Terminal Ledeng. (Sumber: Wikimedia)

Ayo Jelajah

Hikayat Ledeng Bandung, Jejak Keselip Lidah di Kawasan Kota Pipa Kolonial

Rabu 19 Nov 2025, 14:50 WIB

AYOBANDUNG.ID - Kucuran air yang memancar dari bangunan tua di sudut Kota Bandung itu seperti sedang menirukan suara perut lapar: deras, jernih, dan tidak pernah benar-benar berhenti. Bangunannya bercat putih, agak pucat, seperti wisudawan yang baru sadar hari ini harus bayar UKT. Di fasadnya masih terpahat tulisan Tjibadak-1921. Catnya sudah mengelupas, namun angka itu tetap duduk anggun, seakan mengingatkan siapa pun yang lewat bahwa lebih dari seratus tahun lalu, di tempat inilah Bandung disuscikan oleh aliran air. Itu dulu. Sekarang, bangunan itu berdiri di Jalan Cidadap Girang dengan nama yang lebih akrab di kuping warga: Ledeng. Nama yang konon lahir dari leiding, bahasa Belanda untuk pipa.

Cerita tentang Ledeng tidak bisa dilepaskan dari ambisi kolonial yang bermula pada 1917. Waktu itu, Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum menunjuk Bandung sebagai calon ibu kota Hindia Belanda, menggantikan Batavia yang dianggap terlalu panas, terlalu lembap, dan terlalu banyak nyamuk. Dalam artikel yang dimuat De Preanger-bode tanggal 27 September 1922, dijelaskan bagaimana berbagai departemen pemerintah mulai dipindahkan ke Bandung pada dekade 1920an, termasuk Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Air. Di situ pula disebutkan bahwa penduduk Eropa di Bandung mencapai hampir 13 ribu jiwa.

Bandung yang berada di ketinggian 708 meter di atas permukaan laut, dianggap lebih menyehatkan. Namun mimpi menjadikannya pusat pemerintahan menghadapi satu masalah sederhana: air bersih. Pada awal abad ke-20, kota ini dipimpin Bertus Coops dan dihuni sekitar 75 ribu orang. Di kampung-kampung, wabah kolera sering muncul akibat air kotor. Tegalega, Citepus, Regol, Cikakak, Cibeunying, Cisondari, Ujungberung, dan Cipatat menjadi langganan penyakit.

Baca Juga: Hikayat Kiaracondong, Tujuan Urbanisasi Kaum Pekerja Zaman Baheula

Walikota Coops kemudian memerintahkan Heetjans, insinyur yang namanya sulit dieja namun tampaknya cukup jago mengukur debit air, untuk mencari sumber yang bisa menghidupi kota. Mereka mulai dari Dago, tapi hanya keluar satu liter per detik. Itu lebih mirip keran kamar mandi daripada sumber air. Mereka bergerak ke Cidadap, ke Hegarmanah, ke Jalan Cikendi, dan menemukan 8 liter per detik. Belum cukup untuk kota yang sedang tumbuh. Mereka pun mengarah ke utara dan menemukan sumber air Tjibadak. Nama Tjibadak mudah ditebak: cai badag, air besar. Nama yang tidak berusaha menyembunyikan kehebatannya. Dari sanalah Gedong Cai Tjibadak mulai dirancang.

Konstruksi Gedong Cai Tjibadak dimulai September 1921. Bangunan berbentuk seperti benteng kecil dengan dinding tebal itu dibangun untuk menampung dan menyaring air dari beberapa sumber utama. Ada lebih dari seratus mata air di daerah tersebut—sebuah kemewahan ekologis yang kini tinggal kenangan bagi generasi yang tumbuh bersama beton. Air dialirkan melalui pipa-pipa besar yang ditanam sedalam 20 meter, melintasi Lembangweg (kini Jalan Raya Lembang). Pipa-pipa itu adalah asal-muasal nama “Ledeng,” adaptasi dari kata Belanda leiding, yang artinya saluran. Karena warga lokal sering keselip lidah, mereka mengubah bunyi ei menjadi e. Lahirlah “Ledeng.”

Gedong Cai Tjibadak, menurut catatan De Preanger-bode edisi 29 Desember 1921, mampu mengalirkan 50 liter air per detik. Angka itu setara dengan 80% kebutuhan air bersih Bandung pada masa itu. Sumber airnya berasal dari Cihideung atau Sukawana, di kaki Gunung Tangkuban Parahu. Dari situ, air dialirkan melalui pipa baja yang ditanam sedalam 20 meter dan melintasi jurang sepanjang 900 meter.

