Bandung sering dipromosikan sebagai kota kreatif dan kota budaya, namun di balik slogan itu, kebijakan kebudayaan justru terseret logika selebritisasi. Popularitas dan kedekatan politik lebih menentukan siapa yang mendapat ruang, sementara amanat undang-undang tentang gedung pusat seni dan budaya terus diabaikan. Akibatnya, kebudayaan hanya tampil sebagai jargon, bukan sebagai ekosistem yang hidup dan berdaya sebagai pembangun peradaban.
***
Bandung kerap dielu-elukan sebagai kota kreatif, kota budaya, bahkan laboratorium gagasan yang melahirkan berbagai gelombang seni, intelektual, dan perlawanan sosial. Dari musik, teater, seni rupa, hingga sastra, kota ini memiliki sejarah panjang yang memperlihatkan dinamika kebudayaan yang hidup dan tak pernah sepi.
Namun, di balik citra tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah pembangunan kebudayaan di Bandung sungguh-sungguh dijalankan dengan serius, atau sekadar dikemas dalam logika popularitas dan panggung pencitraan?
Pertanyaan ini semakin relevan ketika kita melihat figur Wali Kota Bandung yang berasal dari kalangan selebritas. Posisi politik yang berangkat dari dunia hiburan membawa serta logika selebritisasi ke dalam ruang kebijakan.
Akibatnya, pembangunan kebudayaan sering kali ditakar berdasarkan standar popularitas, kedekatan politik, dan lingkaran orang dekat. Dalam praktiknya, yang muncul bukanlah kebijakan kebudayaan yang menyentuh akar, melainkan serangkaian acara seremonial yang lebih menekankan pada tampilan luar ketimbang substansi.
Logika Selebritas dalam Kebijakan Kebudayaan

Dalam bidang musik, misalnya, pemerintah kota lebih sering memberi panggung kepada kelompok yang memiliki kedekatan personal atau afiliasi politik dengan lingkar kekuasaan. Standar utama yang berlaku bukanlah kualitas artistik atau kontribusi pada ekosistem seni, melainkan seberapa “terlihat” dan “terkenal” sosok tersebut.
Pola semacam ini menciptakan kesan seolah pembangunan kebudayaan telah dilakukan, padahal yang hadir hanyalah pengulangan logika industri hiburan: yang populer diberi ruang, sementara yang lain didorong ke pinggiran.
Di sinilah letak persoalan serius. Kebudayaan bukanlah panggung selebritas yang hanya bisa diisi oleh mereka yang punya akses dan jaringan politik. Kebudayaan adalah denyut hidup masyarakat, hasil dari kerja panjang para seniman, penulis, musisi, budayawan, dan komunitas yang sering kali justru bekerja dalam sunyi, jauh dari sorotan.
Menggeser pembangunan kebudayaan ke logika selebritisasi berarti menyingkirkan banyak potensi yang sebetulnya sedang tumbuh.
Lebih jauh lagi, kita sebetulnya memiliki dasar hukum yang jelas. Undang-undang mengamanatkan bahwa pemerintah kota wajib menyediakan gedung pusat kegiatan seni dan budaya. Ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan sebuah kewajiban nyata untuk memastikan masyarakat memiliki ruang berproses, berinteraksi, dan menumbuhkan kreativitas.
Namun, hingga kini, kewajiban tersebut tampak diabaikan. Alih-alih menyediakan ruang yang memadai, pemerintah kota lebih sibuk dengan agenda jangka pendek yang berorientasi pada pencitraan. Ruang seni publik yang seharusnya menjadi pusat kegiatan lintas disiplin justru jarang dibicarakan, apalagi diwujudkan.
Akibatnya, ekosistem seni di Bandung sering kali bergantung pada inisiatif komunitas kecil yang harus berjuang sendiri—dengan segala keterbatasan fasilitas, dana, maupun dukungan regulasi.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah soal persepsi. Dalam praktik kebijakan, kata “budaya” sering direduksi hanya pada seni tradisi. Tentu, seni tradisi adalah bagian penting dari identitas, dan sudah semestinya mendapatkan dukungan. Namun, membatasi budaya hanya pada dimensi tradisi berarti mengabaikan dinamika kebudayaan yang hidup hari ini.
Seni kontemporer—musik, teater, seni rupa modern, film independen, hingga sastra—adalah bagian tak terpisahkan dari pembentukan kesadaran budaya masyarakat. Karya-karya kontemporer sering kali lebih dekat dengan problem sosial-politik yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Ia menjadi cermin zaman, medium kritik, sekaligus ruang refleksi. Mengabaikan seni kontemporer sama artinya dengan memutus dialog masyarakat dengan realitasnya sendiri.
Peran Komunitas Alternatif

Meski pemerintah kota abai, bukan berarti denyut kebudayaan Bandung padam. Justru sebaliknya, banyak komunitas alternatif yang terus bergerak. Dari pasar buku murah, ruang diskusi sastra, hingga kolektif musik independen, mereka hadir dengan daya tahan yang mengagumkan. Komunitas-komunitas inilah yang menjaga api kebudayaan tetap menyala, meski tanpa fasilitas memadai dari negara.
Keberadaan mereka membuktikan bahwa kebudayaan tumbuh dari bawah, dari ruang-ruang kecil yang penuh dedikasi. Namun, ketahanan komunitas ini tidak bisa terus-menerus dijadikan alasan untuk membiarkan pemerintah abai. Sebab, jika dibiarkan berlarut, jurang ketimpangan akan semakin lebar: di satu sisi ada selebritisasi yang mendapat panggung, di sisi lain komunitas independen yang terus berjuang di pinggiran.
Jika Bandung ingin sungguh-sungguh menjadi kota budaya, pemerintah kota harus berani melampaui logika selebritisasi. Ada beberapa langkah mendasar yang seharusnya segera dilakukan:
Membangun Gedung Pusat Kegiatan Seni dan Budaya sebagaimana amanat undang-undang. Ruang ini harus inklusif, terbuka bagi semua disiplin seni, dan tidak dimonopoli oleh kelompok tertentu.
Mengubah cara pandang kebudayaan dari yang sempit (hanya seni tradisi) menjadi luas dan kontekstual, mencakup seni kontemporer dan sastra sebagai bagian integral.
Memberikan dukungan nyata bagi komunitas alternatif, bukan sekadar bantuan seremonial, tetapi akses reguler terhadap ruang, dana, dan jaringan kerja sama.
Menghentikan politik panggung selebritas, menggantinya dengan kebijakan berbasis kebutuhan ekosistem seni yang beragam.
Kebudayaan bukanlah sekadar acara hiburan di panggung besar, bukan pula seremoni yang penuh kamera. Kebudayaan adalah proses panjang yang lahir dari interaksi, refleksi, dan penciptaan. Bandung memiliki sejarah dan modal sosial yang kaya untuk benar-benar menjadi kota budaya, tetapi semua itu akan sia-sia jika pemerintah kota terus terjebak dalam logika selebritisasi.
Sudah saatnya kebijakan kebudayaan di Bandung diarahkan kembali ke jalur yang seharusnya: berpihak pada keragaman, menyediakan ruang bagi semua, dan memberi dukungan nyata pada para pelaku seni yang bekerja dengan kesetiaan. Tanpa langkah itu, slogan “Bandung Kota Budaya” hanya akan menjadi jargon kosong—hiasan retorika yang menutupi krisis sesungguhnya. (*)