MANG KABAYAN adalah tokoh legendaris masyarakat Sunda. Ia sering digambarkan sebagai manusia lugu, cerdik, jenaka, tetapi bijak. Akan tetapi, bagaimana jika tokoh legendaris itu ditampilkan dengan figur yang berbeda? Mungkinkah?
Dalam dunia fiksi, hal itu boleh dan sah-sah saja. Kekuatan dunia fiksi adalah berfantasi dan berimajinasi. Nah, dalam Longser Sunda “Kabayan Ngalalana”, Mang Kabayan ditampilkan sebagai sosok Profesor Kabayan, seorang penemu mesin waktu.
Dengan mesin ciptaannya, Mang Kabayan terseret ke berbagai masa: dari zaman Sangkuriang dan Dayang Sumbi di Bandung Purba, ke Batavia era Kompeni, hingga melesat jauh ke Tatar Sunda tahun 2750 Masehi, ketika Bandung kembali menjadi danau akibat bencana.
Narasi di atas bukan sekadar petualangan fantasi. Ia menyuguhkan refleksi tentang ingatan kolektif, tentang bagaimana orang Sunda melihat masa lalu, kini, dan masa depan. Ada kritik sosial, ada satire, ada humor, tapi juga ada nostalgia dan harapan.
Dimulai Selasa, 16 September 2025, setiap Selasa sepanjang September hingga Desember 2025, Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung akan menggelar Longser Sunda “Kabayan Ngalalana”--produksi Longser Bandung (LOBA)--karya sutradara Rosyid E. Abby, dan asisten sutradara Agus Injuk.
Longser Sunda “Kabayan Ngalalana” adalah sebuah karya yang tidak sekadar mementaskan longser atau sandiwara Sunda, tetapi menafsir ulang, menumbuhkan, dan menyalakan kembali energi tradisi di tengah Bandung hari ini.
Baca Juga: Lamsijan, Mang Kabayan, dan Langkanya Ilustrator Karakter Kesundaan
Longser dan Sandiwara Sunda: Dua Warisan, Satu Panggung
Longser tumbuh dari rakyat, cair, improvisatif, egaliter. Ia selalu memberi ruang partisipasi, sekaligus menjadi wadah kritik sosial yang dikemas dengan tawa.
Sandiwara Sunda, di sisi lain, lahir dengan struktur dramatik yang lebih tertata, menghadirkan narasi moral, romantika, dan konflik sosial dalam bingkai estetika Sunda.
Dalam “Kabayan Ngalalana”, keduanya tidak dihadirkan sebagai rekonstruksi. Ia lebih mirip teks hidup yang terbuka pada tafsir baru. Improvisasi longser dipadukan dengan disiplin dramatik sandiwara Sunda.
Lalu ditambah musik karawitan yang bertemu bunyi kontemporer, tari tradisi yang berbaur dengan gerak teatrikal, dan silat yang berjumpa koreografi modern. Hasilnya adalah sebuah pengalaman multisensorial: tradisi dan modernitas berdialog di atas panggung.
Baca Juga: Sejarah Dongeng Si Kabayan, Orang Kampung Pemalas yang Licin dan Jenaka
Dramaturgi Kolase
Alih-alih berjalan linear, dramaturgi “Kabayan Ngalalana” dibangun dengan pendekatan kolase. Fragmen-fragmen cerita disusun seperti mosaik: ada adegan, improvisasi, tarian, musik, hingga humor rakyat yang muncul bergantian.
Semua itu membentuk narasi besar tentang perjalanan budaya Sunda—tentang bagaimana masa lalu selalu menyapa masa kini, dan bagaimana masa kini selalu membayangkan masa depan.
Longser bukan sekadar nostalgia. Ia adalah gerak yang terus bergerak. Cara hidup yang menumbuhkan energi kreatif lintas generasi.
Salah satu daya tarik “Kabayan Ngalalana” adalah keterlibatan lintas komunitas seni: sanggar tari, kelompok musik, komunitas teater, hingga pesilat muda, mereka hadir bersama di atas panggung. Ada energi regenerasi yang mengalir.
Di sini, longser tidak hanya dipahami sebagai seni pertunjukan, tetapi sebagai “cara hidup bersama”. Ia memberi ruang bagi kritik sekaligus kebersamaan, bagi tawa sekaligus kesadaran sosial.
Mereka yang terlibat adalah komunitas dari Sanggar Sawarna Bandung, Sanggar Senapati, Lamda Art Production, Sanggar Alam Purnama, Komunitas Bumi Sastra, Sanggar Pratala Tandang, Creamerbox, Kotak Hitam Audiomotif, dan Kelompok 282.
Baca Juga: Stereotipe 'si Kabayan' Masih Menempel Laki-Laki Keturunan Sunda
Tradisi yang Menyala
Di tengah gempuran hiburan digital dan budaya instan, “Kabayan Ngalalana” menjadi penanda penting: bahwa seni tradisi tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga bisa berkembang, bergerak, dan relevan.
Ia tidak sekadar nostalgia masa lalu, tetapi penegasan bahwa budaya Sunda hidup di sini dan kini, dan akan terus menyala di masa depan.
Maka setiap Selasa malam di Rumentang Siang, Kabayan akan terus “ngalalana”— menyusuri waktu, menertawakan dunia, dan mengingatkan kita bahwa tradisi adalah perjalanan, bukan titik akhir. (*)