Ilustrasi korban perundungan. (Sumber: Pexels/Rahul)

Ayo Netizen

Untuk Bandung yang Bebas dari Perundungan

Selasa 30 Sep 2025, 16:16 WIB

Kita tidak akan sepenuhnya paham bagaimana rasanya di-bully, sebelum kita merasakan sendiri dampaknya. Membuktikan bahwa kita tidak bisa menjustivikasi korban untuk mengatakan, "Kenapa tidak melawan? Kenapa tidak lapor? Kenapa tidak menghindar?" serta kenapa yang lainnya.

Berdasarkan Survey Pengalaman Hidup Anak Remaja (SNPHAR) Tahun 2021 meggambarkan adanya situasi kekerasan terhadap anak laki-laki dan perempuan rentang usia 13-17 tahun baik di perdesaan atau perkotaan di Indonesia dalam masa 12 bulan terakhir dan sepanjang hidupnya.

Sementara menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri mengungkap ada 1 dari 7 anak di Indonesia pernah menjadi korban perundungan daring atau cyberbullying.

Survey di atas sekaligus mengungkapkan fakta mendalam tentang berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan fisik, seksual, emosional dan ekonomi yang dialami perempuan usia 15-64 tahun serta anak dan remaja.

Kasus terbaru terjadi pada mahasiswa baru UIN Bandung Prodi Jurnalistik yang meninggal dunia setelah terjatuh dari lantai 11 parkiran di Kings Mall Bandung berinisal AR.

Dilansir dari detikJabar, Ketua Prodi Jurnalistik UIN Bandung Aziz Maarif menceritakan sebuah fakta yang selama ini dipendam oleh korban. Berdasarkan informasi dari keluarga, selama SMA AR pernah menjadi korban bully dan sedang menjalani pengobatan mental.

Menjadi ironi ketika permasalahan di dunia pendidikan tidak hanya seputar gaji guru yang tidak sesuai, kualitas gedung dan tidak memadai, kasus pelecehan seksual yang melibatkan guru juga kasus pem-bully-an yang terjadi di kalangan para siswa.

Sekolah yang seharusnya menjadi media terdidiknya anak-anak yang berilmu dan bermoral, justru menjadi tempat yang tidak aman bagi pertumbuhan anak-anak dalam dunia pendidikan.

Pem-bully-an tidak hanya merampas kepercayaan diri seseorang tapi luka itu membekas sepanjang hidupnya. Korban perundungan bahkan seringkali melukai dirinya sendiri akibat depresi. Melakukan sejumlah pengobatan untuk menyembuhkan rasa traumanya. Meski sudah sembuh, jika terdapat suatu hal yang bisa men-trigger kejadian masa lalu, biasanya korban kembali mengingat rasa trauma itu.

Refleksi dari Kisah Nyata

Kita tidak akan sepenuhnya paham bagaimana rasanya di-bully, sebelum kita merasakan sendiri dampaknya. Membuktikan bahwa kita tidak bisa menjustifikasi korban untuk mengatakan, Kenapa tidak melawan Kenapa tidak lapor Kenapa tidak menghindar serta kenapa yang lainnya. (Sumber: Unsplash/Carolina)

Berdasarkan persetujuan dari seorang teman, dia menceritakan bagaimana dirinya bisa sembuh dari rasa trauma, bertahan hingga kembali hidup dengan kepercayaan yang mulai dibangunnya.

Sebut saja Lily (bukan nama sebenarnya). Perempuan yang saat ini berusia 29 tahun tersebut pernah mengalami perundungan sejak duduk di bangku SMA dan dunia kerja.

Bagi remaja pada umumnya, SMA adalah sekolah yang paling berkesan karena identik dengan pertemanan yang erat dan romansa percintaan. Namun bagi Lily, SMA adalah salah satu tempat yang paling menyeramkan sepanjang hidupnya. Lily termasuk anak yang pendiam dan tidak banyak bertingkah. Dirinya fokus setiap hari bersekolah hanya untuk belajar.

Teman-temannya mendekati dan berbuat baik padanya jika sedang membutuhkan jawaban soal ulangan, menyontek buku pekerjaan rumah (pr) dan menanyakan materi yang tidak dipahami ketika sudah dijelaskan oleh guru. Lily pernah dituduh memecahkan peralatan di laboratorium padahal dirinya sedang mengerjakan jurnal praktikum. Semua orang memandang sinis padanya bahkan gurunya pun tidak percaya dengan pembelaannya.

Justru guru tersebut berucap "Terus siapa yang mecahin ? Setan ?". Lily tidak bisa lagi banyak berbuat selain mengganti alat yang pecah bukan karena dirinya.

Selepas lulus ada satu orang temannya yang mengaku dan meminta maaf kepada Lily. Temannya mengungkapkan bahwa saat kejadian dia melihat yang menjatuhkan alat laboratorium bukanlah Lily tapi teman satu mejanya.

Kemudian Lily pernah dirundung secara verbal saat menggunakan baju dengan warna yang berbeda dengan teman lainnya. Temannya itu mengatakan bahwa baju Lily adalah baju bendera kematian karena berwarna hitam dengan polet kuning terang. Lily mengaku saat itu dia mengenakan baju yang berbeda karena tidak memiliki baju bernada serupa yang sudah disepakati teman-temannya saat perayaan buka bersama di Bulan Ramadhan.

