Penghayat di Bandung dan yang Sedikit Aku Kenal tentang Mei Kartawinata

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Rabu 10 Sep 2025, 15:19 WIB
Foto Mei Kartawinata dan Altar Sesajen di Area Pemakannya, Ciparay, Kabupaten Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Foto Mei Kartawinata dan Altar Sesajen di Area Pemakannya, Ciparay, Kabupaten Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Di lembur-lembur yang bersahaja, Pakutandang, Cibedug, Cicalung, Puncak Bintang. Di kota yang mencoba merawat ingatan, Sarijadi, Batas Kota Cicaheum, Bandung Timur, dan luasnya Kota Bandung yang tak bisa kusebut lokasi persisnya. Aku menyaksikan betul mereka yang bertahan mengakar di tengah terpaan badai kecurigaan, ialah penghayat Kepercayaan. Penganut agama leluhur Nusantara.

Aku adalah kalangan luar, sepintas lalu momen kebetulan yang terpanggil dalam perjumpaan. Tidak ada ikatan darah, pun apalagi panji organisasi yang sama. Aku cuma punya sedikit modal tentang sesajen yang sempat ada di hajatan rumahku atau tradisi menjaga silsilah leluhur sendiri.

Kedekatan mereka pada tanah, mengingatkanku pada aba, seorang petani yang menggarap kebun di lereng Gunung Gede. Kalungguhan wanoja puanhayati, memancing kenangan datang kembali, Amih-nenekku dan sanggulnya yang dulu. Aku tidak pernah sejatuh cinta ini pada asap kemenyan yang membungbung atau ritmis kecapi suling, selain pada cerita Abah-kakekku yang akrab dengan amitsun jika hendak masuk ke belantara hutan bersama anjing-anjing kesayangannya.

Penghayat, awalnya aku kenali sebatas isu advokasi. Perundungan di sekolah, kolom agama, sampai sejarah pembunuhan yang kelam. Wacana tentang hak dan ruang pengakuan, seketika rasanya kering dan berjarak. Hingga semuanya berubah kala denyut kehidupan warga penghayat lirik berbisik sendiri kepadaku. Ada cerita tentang seorang ibu sepuh, goah, dan tanak nasi, juga kekhawatiran masa depan generasi penerus yang ditantang regulasi SEMA 2/2023 tentang larangan perkawinan beda agama.

Hangat kian menjalar, cerita banyak diudar. Di sela-sela ocehan ringan soal hantu-hantu lokal, aku mengambil arah lain, menuliskan tentang salah satu bagian terindah tentang mereka.

Untuk Apa Sekolah?

Seorang Ibu Sepuh sedang Mengambil Beras di Goah Rumahnya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Seorang Ibu Sepuh sedang Mengambil Beras di Goah Rumahnya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Dua tahun lebih kuhabiskan waktu untuk menyusun tugas akhir tentang sosok yang bernama Mei Kartawinata. Dialah penggali ajaran leluhur Sunda-Jawa yang lahir dan wafat di Bandung. Di belahan bumi yang sama ini, di kampus keagamaan negeri, di tengah dominasi pandangan klasik yang membenturkan dunia santri vs abangan, aku memberanikan diri maju memberi kesaksian.

“Anda bukan advokat, Anda akademisi!”, “Tidak objektif!”, begitu kira-kira sidang itu menggelegar menghantamku. Aku tidak menangis, air mataku sudah kutumpahkan jadi tinta percetakan, mencoba meniban kisah yang tidak pernah ditulis dengan adil. Ya, kuakui, aku berpihak dan skor 75 dari salah satu dosen itu akan kukenang.

Aku sadar, aku bukan orang besar yang bisa sendirian mengubah narasi pemenang sejarah. Tapi aku mau meneruskan jalan ikhtiar, jalan teladan Nabiku, dan jalan wahyu yang menerangkan “Janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil”.

Sebab bagiku, kesempatan tak pernah datang dua kali. “Martabat, beasiswa, dan gelar yang kuraih, untuk apa?” begitulah pikiranku bersemayam bersama dengan jemari yang berlari-lari di atas papan tik. Aku selalu diliput rasa takut tiap menuliskan tentang penghayat Kepercayaan. Aku selalu curiga pada diriku sendiri yang punya ambisi ingin dilihat keren dan sok kritis.

