Kapan Terakhir Kali Seorang Anak Bilang: Aku Senang ke Sekolah?

Taufik Hidayat
Ditulis oleh Taufik Hidayat diterbitkan Rabu 13 Agu 2025, 18:43 WIB
Opini ini menggambarkan bagaimana keadaan pendidikan kita yang masih belum mampu membangun nalar kritis anak didiknya. (Sumber: Pexels/Haidar Azmi)

Opini ini menggambarkan bagaimana keadaan pendidikan kita yang masih belum mampu membangun nalar kritis anak didiknya. (Sumber: Pexels/Haidar Azmi)

Bayangkan suatu hari, di mana anak-anak bangun pagi dengan mata berbinar, bukan karena takut terlambat upacara atau terlambat masuk kelas, tetapi karena penasaran: apa yang akan aku pelajari hari ini?

Bayangkan ruang kelas di mana guru bukan sekadar "tukang ceramah" di depan papan tulis, tetapi fasilitator yang memantik diskusi—tentang mengapa Siti Nurbaya menolak tunduk pada adat yang mengekangnya, bagaimana perspektif Marxis membaca kemiskinan di kampung-kampung, atau apa hubungan algoritma TikTok dengan kebebasan berekspresi.

Sayangnya, kenyataan kita justru berbanding terbalik. Sistem pendidikan kita masih terjebak dalam mentalitas kolonial: mencetak pekerja patuh, bukan pemikir merdeka. Kita mengajarkan Pancasila sebagai teks hafalan, bukan sebagai pisau analisis untuk mengupas ketidakadilan sosial.

Kita dulu mengagungkan nilai UN, kini nilai AKM, tapi abai pada pertanyaan mendasar: apa artinya semua angka itu kalau anak-anak tak mampu berpikir jernih tentang masalah nyata di sekitar mereka?

Kebebasan yang Ditakuti

Goenawan Mohamad pernah menulis bahwa kebebasan bukanlah “keliaran”, melainkan ruang untuk tumbuh. Tetapi lihatlah kelas-kelas kita: murid dimarahi karena menjawab di luar “kunci jawaban”, siswa SMK dipaksa kerja rodi di pabrik atas nama “magang”, mahasiswa dibungkam karena dianggap “mengganggu ketertiban”.

Kita begitu takut pada kebebasan berpikir, seakan lupa bahwa semua terobosan besar dalam sejarah lahir dari keberanian melawan pakem.

Paulo Freire, seorang pemikir pendidikan asal Brasil, mengkritik hal ini lewat konsep pendidikan gaya bank. Dalam model itu, guru seperti kasir yang “menyetor” informasi ke kepala murid, seakan otak anak hanyalah brankas kosong.

Tak ada ruang dialog, tak ada proses bertanya balik. Bagi Freire, pendidikan sejati adalah dialogis: guru dan murid sama-sama belajar, bertukar pandangan, dan membentuk kesadaran kritis (critical consciousness). Tujuannya bukan sekadar “tahu”, tetapi sadar—agar bisa mengubah dunia di sekitarnya.

Banyak yang mengira pendidikan berkualitas tinggi harus penuh ujian, ranking, dan persaingan. Finlandia membuktikan sebaliknya. Di sana, ujian standar hampir dihapus; satu-satunya tes nasional dilakukan ketika siswa berusia 16 tahun. Tak ada ranking sekolah, tak ada lomba nilai antar-murid.

Guru dipercaya penuh untuk merancang kurikulum sesuai kebutuhan lokal—bahkan dua kelas di sekolah yang sama bisa punya pendekatan berbeda, asalkan tujuannya jelas: membuat anak mengerti, bukan sekadar mengingat.

Jam belajar pun lebih singkat daripada di Indonesia, memberi ruang untuk bermain, berorganisasi, atau sekadar menikmati waktu bersama keluarga.

Anehnya, justru dengan “longgar” seperti ini, Finlandia konsisten berada di peringkat atas dalam tes internasional seperti PISA. Mengapa? Karena mereka memahami bahwa pendidikan bukan maraton hafalan, melainkan proses menumbuhkan rasa ingin tahu dan kemampuan berpikir kritis.