Gedong Cai Tjibadak di Ledeng, Bandung, saat diresmikan pada 1921. (Sumber: KITLV)

Terdapat satu tokoh lokal yang namanya tidak tercatat dalam arsip Belanda namun hidup di cerita masyarakat: Ki Mang Abay. Ia didapuk untuk memimpin penggalian tanah. Pekerjaan penggalian dikerjakan warga berdasarkan perencanaan insinyur Belanda. Air dari Tjibadak tidak hanya dialirkan ke rumah-rumah, tapi juga mengairi ladang dan kebun. Airnya begitu jernih, bisa diminum langsung dari keran. Pada masa itu, Bandung boleh bangga. Tidak banyak kota di dunia yang bisa pamer memiliki air perpipaan yang layak minum di tahun 1920an.

Dari rentang 1911 hingga 1930an, pemerintah kota menjalankan program pembangunan infrastruktur air bersih berbasis sains. Sumur artesis, jaringan waterleiding, waduk, hingga fasilitas publik dibangun. Pada 1924, layanan air mulai menjadi sumber pendapatan kota. Namun seperti kota kolonial lain, layanan premium hanya diberikan kepada warga Eropa. Pribumi di kampung-kampung mengandalkan sumur umum. Kolonialisme tidak pernah benar-benar adil, bahkan dalam hal air.

Baca Juga: Sejarah Padalarang dari Gua Pawon ke Rel Kolonial, hingga Industrialisasi dan Tambang Zaman Kiwari

Ledeng juga punya babak heroik yang jarang diceritakan. Ketika perang kemerdekaan pecah, kawasan yang damai ini berubah menjadi titik strategis. Para pejuang tahu bahwa siapa yang menguasai air Tjibadak, bisa menguasai Bandung. Tiga laskar ditugaskan menjaga akses berbeda: Sersan Bajuri, Sersan Sodik, dan Sersan Surip. Mereka menutup aliran air menuju kantor pemerintahan Belanda di pusat kota. Dalam catatan lokal, menjelang Bandung Lautan Api, aliran air Tjibadak pernah diracun untuk menghambat pasukan kolonial. Langkah nekat itu menggambarkan betapa vitalnya air ini.

Di sekitar kawasan Tjibadak pernah berdiri kamp pejuang dalam radius 500 meter. Pertempuran besar pecah di depan gerbang yang kini menjadi Universitas Pendidikan Indonesia. Saat itu berdiri sebuah penjara panjang yang kini menjadi Hotel Ponty. Dalam pertempuran 19 Desember 1945, pasukan TKR Bandung Utara bentrok dengan pasukan Inggris atau Gurkha di sekitar Villa Isola. Letnan Hamid gugur bersama Sersan Bajuri dan Sersan Surip. Sebagai penghormatan, tiga jalan di Bandung kini memakai nama mereka: Jalan Sersan Bajuri, Jalan Sersan Surip, dan Jalan Sersan Sodik.

Setelah kemerdekaan benar-benar pulih, Gedong Cai Tjibadak dikelola PDAM Tirta Wening sejak 1977. Namun waktu tidak selalu ramah. Debit air kini hanya 19 liter per detik dari kapasitas 50 liter per detik. Pembangunan masif menggerus resapan. Sumber air yang dulu bisa menghidupi 80% Bandung kini hanya melayani sekitar 800 pelanggan di Cipaku dan Ciumbuleuit. Kontras yang menyedihkan namun tidak mengejutkan. Kota yang tumbuh terlalu cepat biasanya kehilangan mata airnya lebih cepat.

Suasana kawasan Cipaku, Ledeng. (Sumber: Wikimedia)

Ledeng sendiri berubah drastis. Dari kampung air menjadi kawasan padat. Terminal Ledeng menjadi simbol baru. Lalu lintas Lembang–Subang berpusat di sana. Gedong Cai Tjibadak kini tersembunyi di antara rumah-rumah. Banyak warga yang tidak pernah tahu bahwa air yang mereka gunakan berasal dari bangunan kecil yang terus berjuang mempertahankan alirannya.

Baca Juga: Sejarah Vila Isola Bandung, Istana Kolonial Basis Pasukan Sekutu hingga jadi Gedung Rektorat UPI

Tapi masih ada secercah harapan. Komunitas Cai dan berbagai kelompok lokal aktif merawat kawasan ini. Mereka mengadakan susur sungai, edukasi sejarah, serta kampanye pelestarian. Pemerintah Kota Bandung punya rencana menjadikan area Tjibadak sebagai ruang publik dan destinasi wisata sejarah.

Bangunan Gedong Cai kini menjadi aset PDAM. Dindingnya kusam, pagar besi menutupinya, namun air tetap mengalir perlahan. Pohon bambu dan aren tumbuh di sekitarnya, menjadi tanda kehadiran mata air. Tulisan Tjibadak-1921 masih terpahat di plafon, seperti memoar yang menolak dilupakan.

Tags:
LedengSejarah Bandung

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor