Lapas Sukamiskin.

Ayo Jelajah

Sejarah Lapas Sukamiskin Bandung, Penjara Intelektual Pembangkang Hindia Belanda

Senin 27 Okt 2025, 16:32 WIB

AYOBANDUNG.ID - Orang mengenal penjara sebagai tempat terakhir bagi mereka yang kalah melawan hukum. Tapi, dulu di Hindia Belanda, penjara justru bisa jadi tempat lahirnya gagasan—tempat kaum pembangkang mengasah pikiran dan melawan penjajahan lewat pena dan kesunyian. Salah satunya adalah Penjara Sukamiskin, sebuah bangunan kokoh bergaya Eropa di timur laut Kota Bandung.

Sistem hukuman model Eropa mulai masuk ke Hindia Belanda pada abad ke-19, menggantikan hukuman badan dan hukuman mati yang lazim di masa kerajaan-kerajaan lokal. Dasarnya adalah Pasal 10 Wetboek van Stafrecht voor de Inlanders in Nederlansch Indie (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk Pribumi Hindia Belanda) tahun 1872. Dari sinilah segala sistem pemenjaraan modern di negeri ini bermula.

Bandung, kota sejuk di kaki Gunung Tangkubanparahu, menjadi salah satu titik eksperimen kolonial atas konsep “penjara modern”.

Penjara Sukamiskin dibangun pada tahun 1918. Arsiteknya, Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker, bukan sembarang orang. Ia adalah tokoh arsitektur modern Hindia Belanda—guru dari Soekarno muda di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Schoemaker merancang penjara ini dengan gaya khas Eropa: kokoh, simetris, dan berjiwa rasional.

Baca Juga: Sejarah Stadion GBLA, Panggung Kontroversi yang Hampir Dinamai Gelora Dada Rosada

Dari udara, bentuknya mirip kincir angin dengan empat bilah yang mengarah ke empat mata angin. Empat blok besar—Utara, Selatan, Timur, dan Barat—mengelilingi bangunan bundar di tengah sebagai poros. Tiap blok punya dua lantai, dihubungkan dengan lorong-lorong panjang dan jendela besar yang menelan cahaya.

Penjara ini mulai beroperasi pada 1924. Tapi jangan bayangkan para penghuninya saat itu seperti para bandit atau perampok. Sukamiskin sejak awal didirikan khusus untuk mereka yang dianggap “terlalu berpikir”. Orang-orang yang dipenjara di sini bukan karena mencuri atau membunuh, melainkan karena ide. Karena mereka menulis pamflet, berpidato, atau mengorganisasi rakyat untuk melawan kolonialisme.

Label nama resminya bahkan sudah menjelaskan segalanya: Straft Gevangenis Voor Intelectuelen, Penjara Hukuman untuk Kaum Intelektual.

Salah satu penghuni paling terkenal tentu saja Ir. Soekarno. Ia mendiami Kamar Nomor 1 di Blok Timur atas setelah ditangkap karena aktivitas politiknya di Partai Nasional Indonesia (PNI). Di penjara inilah Soekarno menulis pledoi legendarisnya, Indonesia Menggugat, pada 1930.

Bayangkan suasana saat itu: Bandung berkabut pagi, udara dingin merembes ke jeruji besi, dan di baliknya seorang pemuda menulis dengan tangan gemetar tapi penuh tekad. Dari ruang sempit itu, lahir gagasan besar tentang kemerdekaan. Sukamiskin bukan lagi sekadar penjara, tapi rahim ideologi nasionalisme.

Setelah Indonesia merdeka, fungsi Sukamiskin berubah. Dari penjara intelektual menjadi penjara kriminal biasa, lalu pelan-pelan menjadi Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin sejak 1985. Tapi sejarahnya tak pernah benar-benar mati. Bangunannya masih berdiri anggun di tengah hiruk-pikuk Bandung Timur, menatap masa kini dengan kenangan yang berat.

Baca Juga: Sejarah Bandung Jadi Ibu Kota Hindia Belanda, Sebelum Jatuh ke Tangan Jepang

Lapas Sukamiskin. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)

Dari Warisan Kolonial ke Istana Koruptor

Pada tahun 2010, pemerintah menetapkan Lapas Sukamiskin sebagai bangunan cagar budaya. Ia masuk kategori Golongan A—artinya, nilai sejarah dan arsitekturnya sangat tinggi. Setahun kemudian, lapas ini diresmikan sebagai Lapas Pariwisata. Ya, Anda tak salah baca: penjara ini sempat dibuka untuk wisata sejarah.

Orang-orang datang, menatap dinding tua yang dulu menyimpan bisik perlawanan. Tapi keindahan arsitektur kolonial itu tak bertahan lama dalam sunyi sejarah.

Dua tahun berselang, tepatnya 2012, Sukamiskin berubah wajah lagi. Kali ini, ia menjadi penjara khusus bagi para koruptor. Alasannya terdengar logis: Sukamiskin punya fasilitas sel tunggal—satu orang satu kamar—sehingga lebih mudah diawasi. Tapi sejak saat itu, penjara yang dulu menampung pembangkang justru jadi tempat nyaman bagi mereka yang menjarah uang rakyat.

Gayus Tambunan adalah narapidana korupsi pertama yang menghuni Sukamiskin. Namanya sempat menghiasi halaman depan koran karena kemampuannya “keluar masuk” penjara dengan bebas, bahkan sempat menonton tenis di Bali. Setelah Gayus, datanglah gelombang baru: Anas Urbaningrum, Setya Novanto, Muhammad Nazaruddin, Djoko Susilo—nama-nama besar yang dulunya tampil percaya diri di depan kamera, kini mengenakan baju tahanan berwarna oranye.

Ironisnya, meski mereka kehilangan kebebasan, mereka tampak tak kehilangan kenyamanan. Pada 2018, Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husein, tertangkap tangan oleh KPK karena menerima suap dari para napi korupsi untuk “penyesuaian fasilitas”. Di balik jeruji itu, ternyata masih ada kelas-kelas sosial.

Kamar Setya Novanto, misalnya, pernah disorot sebuah acara TV swasta: ada AC, kulkas, bahkan televisi layar datar. Setelah Ombudsman RI melakukan sidak pada Desember 2019, terbukti ada sel yang dimodifikasi jadi lebih luas dari standar. Tiga nama besar—Setya Novanto, Nazaruddin, dan Djoko Susilo—menempati ruangan dua kali lipat dari napi biasa. Padahal, statusnya bangunan cagar budaya; secara hukum, tidak boleh diubah sedikit pun.

Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels

Lapas ini akhirnya direnovasi ulang pada akhir 2019, dikembalikan ke bentuk aslinya dengan konsultasi dari Tim Ahli Cagar Budaya. Tapi jejak sejarah baru itu sudah terlanjur tercetak di dinding: bahwa penjara yang dulu menampung pembangkang kolonial, kini justru jadi simbol kemewahan dan ketimpangan di era modern.

Di Sukamiskin, orisinalitas cagar budaya itu kini berbenturan dengan kenyataan sosial. Penjara ini memang masih berdiri megah, tapi maknanya sudah bergeser jauh. Dari tempat kaum intelektual berjuang melawan kolonialisme, menjadi tempat orang-orang berjas melunasi dosa korupsi sambil menonton TV.

Tags:
Sejarah BandungSejarahLapsa Sukamiskin

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor