“Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
***
Pemikiran Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita bahwa disiplin bukan hasil paksaan, melainkan buah dari proses pendidikan yang menumbuhkan kodrat anak menuju kesadaran dan tanggung jawab. Sayangnya, kedisiplinan di sekolah sering dipersepsikan sebatas aturan datang tepat waktu, berpakaian rapi, atau mematuhi tata tertib. Padahal, di balik rutinitas itu, disiplin adalah proses panjang untuk melatih tanggung jawab, kemandirian, dan rasa hormat terhadap kehidupan bersama.
Hari ini, membangun disiplin berarti menumbuhkan kesadaran diri, bukan sekadar menuntut kepatuhan (what). Generasi Z yang hidup di dunia serba cepat dan terbuka lebih menghargai alasan (why) di balik aturan daripada sekadar perintah. Mereka butuh keteladanan, bukan tekanan. Karena itu, sekolah punya peran penting untuk menghadirkan disiplin sebagai budaya hidup, bukan sesuatu yang dipaksakan.
Di sinilah peran guru bimbingan konseling (BK) danpembina kegiatan ekstrakurikuler menjadi penting. Guru BK mungkin jarang terlihat di depan kelas, tetapi merekalah penjaga arah moral siswa. Dengan pendekatan yang tenang dan humanis, guru BK membantu siswa memahami disiplin sebagai pilihan sadar untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Nilai-nilai BerAKHLAK sebagai akronim dari berorientasi pelayanan, akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif, bisa menjadi panduan dalam proses ini.
Sementara itu, kegiatan ekstrakurikuler menjadi ruang praktik penerapan nilai-nilai displin dan bela negara. Melalui Pramuka, PMR, Paskibra, OSIS, atau klub olahraga dan seni, siswa belajar tentang waktu, tanggung jawab, dan kerja sama. Di sanalah benih-benih nilai bela negara tumbuh, dari latihan dan kegiatan kelompok, tumbuh rasa cinta tanah air, solidaritas, dan semangat berkorban menjadi tunas dalam pengalaman nyata.
Pembentukan kedisiplinan dan karakter bela negara merupakan tanggung jawab kolektif seluruh entitas di sekolah. Guru BK, guru mata pelajaran, dan pembina ekskul perlu bekerja bersama. Guru mata pelajaran menumbuhkan disiplin akademik, guru mengarahkan nilai moral, sementara pembina ekskul memberi membangun pengalaman sosial dan kebangsaan. Jika ketiganya bersinergi, sekolah menjadi ekosistem pembentukan karakter yang hidup dan berkelanjutan.
Aktivitas siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler jarang dihargai sebagai bentuk prestasi siswa. Sekolah lebih menonjolkan capaian akademik. Penghargaan tidak selalu berupa piala atau sertifikat, tetapi bisa dalam bentuk apresiasi moral dan pengakuan. Hal ini akan menumbuhkan semangat siswa untuk terus berdisplin dan berkontribusi.
Agar upaya pembentukan kedisiplinan melalui internalisasi nilai, bimbingan konseling, dan kegiatan ekstrakurikuler berjalan seragam, Dinas Pendidikan perlu hadir dengan kebijakan dan panduan yang jelas bagi sekolah (negeri/ swasta), termasuk sekolah rakyat, agar memiliki arah yang sama dalam menanamkan nilai-nilai kedisiplinan dan bela negara.
Dengan panduan yang jelas, setiap sekolah dapat bergerak serentak. Guru BK memiliki peta nilai, guru mata pelajaran punya orientasi karakter, dan pembina ekskul memiliki ruang aktualisasi yang terukur. Pendekatan yang seragam bukan berarti meniadakan kreativitas sekolah, tetapi justru memastikan bahwa setiap inovasi karakter tetap berpijak pada nilai dan cita-cita pendidikan nasional.
Sekolah Reguler atau Sekolah Rakyat?

Belakangan, perbincangan tentang sekolah rakyat menjadi topik yang hangat. Sekolah Rakyat adalah program pendidikan gratis berasrama yang diinisiasi pemerintah untuk anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan yang merata dan terjangkau.
Pemerintah melalui kementerian sosial menanggung seluruh biaya siswa, termasuk akomodasi, makan, dan kebutuhan dasar lainnya, sekaligus membekali siswa dengan keterampilan, pola pikir positif, dan karakter yang kuat.
Sekolah rakyat dan sekolah reguler mungkin berbeda bentuk maupun pengelolaanya, tetapi keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu menumbuhkan manusia Indonesia berkarakter, berdisiplin, dan cinta tanah air. Di sekolah reguler disiplin dibangun melalui tata tertib, jadwal belajar, serta ruang ekspresi yang memberi kebebasan dan tanggung jawab kepada siswa di luar kelas.
Sementara itu, di sekolah rakyat disiplin ditempa melalui sistem pembelajaran residensial (diasramakan) untuk menumbuhkan kebersamaan, menghargai waktu, menanamkan tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun sesama.
Bangsa besar tidak lahir dari gedung-gedung megah, tetapi dari karakter warganya yang kuat. Disiplin tumbuh dari kesadaran, cinta tanah air lahir dari pengalaman terasa menghidupkan pesan Soekarno, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, dan pahlawan masa kini adalah mereka yang belajar, berdisplin, jujur, dan bekerja keras membangun bangsanya. (*)