Tradisi Kebebasan Berpikir di Nusantara

Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Padjajaran. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Padjajaran. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)

Sebagian orang menolak gagasan kebebasan akademik dengan dalih “itu budaya Barat”. Padahal, sejarah Nusantara penuh dengan contoh tokoh yang berpikir merdeka jauh sebelum istilah liberal arts dikenal di kalangan kita.

Syekh Yusuf Al-Makassari, misalnya, bukan hanya ulama, tapi juga aktivis yang menentang tirani kolonial dan membela martabat manusia. Ia menulis tentang pentingnya akal sehat dan keberanian moral, meski itu berarti berseberangan dengan penguasa.

Kartini pun demikian. Dalam surat-suratnya, ia berani menggugat adat dan dogma yang membelenggu perempuan Jawa. Ia tak menolak budaya, tapi menolak kemapanan yang menghalangi kemajuan.

Baik Kartini maupun Syekh Yusuf mengajarkan kita bahwa keberanian berpikir kritis bukanlah impor dari Barat—ia lahir dari tanah ini, dari hati orang-orang yang menolak diam ketika ketidakadilan dibiarkan.

Kalau begitu, bagaimana memperbaiki keadaan? Kita harus berani mengganti budaya hafalan dengan budaya dialog. Biarkan siswa bertanya bahkan pada hal-hal yang dianggap “suci”—termasuk otoritas guru. Berikan kebebasan bagi guru untuk mengajar sesuai konteks muridnya, tanpa takut disalahkan karena tidak mengikuti “script” dari pusat.

Hilangkan hierarki kaku: kepala sekolah bukan raja kecil, tapi fasilitator proses belajar. Jadikan kelas sebagai forum membahas isu-isu yang benar-benar relevan—korupsi, kesenjangan, radikalisme—agar anak-anak terbiasa membedakan fakta, opini, dan propaganda.

Keberhasilan jangan lagi diukur dari angka di rapor, melainkan dari kemampuan bernalar, berempati, dan mengambil keputusan. Sebagaimana kata Einstein, “Jangan nilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon.”

Kita Tidak Butuh Revolusi

Indonesia tak perlu menjadi “Barat” untuk maju. Kita hanya perlu menghentikan kebiasaan membungkam potensi anak-anak dengan alasan takut pada kebebasan. Goenawan pernah bertanya:

"Kalau kita melihat manusia tumbuh bebas dan memilih, mampukah kita bersikap optimistis bahwa mereka pada akhirnya akan memilih dengan benar dan baik?"

Pendidikan sejati bukan soal mencetak generasi patuh, tapi generasi yang berani bertanya—bahkan pada generasi sebelum mereka. Bayangkan suatu hari nanti, seorang anak di pelosok Flores berkata:

"Sekolah adalah tempat di mana aku belajar bukan hanya untuk lulus ujian, tapi untuk memahami dunia—dan mengubahnya."

Itulah pendidikan yang memerdekakan. Dan itu mungkin terjadi, jika kita berani membuka pintunya. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Taufik Hidayat
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 29 Sep 2025, 20:35 WIB

Menjelajahi Waktu di Antara Sunda dan Hindu

Darinyalah kemudian lahir kerajaan-kerajaan, Galuh di Ciamis dan Pakuan-Pajajaran di Bogor, yang pada abad ke-16 bersatu dalam nama Sunda.
Prasasti Batu Tulis di Bogor. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Biz 29 Sep 2025, 19:29 WIB

Fundamental Dulu, Ekspor Kemudian: Strategi UMKM Sukses ala Bechips

Setiap lembar keripik Bechips yang mendarat di rak-rak toko Jepang membawa cerita panjang tentang ketekunan, strategi, dan mimpi besar seorang pelaku UMKM.
Produk UMKM asal Bandung, Bechips yang bersukses diekspor ke pasar Jepang. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Beranda 29 Sep 2025, 17:25 WIB

Keracunan MBG di Bandung Barat, Kronik Tragedi Hidangan Basi di Balik Santapan Bergizi

Kronologi ribuan siswa di Bandung Barat tumbang usai menyantap menu MBG. Program yang dijanjikan sehat malah berubah jadi “Makan Basi Gratis.”
Potret sejumlah siswa yang terkapar lemasakibat keracunan massal MBG di Bandung Barat. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)
Ayo Biz 29 Sep 2025, 17:04 WIB

Post-Grunge Tak Pernah Mati: Freak dan Semangat Bandung

Freak, yang mengusung aliran post-grunge, telah menjadi bagian dari denyut nadi skena independen Kota Bandung sejak awal 2000-an.
Freak saat launching party album ketiga “Revelation of Universe” pada 2016, berisi 11 track yang dirilis di Indonesia dan Malaysia. (Sumber: dok. Freak)
Ayo Netizen 29 Sep 2025, 16:31 WIB

Longser Sunda 'Kabayan Ngalalana' Menampilkan Figur yang Berbeda dari Mang Kabayan

Dalam Longser Sunda “Kabayan Ngalalana”, Mang Kabayan ditampilkan sebagai sosok Profesor Kabayan, seorang penemu mesin waktu.
Dalam Longser Sunda “Kabayan Ngalalana”, Mang Kabayan ditampilkan sebagai sosok Profesor Kabayan, seorang penemu mesin waktu. (Sumber: Istimewa)
Ayo Netizen 29 Sep 2025, 15:45 WIB

Budaya Serobot Antrean oleh Sebagian Emak-Emak di Kota Bandung

Budaya emak-emak yang serobot antrian memang meresahkan tapi mirisnya perilaku menyimpang itu mendapat pembenaran di sebagian kalangan masyarakat
Perilaku emak-emak menyerobot antrian memang sudah dinormalisasi di kalangan masyarakat (Sumber: Instagram | sushrusa_deafschool)
Ayo Biz 29 Sep 2025, 15:27 WIB

Uap Hangat Cimanggu dan Cerita yang Tak Pernah Usang

Bandung dengan lanskap alamnya yang memesona, terus menjadi panggung utama bagi wisata healing.
Pemandian Air Panas Cimanggu-- Bandung dengan lanskap alamnya yang memesona, terus menjadi panggung utama bagi wisata healing. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 29 Sep 2025, 14:37 WIB

Jejak Sejarah Kabupaten Bandung, Lahir 1641 karena Pemberontakan Dipati Ukur

Lahir lewat piagam Sultan Agung, Kabupaten Bandung jadi simpul penting Priangan. Dari Dipati Ukur, Dayeuhkolot, hingga pindah ke Cikapundung.
Foto para wedana di Banjaran sebelum tahun 1880. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 29 Sep 2025, 12:20 WIB

Utamakan Akhlak, Sebarkan Kedamaian

Mendahulukan akhlak dalam setiap menyelesaikan perselisihan dengan cara menghormati atas segala perbedaan dan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Suasana malam di Masjid Raya Al Jabbar. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 29 Sep 2025, 09:58 WIB

Meneguk Kesegaran Es Goyobod, Sari Rasa Buah-buahan Langsung Bikin Tenggorokan Segar dan Perut Kenyang

Cuaca panas di Kota Kembang akhir-akhir ini bikin banyak orang mencari minuman segar. Salah satu jawabannya ada pada es goyobod, minuman tradisional khas Garut yang kini semakin populer di Bandung.
Ilustrasi Foto Es Goyobod. (Foto: Freepik)
Ayo Biz 29 Sep 2025, 08:58 WIB

Menerka Asal Usul Seblak, Benarkah dari Cianjur dan Sudah Ada Sejak 1940?

Seblak kini menjadi salah satu jajanan yang paling digemari masyarakat. Tidak hanya populer di Bandung atau Jawa Barat, makanan berkuah pedas ini bahkan sudah merambah ke berbagai daerah di Indonesia,
Ilustrasi Foto Seblak. (Foto: Dok. Ayobandung.com)
Ayo Netizen 29 Sep 2025, 07:05 WIB

Beralihnya Persawahan Jadi Perumahan di Kabupaten Bandung

Lahan persawahan di Bandung kian tahun mulai menghilang dan berganti dengan sejumlah perumahan.
Lahan Persawahan yang Berubah Menjadi Perumahan Al-Maas (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 29 Sep 2025, 05:20 WIB

Henky Timisela Berpulang, Pernah Bawa Persib Juara Kejurnas PSSI usai Tekuk Persija

Henky Timisela berpulang dalam usia 86 tahun. Sejumlah prestasi di sepak bola pernah diraihnya khususnya bersama Persib pada 1961.
Henky Timisela. (Sumber: Pikiran Rakjat)
Ayo Biz 28 Sep 2025, 19:02 WIB

Bandung, Kota Kreatif yang Kini Menjadi Magnet Ritel Global

Bandung bukan hanya kota kreatif, namun juga barometer pasar ritel Indonesia yang terus bergerak dinamis.
AEON membuka gerainya di Paris Van Java menjadi pengakuan atas kekuatan Bandung sebagai kota dengan denyut ritel yang tak pernah padam. (Sumber: dok. AEON)
Ayo Netizen 28 Sep 2025, 18:01 WIB

Bandung di Persimpangan Kiri Jalan: Dari Ingatan ke Gerakan

Sebuah resensi dari diskusi buku "Bandung Di Persimpangan Kiri Jalan" karya Hafidz Azhar, yang penulis temukan di Pasar Minggu edisi 14 Jl. Garut No. 2 Bandung.
Buku Bandung di Persimpangan Kiri Jalan karya Hafidz Azhar. (Sumber: Istimewa)
Ayo Biz 28 Sep 2025, 16:34 WIB

Transformasi Lulusan Musik Indonesia di Tengah Revolusi Industri Kreatif

Di tengah gempuran teknologi dan pergeseran pola konsumsi, para lulusan seni musik dituntut untuk lebih dari sekadar berbakat. Mereka harus tangguh, adaptif, dan memiliki wawasan lintas disiplin.
Ilustrasi. Di tengah gempuran teknologi dan pergeseran pola konsumsi, para lulusan seni musik dituntut untuk lebih dari sekadar berbakat. Mereka harus tangguh, adaptif, dan memiliki wawasan lintas disiplin. (Sumber: dok. Universitas Taruna Bakti)
Ayo Biz 28 Sep 2025, 15:49 WIB

Klinik Estetik dan Kesadaran Kulit di Bandung, Antara Tren Kekinian dan Transformasi Diri

Tren perawatan kecantikan 2025 memang menunjukkan pergeseran signifikan. Konsumen kini lebih memilih perawatan yang bersifat personal, minim invasif, dan berkelanjutan.
Ilustrasi tren perawatan kecantikan. (Sumber: Ist)
Ayo Jelajah 28 Sep 2025, 15:37 WIB

Hikayat Konflik Lahan dan Penggusuran Tamansari Bandung 2019

Sengketa status tanah, gugatan hukum, hingga gas air mata. Tamansari 2019 jadi bukti peliknya wajah pembangunan dan politik kota.
Lokasi pembangunan rumah deret (rudet) Tamansari hasil penggusuran warga. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan al Faritsi)
Ayo Netizen 28 Sep 2025, 14:43 WIB

'Ngamumule' Seni Sunda untuk Hidup dengan Silat Gajah Putih

Sudah seharusnya sebagai generasi muda menjadi pendorong pelestarian budaya agar terus hidup dan eksis di era digital.
Penampilan Pencak Silat Putra Layang Pusaka (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Jajang Nurdiansyah)
Ayo Netizen 28 Sep 2025, 11:10 WIB

Membayangkan Sunda Tanpa Kristen (?)

Sunda dan Kristen adalah bagian dari kebudayaan kita.
Bangunan Gereja Kristen Pasundan Jemaat Palalangon di Cianjur, Jejak Interaksi Sunda dan Kekristenan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)