Locomotief bahkan menulis berita dengan judul menyindir: Batavia Onder Water. Orang Belanda akhirnya sadar, tinggal di Batavia itu seperti menabung maut.

Karena itu, mulai muncul wacana “pindah rumah”. Dari Coen ke Daendels, dari Daendels ke pejabat-pejabat sesudahnya, semua sadar Batavia bukan tempat ideal untuk hidup lama, apalagi untuk memerintah. Daendels sempat berencana pindah ke Semarang atau Surabaya, tapi ia terlalu sibuk membangun jalan pos dari Anyer ke Panarukan dengan cara paling hemat biaya: kerja paksa. Akhirnya, ia memilih Weltevreden, hanya lima kilometer dari Batavia lama.

Baca Juga: Reaktivasi Rel Kereta Bandung-Ciwidey: Dulu Belanda Bisa, Kini Hanya Bisa Berwacana

Lukisan Batavia tahun 1770-an. (Sumber: KITLV)

Bandung Cuma jadi Ibu Kota Cadangan

Bandung sejak lama punya reputasi baik di mata pejabat Belanda. Udaranya sejuk, airnya jernih, pemandangannya indah. Letaknya strategis di tengah jalur kereta Batavia–Cilacap, dikelilingi pegunungan yang bisa menjadi benteng alami. Di sebelah barat, ada Cimahi, kota garnisun yang sejak 1885 menjadi markas militer Hindia Belanda. Di sinilah Daendels mungkin akan tersenyum puas dari alam baka: jalannya yang dulu dibangun dengan darah rakyat kini menjadi nadi logistik militer dan pemerintahan.

Situasi abad ke-20 membawa wacana baru. Rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda itu mulai dibahas serius oleh Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz pada tahun 1906. Kala itu, ia bosan dengan Batavia yang basah, jenuh, dan penuh penyakit. Bandung tampak seperti janji keselamatan tropis: dingin, tertata, dan masih kosong. Pemerintah kolonial kemudian mengirim para insinyur dan perencana kota dari Departement van Openbare Werken untuk menggambar rancangan kota baru.

Kemudian, seorang peneliti bernama H.F. Tillema pada 1916 menulis laporan yang bikin pejabat kolonial geleng kepala: semua kota pelabuhan di Jawa, termasuk Batavia, “tidak sehat dan berbahaya bagi moral.” Udara panas bikin semangat kerja turun, wabah tak pernah reda, dan banjir seperti kalender tahunan. Solusinya? Pindahkan ibu kota ke dataran tinggi.

Bandung muncul sebagai pilihan paling logis. Udaranya sejuk, tanahnya tinggi, dan posisinya strategis di tengah Jawa Barat. Professor J. Klopper dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) ikut mendukung: “Bandung cocok untuk jadi pusat pemerintahan,” katanya. Orang-orang Belanda tentu cepat jatuh cinta. Setelah seabad berkeringat di Batavia, mereka menemukan surga kecil di Priangan, dengan pemandangan gunung dan hawa seperti Swiss (minus sapi cokelat dan keju).

Sebelum pindah resmi direncanakan, militer sudah lebih dulu menandai kawasan itu. Cimahi dijadikan garnisun utama sejak 1896, menampung infanteri, artileri, dan zeni. Tahun 1908, Bandung ditetapkan sebagai pusat garnisun Hindia Belanda. Jalan kereta Batavia–Bandung–Cilacap dan Jalan Raya Pos memudahkan mobilisasi pasukan, seolah seluruh infrastruktur Daendels dulu memang disiapkan untuk pelarian kolonial ke Priangan.

Rencana besar akhirnya dirumuskan sekitar 1920-an. Pemerintah Kotapraja Bandung menyiapkan 27 hektare tanah untuk kompleks pusat pemerintahan baru bernama Gouvernements Bedrijven. Di atas tanah itu akan berdiri 14 gedung kementerian, dirancang oleh arsitek J. Gerber dengan simbol kemegahan: Gedung Sate. Bangunan itu dibuat dengan biaya 6 juta gulden, angka yang cukup untuk bikin bendahara kolonial kehilangan selera makan siang.

Pemerintah mulai mencicil kepindahan. Kantor Jawatan Kereta Api Negara (Staatsspoorwagen), Pos dan Telepon, serta Dinas Pekerjaan Umum pindah lebih dulu. Departemen Perdagangan ikut menyusul, disusul lembaga kesehatan seperti Institut Pasteur. Bandung menjelma jadi Den Haag tropis. Di sepanjang Jalan Braga berdiri toko-toko dan kafe bergaya art deco, sementara rumah-rumah pejabat Eropa menyebar di Dago dan Riau. Kota itu kemudian dijuluki Parijs van Java, percampuran antara kolonialisme dan gaya hidup bohemian.

Baca Juga: Sejarah Dago, Hutan Bandung yang Berubah jadi Kawasan Elit Belanda Era Kolonial

Tapi takdir selalu punya selera humor. Krisis ekonomi global atau Malaise pada 1930-an membuat kas kolonial menipis. Pembangunan kompleks pemerintahan berhenti di tengah jalan. Sebagian bangunan belum selesai, sebagian lagi mangkrak. Rencana pemindahan ibu kota pun melambat, seperti lokomotif tua yang kehabisan batu bara di tengah tanjakan Lembang.

Tapi Bandung sudah terlanjur berubah. Dari kota sejuk di pegunungan, ia menjelma jadi kota modern dengan hotel-hotel, rumah peristirahatan, dan kantor pemerintahan. Kaum elit Eropa betah tinggal di sini, jauh dari panas dan penyakit Batavia. Jalan Braga menjadi etalase gaya hidup kolonial: bioskop, butik, dan toko roti berderet rapi, seolah-olah potongan kecil Eropa jatuh di tanah Priangan.

Ketika Jepang mulai menekan Belanda pada awal 1942, Bandung benar-benar menjalankan fungsi daruratnya: menjadi tempat perlindungan terakhir.

Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer memindahkan aktivitas pemerintahannya ke Bandung. Batavia diserahkan begitu saja tanpa perlawanan. Para pejabat sipil dan militer Belanda berbondong-bondong menuju selatan, mengungsi ke kota yang dulu mereka cita-citakan sebagai ibu kota baru. Bandung menjadi tempat penampungan orang-orang Eropa dari Batavia dan Bogor. Dari sini pula mereka diterbangkan atau dikirim ke Cilacap, lalu menyeberang ke Australia.

Pada 8 Maret 1942, pipnan pasukan Belanda Letnan Jenderal H.W. van Mook dan Mayor S.H. Spoor terbang dari Bandung menggunakan pesawat Dakota menuju Australia, tepat saat pesawat Jepang mulai membombardir Lapangan Udara Andir. Mereka meninggalkan kota yang seharusnya menjadi ibu kota Hindia Belanda.

Bandung memang tak pernah resmi menjadi ibu kota Hindia Belanda. Tapi segala tanda-tanda menuju ke sana sudah nyata. Jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer hingga Panarukan memberi koneksi darat strategis, sementara jalur kereta api Batavia–Bandung–Cilacap memudahkan mobilisasi. Pertahanan militer terkonsentrasi di Cimahi, dan udara sejuk Priangan menjanjikan kehidupan yang lebih sehat bagi birokrat yang alergi pada malaria.

Tapi sejarah berkata lain. Jepang keburu datang, Belanda keburu kalah, dan Indonesia keburu merdeka. Rencana besar itu terkubur bersama berakhirnya kekuasaan kolonial. Gedung-gedung yang sempat dirancang untuk pemerintahan kolonial kini menjadi milik Republik. Gedung Sate, yang semula dirancang untuk memerintah atas nama Ratu Belanda, kini berdiri sebagai simbol Jawa Barat yang merdeka.

Baca Juga: Riwayat Gedung Sate dan Jejak Para Insinyur Kolonial

Jika saja rencana itu terlaksana, sejarah Indonesia akan mencatat Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda, dan kelak mungkin juga ibu kota Indonesia. Tapi takdir lebih suka bermain-main. Batavia yang dulu dikutuk sebagai kuburan orang Belanda kini menjelma jadi Jakarta, kota megapolitan yang menelan semuanya.

Tags:
BataviaSejarah BandungSejarah

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor