Wiwid Prasetyo atau sering juga dipanggil dengan nama Prasmoedya Tohari merupakan seorang penulis kelahiran Semarang Tahun 1981. Dalam kesehariannya Wiwid aktif menulis di Majalah Furqon dan PESANtrend.
Novel ini dibuat karena penulis terinspirasi oleh tetralogi Laskar Pelangi yang dibuat oleh Andrea Hirata. Keprihatinannya atas nasib teman-temannya yang tak punya kesadaran sekolah sangat berpengaruh pada kehidupannya saat dewasa.
Bagi Wiwid dunia pendidikan dan dunia kepenulisan adalah dua dunia yang saling melengkapi. Pendidikan tanpa keahlian menulis hanya akan menjadikan materi pendidikan hilang tak berbekas. Sementara jika hanya memahami dunia kepenulisan tanpa mempunyai jiwa pendidik menyebabkan pendidikan itu tak mempunyai saluran yang tepat. Untuk itu buku ini hadir untuk menggabungkan keduanya.
Novel ini menceritakan tentang seorang siswa bernama Faisal beserta ketiga sahabatnya yang mendapat julukan anak alam bernama Pepeng, Pambudi dan Yudi. Faisal merupakan anak istimewa karena daya nalarnya yang melebihi dari usianya. Faisal punya keinginan yang kuat untuk mendorong ketiga sahabatnya untuk bersekolah.
Konon ketiga sahabat Faisal merupakan anak yang terlahir dari keluarga kurang mampu yang sebagian orang tuanya bekerja sebagai buruh pada peternakan sapi milik Yok Bek. Ketiganya tidak memiliki cita-cita untuk bersekolah karena sejak kecil mereka sudah membantu beban ekonomi keluarga.
Sementara Faisal memiliki pandangan yang jauh perihal pendidikan. Baginya pendidikan bisa menjadi jalan bagi seseorang untuk memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Melalui pendidikan setidaknya anak tidak mengulangi garis kemiskinan yang sempat diturunkan. Melalui pendidikan seseorang bisa dihargai dan mendapatkan berbagai macam pilihan dalam kehidupannya. Pendidikan juga bisa membuat peluang kesempatan untuk masa depan.
Usahanya untuk memberikan pesan perihal pentingnya pendidikan kepada ketiga sahabatnya tidaklah mudah. Mulai dari membangun sikap mental terhadap penerimaan diri. Anak yang lahir dari keluarga miskin biasanya memiliki rasa kepercayaan diri yang rendah juga merasa terasing dari dunia orang-orang disekitarnya. Tak hanya itu keterbatasan pembiayaan untuk sekolah juga menjadi hambatan dari ketiga sahabatnya.
Saat pekerjaan ketiga orang tuanya hilang karena demo dari masyarakat yang merasa peternakan sapi yang dikelola telah mencemari lingkungan. Ketiga orang tuanya terpaksa berhenti kerja dan meratapi nasib karena tidak bisa bekerja di tempat lain yang menuntut ijazah sebagai syarat menjadi karyawan.
Ketiga sahabat Faisal sempat menyerah karena mereka juga tak sanggup membayar biaya sekolah. Namun berkat usahanya untuk berjualan pisang goreng juga berkat bantuan dari salah satu guru yang membantu mengajukan dana sekolah ke pemerintah, ketiganya bisa menjalani perjalanan sekolah menjadi lebih ringan.
Faisal selalu mengajarkan kepada sahabatnya untuk tidak takut bermimpi meski dalam kondisi tersulit sekalipun.
Selain mengajarkan tentang mimpi untuk ketiga sahabatnya. Faisal si bocah ajaib juga meretas buta huruf dan angka di kampungnya. Mengenalkan literasi kepada warga yang dibelenggu kebodohan dengan cara mengajar baca dan tulis untuk masyarakat sekitar. Bahkan Faisal bisa mengubah kepercayaan masyarakat kepada dukun menjadi sirna.
Setelah membaca buku ini saya belajar satu hal bahwa tidak selamanya kebodohan bisa dilawan oleh kepintaran. Melalui Faisal saya melihat bahwa kebodohan dari seorang dukun hanya bisa dilawan dengan keabsurdan.
Dengan latar belakang sosial yang penuh dengan tekanan, cerita dalam novel ini menyuguhkan dinamika antara harapan dan realitas yang terkadang menyesakkan. Pembaca tidak hanya diajak untuk bersimpati tapi sekaligus berefleksi kepada siapa saja yang memiliki hidup yang layak sehingga bisa mengakses pendidikan dengan mudah tapi sering malas dan sering lupa untuk bersyukur dan memaksimalkan privilege yang ada. (*)