Lily juga pernah dipanggil oleh wali kelas dan guru bk karena mendapat tuduhan telah membocorkan rahasia gaya berpacaran teman sebangkunya. Padahal Lily tidak pernah diajak berkomunikasi oleh teman sekelasnya terlebih untuk hal-hal yang bersifat pribadi. Beruntungnya wali kelas dan guru bk tidak percaya dengan segala hal yang dituduhkan kepada Lily. Kemudian ditemukanlah bahwa ada temannya yang lain yang mencoba untuk memprovokasi agar Lily semakin tidak disukai.

Saat itu Lily masih denial dengan segala kejadian yang diterimanya dan Lily dengan mudahnya memaafkan mereka bahkan saat teman-temannya tidak peduli untuk meminta maaf kepada dirinya.

Masuk dunia perkuliahan Lily mengaku cukup senang dan dirinya terbebas dari perundungan hanya saja kejadian berulang kembali saat Lily bekerja di suatu instansi. Kuliah sambil bekerja memang bukanlah hal yang mudah terlebih dirinya sering mendapat tekanan perundungan secara verbal dari rekan kerjanya.

Dua tahun pertama Lily merasa sangat nyaman bekerja di tempat tersebut. Hanya saja di tahun ketiga ada pergantian karyawan baru karena teman sebelumnya ada yang mendapat pekerjaan di tempat lain dan ada juga yang resign karena akan menikah.

Di tahun ketiga hingga ke tujuh menjadi tahun yang sulit bagi dirinya. Lily harus bertahan di lingkungan yang toxic demi menyelesaikan kuliahnya sambil mencari tempat kerja yang lebih baik. Lily mengaku dirinya tidak pernah mendapat perundungan secara fisik tapi yang sering didapatkannya adalah perundungan dalam bentuk verbal.

Lily sering mendapat nyinyiran dari rekan kerjanya untuk hal-hal yang bersifat sepele hanya karena dianggap lebih diandalkan oleh atasannya. Padahal menurut Lily ada hal yang seringkali teman-temannya tidak ketahui, bahwa dia pun pernah dimusuhi oleh atasannya selama satu bulan penuh karena pernah terlambat masuk kerja. Pernah dimarahi karena ketidaktelitiannya.

Sementara Lily melihat langsung ketika temannya melakukan kesalahan, justru atasannya memarahi dirinya dan berjanji akan menegur rekan lain saat pulang kerja. Namun faktanya, atasannya seringkali tetap tersenyum ramah kepada temannya dan tidak menegur kesalahannya. Sementara Lily sering melihat ekspresi atasannya mendadak berubah dari tersenyum jadi berwajah masam.

Setelah resign Lily cukup terdampak dari sikap perundungan teman-temannya. Emosinya sering meledak-ledak, mudah marah dan trauma untuk bertemu dengan pelaku perundungan. Bahkan ketika di undang untuk mengadakan acara perpisahan setelah resign, Lily memilih untuk menolak dengan berbagai alasan.

Meski demikian Lily merasa beruntung karena di tengah tekanan tersebut tidak pernah terlintas dari benaknya untuk mengakhiri hidup. Sejauh ini Lily belum pernah mendatangi psikolog secara khusus untuk berkonsultasi dengan intimate. Hanya saja Lily pernah mengikuti salah satu acara yang bertujuan untuk menyembuhkan luka yang berlokasi di Kota Bandung.

Lewat pemaparan materi perihal cara menyembuhkan luka dengan menuangkannya melalui kanvas dan melukis. Justru membawanya pada kegiatan menulis berupa journaling. Berdasarkan pemaparannya, Lily mengaku mengalami perubahan emosi yang lebih stabil setelah rajin membuat journaling selama tiga bulan terakhir.

Journaling membuat dirinya bisa meluapkan kekesalan yang selama ini menumpuk dalam hatinya. Journaling membuat dirinya bisa menyalurkan emosi, merenungi apa yang dirinya rasakan lalu menutup kisah kelamnya dengan cerita baru yang lebih membahagiakan.

***

Lewat kisah Lily saya belajar banyak hal, bagaimana tindakan perundungan bisa berdampak kepada kesehatan mental seseorang. Perundungan tidak bisa dianggap remeh ketika bersembunyi dibalik kata "Cuman bercanda ko, kamu aja yang baperan".

Lewat Lily saya berpandangan bahwa seharusnya pihak di lingkungan sekolah atau pekerjaan lebih memperhatikan apa yang terjadi dengan siswa dan para karyawannya. Jika terlihat tanda-tanda perundungan seharusnya segera di evaluasi dan jangan pernah menganggap sepele-sekecil apapun bentuk perundungannya.

Satu hal yang menurut saya bisa dilakukan untuk tidak memperpanjang perundungan adalah dengan peduli. Peduli ketika melihat teman kita dilakukan dengan cara yang berbeda oleh segelintir orang. Peduli dengan bertanya sederhana "Are You Okay?". Jangan justru menutup mata karena kamu tidak mengalaminya.

Saya percaya mereka yang memiliki mental pem-bully, akan terus melakukan perundungan kepada pihak-pihak yang dianggapnya lebih lemah dan tidak punya power untuk melawan. Jadi ketika korban pertama pergi maka bisa saja kamu yang menjadi target perundungan selanjutnya. Jangan sampai kamu baru sadar ketika kamu sendiri yang mengalaminya.

Semoga di kemudian hari Bandung lebih sehat dan peduli terhadap permasalahan mental juga terbebas dari lingkungan yang mencetak generasi perundungan.

Dan bagi kamu pelaku perundungan, yakinkah hidupmu tenang ? setelah merenggut banyak hak dan kebebasan seseorang untuk hidup aman dan damai. (*)

Tags:
Bandungbullyingperundungan

Dias Ashari

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor