Dokumen komunitas pasar minggu Bandung (Foto: MIR)

Ayo Netizen

Ruang Belajar Kebudayaan dari Spanduk ke Kardus Sitaan

Selasa 30 Sep 2025, 13:19 WIB

Setiap tahun, negara sibuk mencanangkan program literasi: ada lomba membaca puisi, seminar literasi digital, hingga foto pejabat dengan buku di tangan. Semua tampak megah. Namun, di balik gegap gempita itu, literasi lebih sering berhenti di panggung. Ia direduksi menjadi proyek seremonial: ada spanduk, ada laporan, lalu bubar.

Padahal, literasi sejati adalah kemampuan untuk membaca dunia, memahami realitas, dan menciptakan makna baru darinya. Bukan sekadar membaca teks untuk dipamerkan di media sosial kementerian.

Era digital menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, akses terhadap musik, film, dan buku dari berbagai penjuru dunia kini terbuka lebar. Diskusi daring, kanal podcast, hingga forum budaya tumbuh di ruang digital.

Namun di sisi lain, arus budaya pop global lebih kuat dari budaya lokal. Anak muda lebih hapal tren TikTok daripada kisah tanah kelahirannya. Algoritma media sosial hanya mendorong konten yang viral, bukan yang reflektif. Akibatnya, literasi kerap dipahami sebagai scrolling cepat, bukan proses berpikir kritis.

Ironisnya, program literasi pemerintah tidak mampu menjawab tantangan ini. Alih-alih menciptakan ruang refleksi, banyak program justru terjebak pada angka dan pencitraan. Literasi pun berubah menjadi literasi instan—sekali seduh, sekali pakai.

Di tengah badai homogenisasi budaya, seni tetap hadir sebagai penopang identitas. Dari puisi protes, musik jalanan, hingga mural kota—seni menjadi ruang kritik dan refleksi. Ia menghubungkan masa lalu dengan masa kini, sekaligus menjaga warisan budaya agar tidak lapuk ditelan globalisasi.

Namun seni sering diperlakukan sebagai ornamen pencitraan. Gedung pertunjukan dibangun megah, tetapi seniman yang hidup dari karya sehari-hari tetap berjuang sendirian. Lagi-lagi, bentuk lebih diutamakan daripada isi.

Literasi Kardus: Buku Jadi Musuh

Ruang diskusi terbuka dapat menjadi ruang belajar untuk lebih menghargai opini ketimbang mengebiri ide-ide. (Sumber: Komunitas Pasar Minggu Bandung)

Puncak ironi literasi di negeri ini tampak dari peristiwa penyitaan buku-buku kiri. Judul-judul Marx, Lenin, hingga Pramoedya diperlakukan seolah-olah bom molotov. Kardus penuh sitaan dipamerkan, seakan-akan kerusuhan lahir dari halaman-halaman buku, bukan dari ketidakadilan sosial.

Beginilah wajah literasi kita: di ruang seminar kita diajari membaca, di jalanan kita diajari takut membaca. Negara bangga dengan slogan Gerakan Literasi Nasional, tetapi pada saat yang sama menjalankan Gerakan Literasi Kardus.

Berbeda dengan negara yang sibuk mengukur keberhasilan dengan angka, komunitas alternatif justru membangun ruang belajar kebudayaan yang nyata. Pasar Biru dengan pasar buku murahnya, Lawang Buku dengan diskusi kecilnya, atau Pasar Minggu di Jalan Garut No. 2 yang konsisten mengadakan forum bedah buku—semuanya memberi akses bacaan sekaligus membuka ruang refleksi.

Di sana, literasi bukan lomba membaca cepat, melainkan kesempatan untuk mempertemukan gagasan. Tidak ada spanduk besar, tidak ada pejabat yang berpidato, tapi justru di ruang-ruang sederhana itu literasi tumbuh sebagai praktik sehari-hari.

Kegagalan negara dalam membangun literasi lahir karena literasi direduksi menjadi acara, bukan proses. Buku yang seharusnya membuka jalan refleksi malah dicurigai. Seni yang seharusnya menjadi penopang kebudayaan malah diperlakukan sebagai dekorasi.

Ruang belajar kebudayaan seharusnya lahir dari perjumpaan, dari keberanian membuka teks, bahkan teks yang mengandung kritik pedas. Jika negara terus menutup buku dalam kardus, maka komunitaslah yang harus membukanya. Sebab literasi sejati bukan soal berapa banyak buku difoto di tangan pejabat, melainkan keberanian untuk membaca dunia apa adanya—meski pahit. (*)

Tags:
program literasikebudayaanruang belajar

Abah Omtris

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor