AYOBANDUNG.ID - Ketika dunia menatap ke Bandung pada April 1955, Belanda justru sedang menatap salju. Sementara Soekarno berpidato penuh semangat di Gedung Merdeka, menegaskan persatuan Asia dan Afrika, Ratu Juliana dari Kerajaan Belanda tampaknya tengah sibuk dengan sesuatu yang sangat Eropa: serpihan salju, liburan Paskah, dan persiapan ulang tahunnya.
Bandung bergetar oleh langkah 29 delegasi negara Asia dan Afrika. Tapi di Belanda, Ratu Juliana tenang-tenang saja. Tak ada pernyataan diplomatik, bahkan tak ada sekadar ucapan “selamat konferensi”. Bagi Belanda, Konferensi Asia-Afrika (KAA) adalah panggung yang tidak diharapkan keberadannya, tak sudi pula tampaknya mereka jika diundang terlebih untuk datang. Karena di balik meriahnya Bandung, terselip ironi sejarah: pertemuan yang menandai kebangkitan negara-negara bekas jajahan, termasuk Indonesia, justru berlangsung tanpa sang bekas penjajah.
Lantas, ada di mana Ratu Belanda saat KAA berlangsung? Apa yang dilakukan? Bagaimana pandangannya terhadap konferensi anti kolonial terbesar sepanjang sejarah tersebut?
Baca Juga: Sejarah Gelap KAA Bandung, Konspirasi CIA Bunuh Zhou Enlai via Bom Kashmir Princess
Catatan arsip kolonial tentang ratu tak terlalu jelas buat periode itu. KAA sendiri berlangsung pada 18–24 April 1955. Menurut catatan koran-koran Belanda kala itu, pada minggu-minggu sebelum dan sesudah konferensi, keluarga kerajaan Belanda sedang berlibur di kawasan ski Klosters, Swiss, dekat perbatasan Austria, wilayah Tirol.
Pada 7 April 1955, Ratu Juliana dan putri bungsunya, Margriet, tiba di Hotel Chesa Grischuna, sebuah penginapan legendaris yang kerap disinggahi bangsawan Eropa sejak 1930-an. Tak lama kemudian, Pangeran Bernhard beserta dua putri lainnya, Beatrix dan Irene, bergabung setelah menyelesaikan tur ski dari Sankt Anton ke Klosters. Mereka merayakan paasvakantie (libur Paskah) yang jatuh pada 10 April.
"Lima puluh mawar merah merupakan sambutan dari Dewan Federal Swiss untuk Ratu Juliana, yang tiba di Klosters, Swiss, pada pukul lima sore hari Kamis. Sebuah payung merupakan sambutan dari direktur hotel tempat Yang Mulia dan Putri Margriet akan menginap," tulis Algemeen Handelsblad.
Dalam foto Nationaal Archief, ada dokumentasi keluarga kerajaan tengah bermain salju, lengkap dengan pakaian tebal dan kacamata ski besar khas era 1950-an. Satu foto memperlihatkan Juliana menerima buket mawar merah dari perwakilan pemerintah Swiss di tengah hujan salju, payung terbuka, wajahnya tersenyum, entah karena udara dingin atau sekadar lega jauh dari urusan politik.
Liburan Paskah di Belanda, biasanya berlangsung satu hingga dua pekan. Artinya, ketika Bandung mulai ramai oleh rombongan dari India, Mesir, Birma, dan Tiongkok, sang ratu kemungkinan sedang menikmati dinginnya suasana lereng Alpen. Kemungkinan lainnya adalah Juliana sedang berada di Paleis Soestdijk, istana kerajaan yang terletak di Baarn. Bisa jadi ia sedang bersyik masyuk, mempersiapkan hari ulang tahunnya yang ke-46 pada 30 April, sambi membaca laporan diplomatik rutin di sofa beludru istana.

Berdasarkan arsip Kabinet der Koningin, Juliana menerima laporan diplomatik rutin sepanjang Maret–Mei 1955: pembaruan hubungan NATO, situasi ekonomi dalam negeri, dan laporan perkembangan di bekas koloni seperti Suriname dan Antillen Belanda. Tak ada catatan khusus tentang KAA. Tampaknya para penasihat kerajaan menganggap konferensi itu urusan negara-negara yang baru lahir, bukan panggung bagi kekuatan kolonial lama.
Pesta perayaan ulang tahun ratu (Koninginnedag) juga menyita perhatian Belanda kala itu. Kabar yang disiar menyebut warga kincir angin sedang hanyut dlam suasana festival oranye atau Oranjefeesten kala itu. Oranjefeesten adalah rangkaian kegiatan menyambut ulang tahun ratu yang dimulai ejak awal April, dengan beberapa kegiatan lanjutan di daerah tertentu hingga awal Mei.
Surat kabar Algemeen Handelsblad tanggal 15 April 1955 bahkan menyebutkan uji coba desain perangko edisi ulang tahun Ratu Juliana, pertanda fokus istana kala itu lebih pada urusan domestik dan perayaan nasional ketimbang politik global. Belanda sedang dalam masa pemulihan ekonomi pasca-Perang Dunia II kala itu, dan ulang tahun sang ratu menjadi simbol kebangkitan.
Dalam masa festival itu, Ratu Juliana juga menyempatkan diri menerima kunjungan kenegaraan dari Raja Swedia Gustaf VI Adolf antara 26-29 April. "Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard memberikan hadiah kepada Raja dan Ratu Swedia dalam rangka kunjungan kenegaraan mereka. Hadiah tersebut terdiri dari sekitar 400 reproduksi foto karya seni antik terpenting dari museum-museum Belanda, termasuk Rijksmuseum," tulis Deventer Dagblad edisi 30 April. Pada 5 Mei 1955, Juliana tampak hadir di upacara Dodenherdenking Hari Peringatan Korban Perang Dunia II di dekat kediamannya.
Tidak ada satu pun catatan resmi atau memo diplomatik yang menunjukkan bahwa Juliana memperhatikan jalannya Konferensi Asia-Afrika secara khusus. Bahkan, tidak ditemukan pidato, ucapan resmi, ataupun komentar publik dari pihak istana mengenai peristiwa Bandung tersebut.

Hubungan Ratu Juliana dengan Indonesia
Pada 1955, hubungan Indonesia–Belanda masih hangat tapi tegang. Pengakuan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 memang ditandatangani langsung oleh Ratu Juliana di Istana Dam, Amsterdam, tetapi luka perang kemerdekaan belum sembuh sepenuhnya. Masalah besar bernama Irian Barat (Papua Barat) masih menjadi duri dalam daging. Dalam pidato pembukaan KAA, Soekarno dengan halus tapi tajam menyinggung kolonialisme lama yang masih bercokol di Asia dan Afrika. Tentu saja, Belanda termasuk dalam kategori itu.
Dari sudut pandang Belanda, tahun 1955 adalah masa pemulihan. Negeri kecil itu baru bangkit dari kehancuran Perang Dunia II, menata ekonominya dengan bantuan Marshall Plan, dan berupaya mempertahankan pengaruh kolonialnya yang tersisa di Suriname dan Antillen. Juliana, yang terkenal sederhana dan religius, lebih banyak menjalankan fungsi simbolis dengan menjadi ibu bagi bangsa yang sedang berduka dan berbenah, ketimbang sibuk urusan diplomasi luar negeri.
Baca Juga: Sejarah Lyceum Kristen Bandung, Sekolah Kolonial yang jadi Saksi Bisu Gemerlap Dago
Tapi, ini bukan berarti Juliana acuh terhadap Indonesia sama sekali. Juliana sendiri memainkan peran kunci dalam pengakuan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 oleh Kerajaan Belanda. Ia menandatangani dokumen pengakuan di Istana Dam, Amsterdam, yang mengakhiri 350 tahun kekuasaan kolonial Belanda atas Hindia Belanda. Saat itu, Juliana menjadi Hoofd der Unie (Kepala Uni Belanda-Indonesia) hingga 1956, meskipun proses ini dianggap sebagai bencana ekonomi bagi Belanda karena kehilangan aset kolonial dan biaya militer.
Pidatonya saat pengakuan kedaulatan 1949 menunjukkan sisi spiritual dan personalnya. Ia menggambarkan kemerdekaan Indonesia bukan sebagai kekalahan politik bagi negerinya, melainkan sebagai bagian dari kehendak ilahi, sebuah peristiwa yang memang sudah digariskan untuk terjadi pada waktunya. Nada bicaranya mencerminkan kepasrahan, seolah ia menerima kenyataan bahwa masa kolonial Belanda di Asia telah berakhir karena alasan yang lebih tinggi dari sekadar urusan duniawi. Juliana tampak sangat terpengaruh secara pribadi. Matanya berkaca-kaca dan suaranya serak saat menyampaikan pidato, mencerminkan duka atas akhir era kolonial.
Butuh waktu 16 tahun setelah KAA bagi Ratu Juliana untuk menjejakkan kaki di Indonesia. Pada Agustus 1971, ia akhirnya datang dalam kunjungan kenegaraan pertamanya ke negeri yang dulu menjadi koloni utama Belanda. Sambutan rakyat Indonesia saat itu luar biasa. Jalan-jalan Jakarta dihiasi bendera merah putih dan oranye, dua warna yang dulunya berseberangan kini berkibar berdampingan.
Dalam pidato kenegaraannya di Istana Merdeka, Juliana berkata lembut dengan menyebut Indonesia sebagai mitra setara, bukan bekas koloni. “Saya menganggap ini sebagai hak istimewa untuk mengenal negara besar dan menarik ini untuk pertama kalinya atas undangan Presiden Indonesia,” kata Juliana dikutip dari New York Times. Kata-kata itu menunjukkan perubahan besar: dari ratu yang dulu menandatangani berakhirnya kolonialisme menjadi sahabat yang datang membawa perdamaian.
Presiden Soeharto menjawab dengan nada diplomatis. “Kedua bangsa kita memasuki era baru, dengan semangat dan hubungan baru. Rakyat Indonesia sedang membangun masa depan mereka.” Kunjungan ini menandai babak baru hubungan Indonesia–Belanda, seolah menutup tirai masa lalu yang getir dan membuka jendela masa depan yang pragmatis.