Pembahasan mengenai aparatur sipil negara (ASN) kembali mengemuka seiring dengan rencana penghapusan tenaga honorer dan percepatan pengangkatan mereka menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Isu ini bukanlah hal baru, tetapi terus menjadi perbincangan karena menyangkut jutaan orang yang selama bertahun-tahun bekerja di lingkaran birokrasi, namun tidak memiliki kepastian status maupun perlindungan yang layak.
Kementerian PANRB beberapa waktu terakhir menegaskan bahwa manajemen ASN harus berbasis sistem merit. Prinsip ini menekankan bahwa pengelolaan pegawai negara harus didasarkan pada kompetensi, kualifikasi, dan kinerja, bukan pada pertimbangan politis atau kedekatan personal.
Di atas kertas, gagasan meritokrasi ini sudah lama diperjuangkan. Namun, di lapangan, realitasnya masih jauh dari ideal.
Warisan Sistem Honorer
Sejak awal reformasi birokrasi digulirkan, keberadaan tenaga honorer menjadi paradoks yang sulit diurai. Di satu sisi, pemerintah pusat dan daerah membutuhkan tenaga tambahan untuk mengisi kekosongan layanan publik.
Di sisi lain, keterbatasan kuota penerimaan ASN membuat pintu rekrutmen resmi sangat terbatas. Jalan pintas pun ditempuh: menggunakan tenaga honorer dengan kontrak minimal, gaji rendah, dan jaminan kesejahteraan yang terbatas.
Selama lebih dari dua dekade, skema honorer ini membentuk lapisan tenaga kerja yang besar di tubuh birokrasi. Mereka bekerja di sekolah, puskesmas, kantor desa, hingga instansi pemerintah, tetapi statusnya menggantung. Tidak sedikit dari mereka yang bekerja belasan bahkan puluhan tahun, tetapi tetap berstatus honorer.
Ironinya, keberadaan mereka justru membuat roda pelayanan publik tetap berjalan. Guru honorer mengajar di kelas, tenaga medis honorer melayani pasien, staf honorer menjalankan administrasi. Dengan kata lain, birokrasi kita hidup dari tenaga honorer, tetapi tidak memberi mereka kepastian.
Agenda Meritokrasi
Dalam kerangka reformasi birokrasi, penghapusan tenaga honorer adalah agenda penting. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN dengan jelas mengamanatkan bahwa pegawai pemerintah hanya terdiri atas dua kategori yaitu PNS dan PPPK. Honorer seharusnya dihapuskan. Namun, implementasi amanat ini berkali-kali tertunda karena kompleksitas politik, anggaran, dan resistensi sosial.
Sistem merit sejatinya dimaksudkan untuk mengakhiri praktik rekrutmen tidak resmi dan memastikan bahwa setiap ASN direkrut melalui seleksi yang transparan dan adil. Tanpa penerapan merit, birokrasi rentan disusupi kepentingan politik, nepotisme, atau praktik transaksional. Karena itu, transisi dari honorer ke PPPK seharusnya dipandang sebagai langkah strategis menuju birokrasi profesional.
Namun, di sinilah tantangan muncul. Bagaimana mengintegrasikan jutaan honorer dengan latar belakang pendidikan, kompetensi, dan pengalaman yang beragam ke dalam kerangka meritokrasi? Bagaimana memastikan bahwa proses pengangkatan tidak sekadar formalitas, tetapi benar-benar mempertimbangkan kualitas?
Setiap kali isu honorer mengemuka, gelombang resistensi muncul dari berbagai arah. Pemerintah daerah khawatir akan beban anggaran. Tenaga honorer cemas dengan kemungkinan tidak lolos seleksi. Sementara itu, parlemen kerap memberi tekanan politik agar proses pengangkatan dipermudah.

Dalam situasi ini, meritokrasi sering kali dikompromikan. Seleksi cenderung dilonggarkan, standar kompetensi diturunkan, bahkan ada wacana pengangkatan otomatis demi meredakan gejolak sosial. Akibatnya, sistem merit yang seharusnya menjadi pilar reformasi justru melemah di hadapan tekanan politik jangka pendek.
Namun, kita juga tidak boleh menutup mata terhadap realitas sosial. Banyak tenaga honorer yang memang telah lama bekerja dengan dedikasi tinggi. Mereka mengisi kekosongan layanan publik yang tidak mampu ditangani oleh ASN resmi. Mengabaikan pengorbanan mereka tentu tidak adil. Di sinilah perlunya keseimbangan antara meritokrasi dan keadilan sosial.
Selain soal status, isu honorer juga terkait dengan kesejahteraan. Gaji rendah, ketiadaan jaminan kesehatan dan pensiun, serta beban kerja yang berat adalah kenyataan sehari-hari. Transformasi mereka menjadi PPPK diharapkan bisa memperbaiki kondisi ini. Namun, perlu dicatat bahwa PPPK tetap berbeda dengan PNS dalam hal kepastian karier dan hak pensiun.
Perdebatan pun muncul, apakah PPPK cukup menjawab kebutuhan kesejahteraan? Ataukah status ini hanya menjadi kompromi setengah jalan yang masih meninggalkan ketidakpastian jangka panjang?
Pertanyaan ini penting, mengingat ASN adalah tulang punggung birokrasi. Bagaimana mungkin birokrasi bisa melayani publik dengan baik jika para pegawainya masih bergelut dengan masalah kesejahteraan dasar?
Arah Reformasi Birokrasi
Dalam konteks yang lebih luas, isu honorer mencerminkan arah reformasi birokrasi kita. Reformasi birokrasi bukan hanya soal memangkas prosedur atau mempercepat layanan, tetapi juga tentang membangun sumber daya manusia yang profesional dan sejahtera. Tanpa itu, jargon birokrasi kelas dunia hanya akan menjadi retorika kosong.
Ada beberapa langkah yang perlu diperkuat.
Pertama, penataan data honorer secara akurat. Selama ini, data jumlah honorer sering simpang siur, sehingga menyulitkan perumusan kebijakan.
Kedua, penerapan seleksi berbasis kompetensi dengan tetap memberi afirmasi bagi tenaga honorer yang sudah lama mengabdi.
Ketiga, penyediaan anggaran yang realistis agar daerah tidak terbebani secara berlebihan. Keempat, penyamaan standar kesejahteraan ASN, baik PNS maupun PPPK, agar tidak terjadi diskriminasi di tempat kerja.
Penghapusan tenaga honorer bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan agenda besar reformasi birokrasi. Ia menyangkut jutaan orang, stabilitas politik, dan masa depan pelayanan publik. Keberhasilan agenda ini akan menentukan apakah birokrasi Indonesia benar-benar bergerak menuju sistem meritokrasi atau kembali terjebak dalam kompromi politik yang melemahkan.
Pada akhirnya, isu honorer adalah cermin wajah birokrasi kita yaitu antara idealisme meritokrasi dan realitas politik serta sosial. Jalan menuju birokrasi profesional masih panjang, tetapi langkah berani harus diambil. Tanpa itu, ASN hanya akan menjadi jargon kebijakan, bukan mesin pelayanan publik yang andal. (*)