Padahal Mei Kartawinata yang riwayatnya kutulis, tak pernah menyiratkan sedikitpun tentang arogansi. Justru soal nilai hidup yang tulus dan berguna, soal mustikaning amal. Ajarannya menganjurkan orang untuk memenolong kepada yang membutuhkan, menalangi kepada yang susah, memberi petunjuk kepada yang bingung, dan mengantar kepada yang takut. 

Tutulung kanu butuh, tatalang kanu susah, tutuduh kanu linglung, nganganteur kanu keueung.

Dan dari mata air kebijaksanaan ini, aku mencoba meneguknya lalu menafsirkannya dalam penelitian. Bagiku relasi dengan warga penghayat Kepercayaan tak boleh sekadar diletakkan di atas rasa iba atau semata pada pesona subjek lokal yang kadung bias dipandang eksotis. Aku ingin duduluran, terlibat pada dialog sehari-hari, dan karya ilmiahku yang ditulis sesuai kaidah akademik layak dicoret-coret oleh suara mereka. Janganlah terburu-buru kagum, sebab pada praktiknya hal ini tidaklah mudah.  

Berkhayal Jadi Pahlawan

Sejak mengenal lebih dalam Mei Kartawinata, aku tak pernah absen menyimpan tanaman hanjuang (Cordyline fruticosa) di samping meja belajar di kamarku. Kala akarnya sudah tumbuh, aku selalu menanamnya di halaman. Semoga lebat memagari kami serumah. Sesepuh di keluarga bilang “Alus, tulak bala, panyinglar nu sirik, pidik, jail, kaniaya” (Bagus, tolak bala, pengusir yang iri, dengki, usil, dan zalim).

Sependek ingatanku dulu saat bercengkrama dengan salah seorang tokoh penghayat, hanjuang dimengerti sebagai simbol hana-juang (adanya perjuangan). Di altar sesajen tanaman ini menancap di dalam leher kendi tanah liat yang berisi air bening, katanya perlambang dari tanah-air. Waktu pertama kali mendengarnya, aku meremang takjub. Dahsyat, nasionalisme lokal yang otentik.

Atas sebab itu, jika aku sedang malas-malasan kutatap kembali tanaman berwarna ungu kemerahan ini. Laksana api yang membara, cepat menjalar dan menular, mengingatkan bahwa perjuangan tidak akan pernah padam. Aku pun bisa lanjut menulis.

Etos ini adalah benang merah yang memintal lembar demi lembar karya ilmiahku. Aku selalu tertegun dengan kiprah Mei

Kartawinata di atas panggung sejarah. Bukan saja tanggal lahir dan namanya yang bertaut dengan Hari Buruh, juga jiwa raganya sendiri. Inilah nadi yang abadi, memperjuangkan hak-hak sesama dan menolak penjajahan lahir batin.

Mei Kartawinata bukan hanya dipercaya sebagai tabib lokal yang mujarab. Lebih dari itu, ia turut memekikkan suara kemerdekaan, menggerakkan massa, dan berkali-kali harus ditangkap rezim kolonial. Wangsit yang diterimanya bukan sekadar alat mencapai keselamatan pribadi, namun bergeliat jadi kekuatan politik yang berbuah kesadaran akan kebangsaan yang bulat. Ia menggali Pancasila sampai ke relung yang terdalam, menyingkap maknanya sebagai landasan hidup yang melekat pada manusia Indonesia.

Hidup Mei Kartawinata begitu dekat dengan para petani, buruh kecil, dan pekerja-pekerja pinggiran. Hal ini mengingatkan kita pada situasi kiwari, ketika suara kaum alit tergerus kepentingan elit. Mereka yang bertahan di tengah riuhnya konflik lahan, dihimpit aturan kerja pabrik yang tak karuan, atau hidup dalam angan kosong jutaan lapangan pekerjaan baru. Gerakan PERMAI yang dipeloporinya (Peri Kemanusiaan, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia), seakan menagih kepekaan kini atas kondisi kemanusiaan yang raib ditelan kekuasaan. Pelanggaran hak asasi manusia masih saja terjadi, pembungkaman kebebasan berpendapat, penjegalan rumah ibadah, bunuh diri dan kemiskinan struktural, serta anak yang mati tak terurus.

