Unggahan Akun Instagram @indocapsclub_bandung (30/09/22) yang Menampilkan Topi dengan Lambang Faravahar (Sumber: https://www.instagram.com/p/CjHdSdQvV45/?igsh=b3ZzbWxxMGhub3o= | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Ayo Netizen

Melacak Api Zoroaster di Kehidupan Sunda Kontemporer

Kamis 02 Okt 2025, 07:45 WIB

Di tengah ingar-bingar dunia Sunda modern, sebuah komunitas pecinta topi dengan akun Instagram @indocapsclub_bandung tampil menarik perhatian. Lewat bio profilnya "Pecinta Topi dari Tanah Sunda" komunitas ini membawa simbol yang unik ke dunia masa kini.

Salah satu unggahan (30/09/22) menampilkan topi hitam dengan lambang Faravahar, lengkap dengan caption “Justfitted Faravahar – Think Good, Talk Good, Do Good – Fitted Cap 7 5/8”. Admin akun mengakui dengan tegas bahwa desain topi ini terinspirasi dari simbol terkenal dalam Zoroastrianisme, salah satu agama tertua yang berasal dari Iran Raya.

Dalam bukunya “Reclaiming the Faravahar: Zoroastrian Survival in Contemporary Tehran” (2014), Navid Fozi menunjukkan bahwa Faravahar bukan hanya sekadar simbol religius, melainkan juga ikon identitas yang terus hidup di Iran modern. Dalam tafsir ajaran Zoroastrian masa kini, Faravahar dipahami sebagai pancaran cahaya Ahura Mazda yang bersemayam dalam diri manusia.

Sosok bersayap dengan kepala bergaya Achaemenid ini merangkum kosmologi Zoroastrian. Sayapnya terbagi tiga melambangkan pikiran, kata, dan perbuatan baik, ekornya mencerminkan kebalikannya, cincin di tengah menandakan waktu abadi, tangan kanan menunjuk ke depan sebagai ajakan pada jalan kebaikan, sedangkan tangan kiri menggenggam cincin janji etis.

Fozi juga menekankan bahwa dalam konteks Iran kontemporer, Faravahar telah melampaui batas keagamaan dan tampil di kalung, lukisan, hingga ornamen publik sebagai simbol kebanggaan nasional Persia. Meski kerap diperlakukan sekadar fesyen atau ikon sekuler, popularitas Faravahar justru memperkuat visibilitas tradisi Zoroastrian di ruang publik kiwari.

Keberadaan simbol Zoroastrian di masyarakat Sunda modern melalui komunitas ini menunjukkan soal warisan religi lama yang menemukan relevansi baru dalam budaya yang berbeda. Meski berasal dari dunia Persia lampau, prinsip Zoroastrianisme tentang moralitas dipandang sejalan dengan nilai-nilai orang Sunda kekinian. Logo komunitas yang menampilkan figur merah bergigi ompong mirip Si Cepot, menyatukan simbol sakral khas Zoroastrian dengan kesundaan, menciptakan dialog budaya yang unik.

Dengan sikapnya yang nyentrik dan terbuka, komunitas topi Bandung ini jelas membuktikan bahwa identitas Sunda modern tidaklah statis, melainkan ruang pertemuan yang cair.

Yang Dicatat oleh Orang Sunda

Di perbendaharaan Sunda hari ini, agama para Zoroastrian masih seperti bayang yang samar, jarang dikenal, meski jejaknya terselip halus dalam budaya kita.

Kamus SundaDigi milik Pusat Budaya Sunda Universitas Padjadjaran mencatatnya dengan nada yang ringkas namun penuh makna.

Di samping itu, terdapat juga entri Majusi yang menyingkap pada keberadaan agama penyembah api, tukang sulap, atau tukang sihir. Bahkan kata tersebut dalam kamus SundaDigi juga dimuat sebagai contoh nama orang yang sedang beraktivitas dengan api. Kalimatnya adalah sebagai berikut.

Peureum baé Majusi bari sasambat, bawaning selang-seling, tuluy disundutan, upet tina kakasang, reujeung seuneuna sakali, upetna tapas, leutik sami jeung bitis.

Pada ranah budaya populer Sunda, istilah yang sama juga muncul. Sebagai pembanding, di YouTube terdapat konten ceramah yang berjudul Hikayat Ki Majusi Tobat yang diunggah oleh saluran Kiyai Kobonk. Seolah menandai bahwa meski asing dan berjarak, api Zoroastrian tetap menyala di ruang percakapan orang Sunda, lembut tak padam.

Dari Majusi ke Mazdayasna

Tapi tahukah kita, bahwa kata Majusi yang kita warisi tersebut bagaikan benang halus yang mengikat dunia lama dan baru. Ia berkelindan dengan diksi magis, magic, dan magician dalam bahasa global. Dari magos Yunani, yang lahir dari magu Persia kuno dan berarti “imam” atau “pendeta”, kata itu menembus sejarah, menuntun kita ke suku Median di Iran Barat Laut, tempat para magoi mengajar, membimbing, dan memelihara api spiritual bagi Median maupun Persia.

Seperti dijelaskan Mary Boyce dalam “Zoroastrians: Their Religious Beliefs and Practices” (2001), ketika Koresh Agung menegakkan Persia Achaemenid, dunia Yunani mengenal mereka sebagai filsuf dan pendeta Persia, sementara Zoroaster muncul sebagai guru, cahaya di tengah kegelapan. Dari sinilah sebutan Majusi muncul lalu merujuk pada Zoroastrian, menekankan peran suci dalam agama dan ritual.

Namun perjalanan kata itu tak selamanya mulus. Setelah penaklukan Islam di Iran, label seperti Atash-parast, Majus, dan Gabr menodai maknanya, mengubah cahaya menjadi hinaan. Gabr adalah kata Arab dari “kafir”, dan sastra Persia abad pertengahan menandai Zoroastrian sebagai “musuh Tuhan” (Navid Fozi, 2014).

Api yang Identik dengan Zoroaster (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Jenny Rose dalam “Zoroastrianism: An Introduction” (2011) menekankan pentingnya menggunakan istilah jamak, seperti “Zoroastrian beliefs and practices” atau “Zoroastrianisms”, untuk mencerminkan keragaman internal tersebut. Meski pada dasarnya istilah-istilah ini masih berakar dari bahasa Yunani, yang tidak selalu mencerminkan cara komunitas ini memandang dirinya sendiri.

Padahal para penganut lebih sering menggunakan istilah seperti Mazdayasna (penyembahan Ahura Mazda), daena Mazdayasni (agama penyembahan Mazda), atau Zarathushti Din (agama Zarathushtra) sebagai ekspresi autentik dari identitas dan praktik religius mereka.

Keragaman ini juga terlihat dari ritual, etika, dan interpretasi Gathas, dari Parsis India hingga Zoroastrian Iranis, dari yang menekankan kesalehan, etika, hingga prinsip totalitas spiritual. Figur Zarathustra sendiri, seperti cahaya di cermin berlapis. Ia memantulkan kebijaksanaan dan moralitas ke dunia luar. Kini, banyak Zoroastrian mereklamasi citra itu, menenun identitas “Zarathustri” dalam praktik dan spiritualitas sehari-hari.

Sunda dalam Dunia yang Multikultural

Seperti yang dijelaskan oleh Joobin Bekhrad dalam artikelnya “This Obscure Religion Shaped The West” (BBC, 6 April 2017), jejak Zoroaster di dunia modern terserak dalam gagasan, simbol, dan identitas yang membentuk budaya populer dan pemikiran Barat.

Api dan cahaya tetap menjadi simbol kesucian dan kebenaran, terlihat dalam kuil, ritual, dan cerita artistik. Gagasan Zoroaster tentang kebaikan versus kejahatan, surga dan neraka, dan tanggung jawab moral manusia menembus ke dalam jantung agama-agama Abrahamik, filsafat Yunani, hingga literatur Renaisans dan musik modern, dari Dante hingga Richard Strauss.

Identitas Zoroastrian juga hidup dalam tokoh nyata seperti Freddie Mercury dan dalam cerita fiksi seperti Voltaire’s Zadig, memberikan teladan etika, ketekunan, dan pencarian kebijaksanaan. Bahkan kisah epik modern, seperti Star Wars atau Game of Thrones, meminjam motif kosmik dan simbolik yang berakar dari ajaran Zoroaster, menegaskan bahwa warisan lama ini terus menari dalam imajinasi dan praktik dunia kontemporer.

Kita mungkin memakai kaos-kaos distro yang menampilkan simbol-simbol Zoroaster, hingga mendengarkan lagu-lagu Freddie Mercury yang masuk ke dalam daftar lagu favorit. Termasuk mengikuti cerita-cerita fiksi soal pertempuran kosmik dalam film maupun sastra kontemporer.

Semuanya berduyun-duyun meminjam estetika dan gagasan Zoroaster tanpa menampakkan sumber aslinya. Warisan itu jelas telah berubah bentuk, bertransformasi dari kedalaman ritual dan keyakinan menjadi produk budaya sekuler yang akrab dengan kita.

Namun, tetap ingatlah bahwa makna itu tidak hilang sepenuhnya. Ia tetap hadir sebagai metafora moral dan simbolik. Api klasik Zoroaster, muncul di layar, sampul buku, sablon, sampai lirik lagu, mengingatkan kita pada pertarungan abadi antara Ahura Mazda dengan Angra Mainyu (Ahriman). Esensi yang meresap dalam imajinasi kreatif.

Barangkali kita tidak terhubung langsung dengan sejarahnya. Implisit, tak mengapa, yang penting tetap menyalakan dan menegaskan bahwa Sunda terhubung dengan agama-agama yang jauh ada di sana. Dengan dunia yang multikultur. (*)

Tags:
ZoroasterSundakepercayaanagamakebudayaan

Arfi Pandu Dinata

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor