Sekitar lima belas tahun ke belakang, pemandangan dalam foto ini adalah hamparan sawah hijau yang berundak-undak. Setiap pagi pemandangan seperti para petani yang merupakan masyarakat sekitar berjalan tanpa alas kaki, membawa cangkul dan istrinya yang mengikuti dari belakang sambil mengais tempat makan beserta lauknya untuk makan siang.
Dulu kawasan Sukamukti merupakan area yang tentram dan nyaman. Meski terletak di kabupaten Bandung tapi rasanya sedang pulang ke kampung halaman nan jauh di sana. Udara yang sejuk di pagi hari, burung-burung yang beterbangan mencari sumber makanan di sekitar sawah juga hijaunya hamparan sawah yang mengobati rasa lelah dari hirup-pikuk permasalahan hidup.
Berdasarkan beberapa informasi yang pernah saya dengar dari penduduk asli setempat, kawasan Sukamukti sudah sejak lama diminati investor dan kontraktor untuk dijadikan lahan komersial berupa perumahan. Namun kepala desa saat itu tidak menyetujui dengan alasan kelestarian lingkungan dan mempertahankan sumber kehidupan masyarakat sekitar.
Namun setelah berganti kekuasaan, mendadak sejumlah pemilik sawah menjual beberapa lahannya kepada para investor dan kontraktor. Semenjak itu pemandangan itu berubah menjadi puluhan rumah yang berjejer dengan cukup megah.
Permintaan Pasar akan Harga Rumah yang Murah
Di tengah harga lahan yang semakin mahal tentu banyak masyarakat yang menginginkan rumah murah meskipun berada di pelosok suatu daerah.
Dilansir dari CNBC, harga tanah di kota-kota besar Indonesia sudah tinggi dan bersaing dengan Ibu Kota Jakarta. Sementara di Bandung harga tanah sudah mencapai puluhan juta /m2 terutama di lokasi strategis seperti dago dengan harga 50-60 juta/meter.
Di tengah permintaan pasar akan masyarakat yang berbondong-bondong memiliki hunian yang murah. Pihak kontraktor melihat peluang pasar di masa depan yang bisa menghasilkan pundi-pundi uang.
Untuk menjual perumahan yang murah tentu diperlukan lahan atau tanah dengan harga paling murah. Sehingga pemilik bisa memenuhi permintaan pasar. Adapun tanah dengan harga murah biasanya terletak di pelosok daerah yang belum begitu diketahui banyak orang.
Daerah pelosok biasanya dipenuhi dengan sejumlah lahan berupa persawahan. Tak heran karena sebagian penduduk sekitar bertumpu pada pekerjaan menjadi petani dan bergantung pada beras untuk perputaran ekonomi. Namun karena profesi petani jarang mendapat kesejahteraan akhirnya mereka terbuai untuk menjual tanahnya dan beralih profesi menjadi pedagang.
Perumahan murah yang berada di pelosok suatu daerah sangat diminati oleh masyarakat perkotaan yang hidup dalam kalangan menengah yang berharap bisa mempunyai rumah hunian yang murah dan lingkungan yang nyaman. Rata-rata yang membeli hunian perumahan Al-Maas berasal dari daerah Kiaracondong, Antapani, Cimahi, Jakarta dan Cibiru.
Permasalahan Baru Ahli Fungsi Tanah

Persawahan yang berubah fungsi menjadi perumahan tentu punya beberapa dampak bagi lingkungan. Dilansir dari laman website Universitas Panji Sakiti tanah bekas sawah memiliki beberapa karakteristik.
Pertama, kontur tanah yang cenderung padat dan kedap air akibat dari tergenangnya lapisan bawah tanah. Serta berpotensi memiliki lapisan reduksi dan oksidasi juga kandungan organik yang dapat mempengaruhi drainase dan porositasnya. Membuat tanah memiliki kontur yang kurang stabil dan jika dijadikan hunian maka berpotensi amblas jika sebelum dibangun tidak dipadatkan terlebih dulu.
Kedua, menyebabkan kerapuhan. Tanah sawah biasanya gembur karena akan memudahkan akar tumbuh dan menyerap nutrisi. Tanah yang gembur juga meningkatkan sirkulasi udara dan tempat yang nyaman bagi aktivitas mikroorganisme.
Sementara ketika berubah menjadi lahan tempat tinggal, tanah yang gembur tersebut cenderung mudah bergeser dan tidak stabil sehingga menyebabkan keretakan pada pondasi dan dinding bangunan.
Ketiga, adanya potensi air yang kotor. Saya pernah beberapa kali mendengar keluhan dari masyarakat yang baru pindah ke perumahan Al-Maas. Sebagian dari mereka ada yang berasal dari Cimahi yang di tempat sebelumnya selalu mendapat fasilitas air yang jernih.
Sementara sekarang mengeluh karena air yang kotor, selain sulit digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Air yang kotor mempengaruhi kulit menjadi kering dan kusam bahkan hingga menyebabkan alergi pada beberapa yang punya masalah kulit sensitif.
Selain permasalahan tadi, beralihnya lahan persawahan menjadi perumahan menyebabkan permasalahan baru bagi lingkungan yaitu banjir. Meskipun Sukamukti berada dalam kawasan sungai Citarum tapi sepanjang saya pernah berdomisili di sana saya tidak pernah melihat banjir kecuali pada akhir tahun di bulan Desember.
Sukamukti biasanya hanya kedatangan banjir tahunan karena curah hujan di bulan Desember sangat tinggi itu pun tidak menggenangi rumah para warga hanya air yang meluap dari sungai Citarum menuju jalanan.
Namun setelah alih fungsi lahan tersebut daerah sekitar perumahan jadi banjir yang menyebabkan akses masyarakat terhalang saat hujan. Alih fungsi lahan tersebut menyebabkan berkurangnya daerah resapan air selama hujan. Sehingga air yang turun ke jalanan yang berubah menjadi aspal membuat air menggenang karena tidak bisa menyerap ke dalam tanah.
Manfaat Hadirnya Perumahan di Kawasan Sukamukti
Saat masih SMP daerah Sukamukti terkenal dengan daerah yang rawan dengan tingkat kriminalitas. Jumlah penduduk yang sedikit, lahan yang masih dipenuhi rumput ilalang dan berjejernya hutan bambu menjadi kesempatan bagi begal dan para pencuri untuk beraksi.
Dulu sekitar jam 7 malam, daerah Sukamukti sudah hening dan jarang sekali dilintasi kendaraan seperti motor atau mobil. Berbeda dengan tetangga sebelahnya yaitu Bojong Koneng yang sudah lebih dahulu berkembang secara pesat.
Tidak hanya sepi kawasan Sukamukti juga sangat minim dengan keberadaan warung dan penjual makanan. Beberapa masyarakat Sukamukti yang menginginkan jajanan pasti akan berkunjung ke Bojong Koneng.
Namun semenjak hadirnya perumahan Al-maas-- kawasan Sukamukti menjadi lebih hidup. Bertambahnya jumlah penduduk membuat Sukamukti menjadi tempat yang hangat karena hingga jam 10 malam kawasan ini masih ramai oleh hilir-mudik warga dan kendaraan yang melintas.
Meski masih ada desas-desus begal tapi kejadiannya tidak semasif dahulu. Warga setempat sudah mulai aware dengan tidak keluar di atas jam 12 malam. Beberapa yang menjadi korban biasanya warga di luar Sukamukti yang melintasi tengah malam untuk mencari jalan pintas.
Baca Juga: 'Ngamumule' Seni Sunda untuk Hidup dengan Silat Gajah Putih
Meski banyak dampak buruk dengan hadirnya perumahan tersebut tapi tak dapat dipungkiri perekonomian masyarakat sekitar meningkat dengan ditandai banyaknya warung dan pedagang yang menjual berbagai macam kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Perubahan memang seringkali membuat hati galau, dalam satu sisi bisa berpotensi terhadap tumbuhnya perekonomian rakyat tapi dampak buruk yang ditimbulkan bagi lingkungan juga tidak main-main. Hal ini menjadi tantangan baru bagaimana masyarakat modern untuk tetap bisa melakukan perubahan tanpa kerusakan dengan meminimalisir dampak buruk yang akan terjadi. (*)