Mei Kartawinata, aku berkhayal engkau menyandang gelar pahlawan, sebagai anak kandung Dayang Sumbi, putra asali Bandung. Aku tak pernah meragukanmu, sebab Bandung sendiri adalah rahim perjuangan yang melahirkan tekad untuk melawan penindasan. Dunia pun mengenalnya lewat perhelatan Konferensi Asia-Afrika 1955, ketika bangsa-bangsa berdiri bersama dan menyatakan kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan.

Tapi tak mengapa jika jalannya masih terjal atau mungkin tak ada yang mau peduli. Buatku sudah cukup lakonmu, mengajarkan cara mendengarkan degup jantung rakyat. Mama Mei Kartawinata suwargi, abdi nampi nuhun. Cag. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

Bandung, ABCD

Ayo Netizen 09 Sep 2025, 08:33 WIB
Bandung, ABCD

News Update

Ayo Jelajah 16 Des 2025, 10:07 WIB

Sejarah Universitas Padjadjaran, Lahirnya Kawah Cendikia di Tanah Sunda

Sejarah Universitas Padjadjaran bermula dari tekad Jawa Barat memiliki universitas negeri sendiri di tengah keterbatasan awal kemerdekaan.
Gedung Rektorat Universitas Padjadjaran. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 09:36 WIB

Dari Panggung Gigs ke Aksi Sosial di Flower City Festival 2025

Flower City Festival (FCF) 2025 sukses mengumpulkan dana senilai Rp56.746.500 untuk korban bencana di Sumatera.
Suasana Flower City Festival 2025 di Kopiluvium, Kiara Artha Park, Bandung (11/12/2025) (Sumber: Dokumentasi panitia FCF 2025 | Foto: ujjacomebackbdg)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 09:10 WIB

Berjualan di Trotoar, PKL Caringin Menginginkan Ruang Publik dari Wali Kota Bandung

PKL di Caringin yang berjualan di trotoar berharap ada penataan agar mereka bisa berjualan lebih tertib.
Sejumlah pedagang kaki lima yang tetap berjualan meski hujan di malam hari di kawasan Caringin 30-11-2025 (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Raifan Firdaus Al Farghani)
Beranda 16 Des 2025, 07:38 WIB

Suara Perempuan di Garis Depan Perlawanan yang Disisihkan Narasi Kebijakan

Dari cerita personal hingga analisis struktural, diskusi ini membuka kembali pertanyaan mendasar: pembangunan untuk siapa dan dengan harga apa.
Suasan diskusi buku “Pembangunan Untuk Siapa: Kisah Perempuan di Kampung Kami” Minggu (14/12) di perpustaakan Bunga di Tembok, Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Beranda 15 Des 2025, 21:18 WIB

Tanda Kerusakan Alam di Kabupaten Bandung Semakin Kritis, Bencana Alam Meluas

Seperti halnya banjir bandang di Sumatera, kondisi alam di wilayah Kabupaten Bandung menunjukkan tanda-tanda kerusakan serius.
Warga di lokasi bencana sedang membantu mencari korban tertimbun longsor di Arjasari, Kabupaten Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 20:05 WIB

Tahun 2000-an, Palasari Destinasi 'Kencan Intelektual' Mahasiswa Bandung

Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung.
 Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Farisi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 19:25 WIB

Benang Kusut Kota Bandung: Penataan Kabel Tak Bisa Lagi Ditunda

Kabel semrawut di berbagai sudut Kota Bandung merusak estetika kota dan membahayakan warga.
Kabel-kabel yang menggantung tak beraturan di Jl. Katapang, Lengkong, Kota Bandung, pada Rabu (03/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Masayu K.)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 18:08 WIB

Menghangat di Hujan Bandung dengan Semangkuk Mie Telur Mandi dari Telur Dadar JUARA

“Mie Telur Mandi” dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.
 “Mie Telur Mandi” dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:14 WIB

Mengukus Harapan Senja di Jatinangor

Ketika roti kukus di sore hari menjadi kawan sepulang kuliah.
Roti-roti yang dikukus kembali sebelum diberi topping. (Foto: Abigail Ghaissani Prafesa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:04 WIB

Selamat Datang di Kota Bandung! Jalan Kaki Bisa Lebih Cepat daripada Naik Kendaraan Pribadi

Bandung, yang pernah menjadi primadona wisata, kini menduduki peringkat sebagai kota termacet di Indonesia.
Deretan kendaraan terjebak dalam kemacetan pasca-hujan di Kota Bandung, (03/12/2025). (Foto: Zaidan Muafa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:52 WIB

Cerita Kuliner Nasi Tempong dan Jalanan Lengkong yang tak Pernah Sepi

Salah satu kisahnya datang dari Nasi Tempong Rama Shinta, yang dahulu merasakan jualan di gerobak hingga kini punya kedai yang selalu ramai pembeli.
Jalan Lengkong kecil selalu punya cara menyajikan malam dengan rasa di Kota Bandung, (05/11/2025). (Foto: Zaki Al Ghifari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:09 WIB

Lampu Lalu Lintas Bermasalah, Ancaman Kecelakaan yang Perlu Ditangani Cepat

Lampu lalu lintas di perempatan Batununggal dilaporkan menampilkan hijau dari dua arah sekaligus yang memicu kebingungan dan potensi kecelakaan.
Kondisi lalu lintas yang berantakan di perempatan Batununggal, Kota Bandung (4/12/25) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Amelia Ulya)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:56 WIB

Terjangkau namun Belum Efisien, Trans Metro Pasundan di Mata Mahasiswa

Mahasiswa di Bandung memilih bus kota sebagai transportasi utama, namun masih menghadapi kendala pada rute, jadwal, dan aplikasi.
Suasana di dalam bus Trans Metro Pasundan di sore hari pada hari Selasa (2/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dheana Husnaini)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:16 WIB

Bandung di Tengah Ledakan Turisme: Makin Cantik atau Cuma Viral?

Artikel ini menyoroti fenomena turisme Bandung yang makin viral namun sekaligus makin membebani kota dan lingkungannya.
Sekarang Bandung seperti berubah jadi studio konten raksasa. Hampir setiap minggu muncul cafe baru dan semuanya berlomba-lomba tampil seestetik mungkin agar viral di TikTok. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:36 WIB

Jalan Baru Literasi dan Numerasi di Indonesia: Berkaca pada Pendidikan Finlandia

Rendahnya kemampuan literasi dan numerasi siswa Indonesia berdasarkan data PISA dan faktor penyebabnya.
Butuh kerjasama dan partisipasi dari berbagai pihak dalam rangka mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak-anak negeri ini. (Sumber: Pexels/Agung Pandit Wiguna)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:28 WIB

Tahu Bakso di Pasar Sinpasa Summarecon Bandung: Lezatnya Paduan Tradisi dan Urban Vibes

Di sekitar Pasar Modern Sinpasa Summarecon Bandung, salah satu tenant mampu menarik perhatian siapa saja yang lewat: tahu bakso enak.
Tahu Bakso Enak. (Sumber: dokumentasi penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 12:06 WIB

Polemik Penerapan Restorative Justice di Indonesia sebagai Upaya Penyelesaian Perkara

Polemik restorative justice dibahas dengan menggunakan metode analisis normatif, namun pada bagian penjelasan contoh digunakan juga analisis sosiologis.
Ilustrasi hukum. (Sumber: Pexels/KATRIN BOLOVTSOVA)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:19 WIB

Babakan Siliwangi Perlu Cahaya: Jalur Populer, Penerangan Minim

Hampir setiap malam di wilayah Babakan Siliwangi penerangan yang minim masih menjadi persoalan rutin.
Suasana Babakan Siliwangi saat malam hari (4/12/2025) dengan jalanan gelap, mural warna-warni, dan arus kendaraan yang tak pernah sepi. (Sumber: Bunga Citra Kemalasari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:00 WIB

Kunci 'Strong Governance' Bandung

Strong governance adalah salah satu kebutuhan nyata Bandung kiwari.
Suasana permukiman padat penduduk di pinggir Sungai Cikapundung, Tamansari, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 08:31 WIB

Benarkah Budidaya Maggot dalam Program 'Buruan Sae' Jadi Solusi Efektif Sampah Kota Bandung?

Integrasi budidaya maggot dalam Program Buruan Sae menjadi penegasan bahwa pengelolaan sampah dapat berjalan seiring dengan pemberdayaan masyarakat.
Budidaya maggot di RW 9 Lebakgede menjadi upaya warga mengolah sampah organik agar bermanfaat bagi lingkungan sekitar. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)